Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menuju International Research School
oleh: Rusdi
“Are we producers of knowledge?”
Dua papan proyektor berukuran besar yang membentang di hadapan ratusan mahasiswa-mahasiswi baru dari berbagai pelosok negeri itu menampilkan sebuah kalimat pertanyaan bernada sendu yang tak mudah dijawab. Satu sisi, pertanyaan itu terlihat seperti sebuah tantangan. Tantangan yang mengarah kepada semua mahasiswa/i baru Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, di mana pada hari itu, Senin 18 September 2017, mereka sedang mengikuti acara International Conference sebagai bagian dari acara Studiun Generale yang dilaksanakan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mahasiswa baru (2017) dan lama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga antusias mengikuti studium generale
Sementara di sisi yang lain pertanyaan tersebut juga mengandung sebuah harapan bahwa, kedatangan mahasiswa/i baru di kampus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sebenarnya mereka tidak sekadar menanggung kewajiban untuk serius belajar demi kelulusan. Tapi, yang tak kalah penting, bagaimana mereka kelak tampil sebagai lulusan-lulusan yang mampu memproduksi ide-ide ilmu pengetahuan. Bukan sekadar menjadi konsumen terhadap ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh pihak lain.
Dengan dipandu Ahmad Rafiq, Ph.D., Dr. Mun’im Sirri, MA, dalam presentasinya yang bertajuk “Knowledge Production, Culture and Law in The Muslim World”, mengemukakan bahwa, bagi sarjana-sarjana Muslim dewasa ini, pertanyaan seperti di atas menjadi hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan. Hal itu terutama disebabkan oleh makin kikisnya kreativitas intelektual Muslim masa kini dibanding intelektual-intelektual Muslim pada zaman-zaman sebelumnya.
Ahmad Rafiq, Ph.D. memandu acara international conference
Dengan mengutip pernyataan Akbar S. Ahmed, Mun’im Sirri yang tidak lain merupakan Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame Amerika menjelaskan bahwa, “Muslim usually don’t read. If the read, they don’t understand. If they do understand, they don’t practice.” Tidak mau membaca (belajar), tidak mau memahami (secara kritis) terhadap apa yang dibaca serta tidak tergerak untuk mempraktikkan apa yang dipahami adalah salah satu faktor yang menyumbat laju produksi pengetahuan di dunia Muslim. Di samping itu, perbedaan pandangan yang dianggap sebagai penyimpangan juga menjadi faktor lain yang menghalangi produksi ilmu pengetahuan di dunia Muslim saat ini. Padahal, melalui perbedaan pandangan inilah konon ulama-ulama salaf bisa memproduksi ilmu pengetahuan mereka yang masih bisa dipelajari sampai hari ini.
Pada sesi itu, hadir juga Prof. Najma Moosa dari Universitas Western Cape, Afrika Selatan yang menguraikan secara panjang lebar tentang pengaruh ulama Indonesia dalam bidang pendidikan, budaya dan hukum Islam di Afrika Selatan. Pemaparan Prof. Najma Moosa seperti membuka kembali ingatan semua orang tentang bagaimana intelektual-intelektual Muslim Indonesia di masa lalu seperti halnya Syekh Yusuf Al-Makassari, mampu memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat di Afrika Selatan lewat pemikiran dan kemampuannya dalam memproduksi pengetahuan.
Sesi pertama diskusi itu diakhiri dengan presentasi Prof. Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil, Ph.D. selaku Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Prof. Noorhaidi mengangkat tema tentang fenomena kemunculan ulama-ulama baru di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Fenomena itu seakan menjadi anomali tersendiri mengingat ‘ulama-ulama’ itu lahir bukan dari sebuah proses pendidikan yang menuntut upaya bersungguh-sungguh, kritis dan mendalam dalam mengkaji keislaman. Sebaliknya, mereka menjadi ‘ulama’ oleh adanya peran media yang begitu massif menjadikan agama sebagai sebuah komoditi.
Dari kiri ke kanan tampak narasumber dan moderator international conference:
Dr. Mun’im Sirry (Amerika Serikat), Ahmad Rafiq, MA., Ph.D. (Indonesia), Prof. Najma Moosa (Afrika Selatan) dan Prof. Noorhaidi, MA, Ph.D. (Indonesia).
International conference hari itu dipungkasi dengan sesi presentasi tiga orang mahasiswa yang mengikuti Joint Seminar di Nanyang Technological University Singapore dan diikuti dengan penuh antusias oleh mahasiswa baru dan mahasiswa lama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga itu menjadi momentum yang sangat penting dalam menentukan gambaran Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga di masa depan. Dalam sambutannya di awal acara, Prof. Noorhaidi menjelaskan bahwa, dengan hadirnya dua narasumber dari dua negara yang berbeda (Amerika Serikat dan Afrika Selatan), hal itu secara tidak langsung menegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga memiliki jaringan global dan internasional sehingga komitmen untuk menjadikan UIN Sunan Kalijaga sebagai World Class University serta komitmen menjadikan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sebagai International Research School merupakan suatu peluang yang patut diapresiasi.
Namun, untuk mewujudkan semua keinginan itu lagi-lagi bukanlah tugas yang mudah. Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi mengemukakan bahwa dengan mengintegrasikan sains, teknologi dan kajian keislaman dalam satu diskursus keilmuan yang integral, UIN Sunan Kalijaga menjadi perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menempatkan ilmu pengetahuan dalam satu kajian yang utuh dan saling terkait. Walau demikian, ada problem yang masih banyak dihadapi untuk segera dibenahi, terutama kemampuan mahasiswa dalam menguasai bahasa. Karena itu, beliau menekankan agar mahasiswa memperbaiki kemampuan bahasa mereka.
Untuk mengurai sekian problem yang dihadapi itu, memang ada baiknya kalau seluruh civitas akademika Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga merenungkan apa yang disampaikan Mun’im Sirry di akhir presentasinya bahwa kita harus memastikan kalau kita “must have a strong commitment, passion, and compassion to produce new ideas/knowledge”. Tanpa itu semua, jangankan memproduksi ilmu pengetahuan, sekadar mempelajari pengetahuan yang sudah ada sekalipun, kita pasti akan menuai lebih banyak lagi kegagalan demi kegagalan.