Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Seminar sehari ini diisi para pembicara kritis dan inspiratif yang sanggup memberikan nafas penyemangat bagi para hadirin. Diharapkan, hal ini mampu benar-benar menggerakkan mereka menindaklanjuti perbaikan mutu pendidikan di institusi mereka masing-masing. Menariknya, kegiatan yang dimotori AIPI ini akan melakukan seminar serupa di beberapa kampus di Indonesia. Secera serentak, gema menuju perbaikan pengelolaan pendidikan tinggi sedang digulirkan. Besar harapannya, gerakan dan niat baik ini mampu menjelma niat mulia sebesar bola salju, yang bergulir liar namun bermuara pada kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.

Terbagi ke dalam 3 sesi, 8 pembicara menyampaikan topik-topik yang hangat untuk dibicarakan, terkait bagaimana memproyeksi masa depan perguruan tinggi. Namun, sebelum kedelapan pembicara menyampaikan gagasan mereka, ada semacam “sentilan” dari Prof. Dr. Taufik Abdullah yang bertindak sebagai pembuka acara mewakili AIPI. Katanya, “Kita sibuk dengan linearitas, linearitas, dan linearitas..!!” Prof. Taufik yang menjabat sebagai Ketua Komisi Bidang Ilmu Sosial AIPI merasa kecewa terhadap cara pandang yang kaku terhadap keilmuan (dalam bentuk label-label linearitas). Sejalan dengan Prof. Taufik adalah pemaparan Prof. Sutrisno, Pembantu Rektor 1 UIN Sunan Kalijaga, tentang 3 jenis pembagian disiplin keilmuan (dikutip dari Prof. Dr. Ir. J.G. Wissema): first generation dengan paradigma monodisiplin, second generation dengan pola pikir linearitas keilmuan, dan third generation dengan paradigma interdisipliner, multidisipliner, dan bahkan transdisipliner.

Pada sesi pertama, Prof. Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. bertindak sebagai moderator. Para pembicaranya antara lain: (1) Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner. Anggota Komisi Bidang Ilmu Sosial AIPI sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini memaparkan pentingnya keberadaan kampus riset sebagai tolok ukur dan pendorong bagi kemajuan bangsa. Salah satu hal yang disoroti Prof. Mayling adalah terkait kemunduran kampus-kampus di dalam negeri yang umumnya disebabkan oleh rumitnya urusan administrasi di dalam pemerintahan. (2) Prof. Dr. Amin Abdullah. Rektor UIN Sunan Kalijaga tahun periode 2001-2010 ini, yang sekaligus menjabat Ketua Komisi Bidang Kebudayaan AIPI, dikenal sebagai sosok pengagas integrasi dan interkoneksi keilmuan di kampus UIN Sunan Kalijaga. Dalam presentasinya, Prof. Amin masih menekankan bagaimana pentingnya gagasan di masa lalu tersebut, namun dalam format yang kekinian. Dengan menunjukkan 3 indikator penting integrasi dan interkoneksi keilmuan, yaitu semipermeable (berpori-pori), intersubjective testability (dapat diterapkan kepada banyak pihak), dan creative imagination (imajinasi kreatif), sebuah pola pendidikan seharusnya dapat menyesuaikan diri, baik apakah itu dengan keadaan sekitar, kebutuhan praksis, di tengah perbedaan kondisi zaman, dan bahkan pada pola dan gaya pikir para akademisi dari masa ke masa (tentu, selama para akademisi tersebut mau membuka diri, open-minded, bagi kemajuan pengetahuan). Yang semakin menarik dari gagasan Prof. Amin adalah bagaimana pola integrasi dan interkoneksi keilmuan semacam ini akan berusaha (dan diusahakan) untuk diterapkan dalam future mapping pendidikan tinggi yang sifatnya jangka panjang; tidak terpaku pada lima tahunan ala pergantian pemerintahan lima tahunan yang sangat miskin visi. (3) Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. Rektor Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta periode 2014-2018 ini memperbincangkan sisi filosofis pendidikan tinggi, khususnya pada kampus swasta. Ada kegelisahan dalam diri sosok rektor yang pendidikan S1 hingga S3 nya sama sekali tidak linear (selalu beda studi). Baginya, pendidikan bukan semata soal angka, kekakuan, dan apalagi soal linearitas. Lebih dari itu, pendidikan adalah soal bagaimana menghasilkan output yang kelak memiliki dedikasi terhadap alam, lingkungan, dan kesejahteraan umat manusia. Karenanya, akreditasi ala BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi) yang hanya mendasarkan pada aspek “fisik” semata, sangat mengganggu dan bahkan menyesatkan. Bagaimana tidak, ukuran kampus bergengsi tidak lagi mutu pengajaran dan hasil lulusan yang dapat memberi sumbangsih, melainkan terbatas pada sarana dan prasarana, yang kesemuanya tidak menjamin kemajuan suatu institusi pendidikan.

