Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

HARI PERTAMA (29 Oktober 2015)

Hari pertama workshop ini berjalan cukup baik. Animo peserta mengikuti workshop ini cukup tinggi sekira 90-120 peserta hadir dan mengikuti total keseluruhan 3 sesi workshop.

 

Sesi Pertama

Pada sesi pertama, bertindak pembicara pertama adalah Lara-Lauren Goudarzi-Gereke (Ph.D. Student at Georg August University of Göttingen) dengan presentasi berjudul Application of Iranian Marital and Divorce Law by German Courts. Lara meneliti penerapan hukum nikah