Menariknya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para peserta pada sesi pertama semakin mengulas dan menajamkan visi para pembicara. Menaggapi pertanyaan-pertanyaan yang ada, Prof. Mayling terpaksa meneriaki soal betapa model pendidikan Asia yang berbasis hafalan dan miskin pemahaman secara mendalam adalah bencana bagi pendidikan suatu bangsa secara keseluruhan. Fakta membuktikan hal ini: mediang Steve Jobs, dikatakan, membangun “kerajaan” Apple setelah merenungi dalam-dalam bentuk kaligrafi dunia Timur (entah kaligrafi ala Cina, entah Timur Tengah). Sedangkan bangsa Asia sendiri tidak  mendapatkan menfaat lebih atas seni kaligrafi tersebut, selain semata-mata seni. Sementara itu, Prof. Amin menegaskan bahwa apa yang pernah digagasnya di masa lalu dan kini, tak lain, adalah fakta-fakta yang “halal” untuk dieksekusi siapa saja. Terhadap gagasan-gagasannya, Prof. Amin mengatakan, “Jangan depends on me,”. Artinya, harus ada generasi lanjutan yang meneruskan dan mengembangkan apa yang telah digagas Prof. Amin. Lalu, Prof. Ruhaini selaku moderator yang adalah Pembantu Rektor 3 UIN Sunan Kalijaga sengaja menimpali Prof. Amin dengan pernyataan penting: bahwa UIN Sunan Kalijaga akan memiliki Pusat Studi Integrasi dan Intekoneksi Keilmuan di masa mendatang. Menarik ditunggu tanggal peresmiannya.

Pada sesi kedua, Drs. Mochamad Sodik, M.Si. bertindak sebagai moderator. Pembicara pada sesi ini adalah Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Prof. Dr. Noorhaidi Hasan. Prof. Bambang menguraikan betapa terlalu banyak pandangan tentang keterdidikan yang sangat paradoksal, yaitu antara keilmuan yang dianggap maju dan bertaraf internasional hanya jika “asal menggunakan bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)” dan “asal tidak berbahasa Indonesia”. Menariknya, Prof. Noorhaidi sebagai pembicara kedua justru seperti menimpali anggapan paradoksal yang dilontarkan Prof. Bambang tersebut dengan mengatakan bahwa seringkali para pengelola jurnal seperti kesulitan menangkap “beberapa” tulisan artikel berbahasa Indonesia yang disetorkan ke meja pengelola jurnal. Di saat yang bersamaan, tulisan berbahasa PBB (Inggris, Arab, Jerman, Perancis, Latin, dll.) terkadang justru mudah dipahami karena menggunakan alur pemikiran penulisan yang sistematis, terstruktur, fokus, dengan kejelasan persoalan yang diangkat dan kejernihan ulasan serta hasil akhir penelitian.

Namun demikian, tidak berarti hanya sisi paradoksal bahasa pengantar saja yang disoroti. Prof. Bambang, misalnya, mengakui betapa konsep penelitian di pendidikan tinggi masih terlalu ekslusif dan terbatas pada mereka yang memiliki akses saja. Terutama di bidang sosial, seorang dosen hanya sesekali melibatkan mahasiswa dalam penelitian mereka (sebagai co-researcher). Prof. Noorhaidi menambahkan 2 hal substansial lain terkait relasi antara dosen dan mahasiswa. 1) Selama ini, dosen cenderung semata-mata mentransmisikan pengetahuan kepada mahasiswa dan bukannya mengajarkan mereka bagaimana memproduksi pengetahuan, sebagaimana yang seharusnya seorang peneliti lakukan. 2) Dengan minimnya relasi antara dosen dan mahasiswa dalam bentuk kerjasama penelitian, akan semakin menjauhkan kedua belah pihak dari kemampuan dan kebiasaan memproduksi pengetahuan. Yang akan terjadi adalah minimnya kontribusi keduanya bagi pengetahuan. Imbasnya, mereka mengalami stagnasi dan membuat pendidikan semakin tertinggal oleh kemajuan zaman. Prof. Noorhaidi mencontohkan bagaimana seorang dosen di National University of Singapore (NUS) diharuskan memiliki 100 karya artikel untuk berhak mendapatkan gelar full professor. Dari 100 karya artikel tersebut, 50 di antaranya harus dimuat di jurnal terakreditasi “baik” bahkan berkelas internasional; adapun 50 lainnya boleh dalam bentuk book chapters atau entri ensiklopedia . Lantas pertanyaannya, siapkah dosen-dosen Indonesia menyamai kualitas dosen-dosen negeri tetangganya? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Pertanyaan yang diajukan hadirin tak kalah kritis dari para pembicara. Prof. Mayling dengan tegas mengecam soal bagaimana “akal-akalan” dalam dunia akademik terjadi; apakah itu penyerobotan dan bahkan pencurian terhadap karya mahasiswa oleh dosen, atau tentang carut marutnya pembiayaan pendidikan tinggi oleh pemerintah yang terlalu birokratif. Seorang mahasiswa bernama Al-Munawwar bin Rusli asal Sulawesi Utara juga tak kalah kritis dengan mempertanyakan masa depan perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari relasi “ABG” (Academic, Business, and Government). Al-Munawwar belum merasakan integrasi ABG di Indonesia. Thailand, menurutnya, lebih maju beberapa langkah soal ABG dibandingkan Indonesia. Adapun Anisah Budiwati, seorang perwakilan dari Universitas Islam Indonesia (UII), menanyakan apakah kampus-kampus di dalam negeri masih memiliki harapan untuk menyusul ketertinggalan yang ada, dengan kondisi yang sekarang ini.

Prof. Bambang menanggapi penanya terakhir dengan merujuk pengalaman pribadi. Proposal penelitian tesisnya yang pernah ditolak di dalam negeri, nyatanya justru diterima di luar negeri dan menghasilkan gelar master dan doktoral sekaligus di School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London (periode 1987-1989 dan 1990-1992). Sebagai alumnus Strata 1 Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1984, Prof. Bambang tidak begitu “tertinggal” dibandingkan mereka para alumni kampus negeri Ratu Elizabeth ketika melanjutkan studi master dan doktoral. Menurutnya, pendidikan tinggi di Indonesia masih memiliki harapan untuk mengimbangi kampus-kampus terkemuka di negara-negara maju, utamanya dari sisi outputnya. Adapun Prof. Noorhaidi menekankan pada “budaya akademik” kampus yang harus selalu dirawat dengan baik, baik oleh para pengelola institusi maupun para dosen pengajarnya. Pihak pemerintah yang terlalu bureaucracy-oriented tidak seharusnya menjadi halangan bagi akademisi-akademisi kampus untuk maju dan berkembang. “Kita harus kelar dari jebakan setan ini.” Tegas Prof. Noorhaidi.

Pada sesi ketiga, bertindak sebagai moderator adalah Ahmad Zainal Arifin, Ph.D. Pembicara pertama, Prof. Dr. Mien Ahmad Rifai, yang adalah Ketua Komisi Bidang Ilmu Pengatahuan Dasar AIPI, memaparkan pentingnya metode penelitian yang memadai dan menekankan bahwa penelitian bukan semata-mata ditujukan bagi kenaikan pangkat. Dilihat dari “cara memulai” penelitian saja, banyak proposal-proposal penelitian yang jauh dari layak. Entah judul yang terlalu aneh, karena berbeda dengan isi pembahasannya, ataukah pendahuluan penelitian yang bertele-tele seperti pidato yang membosankan. Menurut Prof. Mien, hal ini semacam ini terjadi karena budaya penelitian di pendidikan tinggi di Indonesia masih terlalu lemah. Padahal, jika penelitian telah membudaya, seperti di kampus-kampus di Inggris sana, akan menjadikan hasil penelitiannya sebagai “senjata” bagi para penelitinya. Selain bonus berupa kredit poin untuk kepangkatan, bunus lain yang menunggu adalah kerjasama akademik yang menghasilkan uang. Jumlahnya pun seringkali fantastis. Prof. Mien menyayangkan bahwa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya; belum juga memberi sumbangsih, dana penelitian sudah “terburu-buru” diberikan setelah mengajukan proposal penelitian. Celakanya, pertanggungjawaban terhadap hasil penelitian-penelitian tersebut terkesan seperti apologetik, dengan hanya membiarkannya berakhir di kantor-kantor administrasi pemerintah, tanpa adanya follow up yang memadai, misalnya, dalam bentuk publikasi di jurnal-jurnal terakreditasi maupun internasional. Pembicara kedua, Hilman Latief, Ph.D., menyampaikan pengalaman pribadi mendorong penulisan artikel dosen-dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sebagai dosen muda yang menjabat posisi penting di UMY, yaitu sebagai Direktur Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), Hilman “berkesempatan” menggerakkan dosen-dosen UMY untuk menulis artikel dan menerbitkannya di jurnal-jurnal ternama. Bagi Hilman, LP3M bukan lagi sekedar lembaga yang berkecimpung dalam penelitian, pengembangan pendidikan, dan pengabdian masyarakat, namun juga “Publikasi Ilmiah”. Hilman menyiapkan bonus besar bagi para dosen yang tulisannya sanggup tembus jurnal-jurnal ternama. Ada skema “reward” yang diterapkan Hilman. Lebih dari itu, Hilman melakukan mapping yang sifatnya jangka panjang (hingga tahun 2025). Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, UMY akan mencapai goals yang telah direncakan, salah satunya mendorong publikasi artikel jurnal secara masif, yang mana memberi manfaat bagi UMY dalam jangka panjang. Selain itu, dalam mendukung rekognisi dan koreksi antar akademisi UMY, Hilman menyiapkan website-internal online di UMY, di mana setiap dosen yang artikelnya tembus jurnal manapun agar bisa diupload secara mandiri. Siapapun dapat mengetahui mana dosen UMY yang aktif berkarya dan mana yang tidak. LP3M pun tidak perlu repot-repot “menegur” dosen-dosen yang malas berkarya; masyarakat akademik UMY yang akan menegur mereka.

Pembicara ketiga, Prof. Dr. Sangkot Marzuki, adalah Ketua Umum AIPI sekaligus Ketua Komisi Bidang Ilmu Kedokteran  AIPI. Founding Director dari Eijkman Institute for Molecular Biology selama 22 tahun ini (Jakarta, 1992–2014) tercatat pernah mengabdikan diri di bidang biologi dan genetika molekul selama 17 tahun lamanya di Monash University sehingga mendapatkan gelar Order of Australia pada 2010, sebuah penghargaan tertinggi pemerintah Australia atas jasa dan prestasi luar biasa. Dalam presentasinya, penerima gelar Bintang Mahaputra Utama pada 2009 ini, penghargaan sipil tertinggi di Indonesia bagi mereka yang berjasa bagi bangsa, menekankan pentingnya kemanfaatan riil dari suatu kegiatan penelitian. Produksi pengetahuan dalam bentuk publikasi ilmiah harus memberi efek positif bagi keadaan sosial. Karenanya, pendirian suatu laboratorium riset harus disesuaikan dengan keadaan geografis Indonesia. Misalnya studi pertanian. Akan lebih baik jika laboratorium ditempatkan di daerah-daerah dengan potensi pertanian yang tinggi, baik itu karena memiliki lahan luas yang potensial dan masih belum sepenuhnya dimanfaatkan bagi pertanian ataukah karena keunggulan daerah tersebut dengan produksi hasil pertaniannya yang melimpah. Sehingga, pendirian suatu laboratorium menjadi relevan dan realistis. Di balik riset-riset tersebut, baik itu independen maupun berada di bawah naungan suatu kampus, sebaiknya diberikan otonomi seluas-luasnya, khususnya dalam pengelolaan manajemen (keuangan dan penentuan arah kebijakan). Diberikannya kekebasan dan kewenangan seluas-luasnya kepada pengelola laboratorium adalah agar mereka bekerja dan berkarya atas nama kemajuan pengetahuan dan tanpa tekanan, bukan karena kepentingan politik atau kepentingan-kepentingan tertentu lainnya.

Ditutupnya seminar sehari ini dengan pemaparan Ketua Umum AIPI semakin menyemarakkan suasana seminar. Ada seorang penanya yang menyampaikan pendapat yang tampaknya ditujukan kepada Hilman Latief. Menurutnya, publikasi tidak selamanya berafirmasi dengan adanya pengembangan ilmu. Sebaliknya, pengembangan ilmu tidak selalu sejalan dengan adanya publikasi. Ada jenis keilmuan eksakta dan sosial yang selalu dikembangkan tapi tidak selalu diterbitkan dalam bentuk artikel-artikel. Sebagai hadirin, Prof. Amin tak ingin ketinggalan menyampaikan pertanyaannya, “Apakah pernah benar-benar ada lembaga otonom yang berusaha mengembangkan pengetahuan, tanpa berada di bawah naungan pemerintah?” Pertanyaan ini sangat penting diajukan lantaran sejumlah lembaga yang “katanya” otonom yang berada di bawah pemerintah tidak benar-benar bisa dikatakan otonom secara mendasar.

Prof. Mein menjawab pertanyaan yang diajukan Prof. Amin dengan dengan sebuah perumpamaan apik. Menurutnya, persoalan otonomi tidak selalu menjamin keberhasilan suatu pengembangan pengetahuan. Otonomi memang perlu, namun di atas otonomi adalah budaya penelitian itu sendiri. Artinya, betapapun besar keran yang dibuka untuk otonomi penelitian, tidak akan benar-benar berjalan lancar selama budaya dan kesadaran untuk melakukan penelitian tidak dimiliki para akademisi di kampus-kampus negeri ini. Prof. Sangkot juga menambahkan, dalam pengembangan pengetahuan, khususnya keilmuan eksakta, bukan semata-mata hasil dan outputnya saja yang harus diperhatikan, namun juga pada transformasi budaya berpikir (dan keinginan untuk memiliki “budaya” penelitian) itu sendiri. Diskusi ini mengafirmasi suatu hal penting bahwa bukan otonomi yang menjamin keberlangsungan suatu pengetahuan, namun terletak pada keinginan para penelitinya untuk mengembangkannya. Prof. Mien menggarisbawahi, jika budaya penelitian telah benar-benar dimiliki suatu bangsa, di masa mendatang tidak akan ada lagi istilah “hak” memperoleh gelar full professor, misalnya, dengan cara “mendaftarkan diri”. Yang ada adalah munculnya pemberian penghargaan oleh negara kepada seorang peneliti, dengan mempertimbangkan sumbangsih dan jasanya bagi negara dan bangsa. Prof. Mayling juga tak ingin ketinggalan diskusi yang semakin seru. Prof. Mayling menekankan pentingnya kejujuran dalam penelitian, baik berupa akurasi data, analisis mendalam, dan lain-lain, yang kesemuanya hadir di balik pendaftaran dan pengajuan full professor dari para peneliti. Prof. Mayling menyayangkan masih berlangsungnya tindakan-tindakan manipulatif dalam pendaftaran dan pengajuan full professor di Indonesia.

Sebagai penutup diskusi, moderator Ahmad Zainal Arifin menutup sesi ketiga seminar sehari ini dengan pernyataan menarik, “Hari ini bukanlah peristiwa seminar, melainkan momentum bagi kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.” Akhirnya, seminar sehari yang digelar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan AIPI ditutup dengan foto bersama para pembicara dan sebagian hadirinnya. Terselenggaranya seminar ini adalah berkat dukungan Department of Foreign Affairs and Trade pemerintah Australia, Australian Aid, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN atau Bappenas). Demikian.

[Ahmadi Fathurrohman Dardiri]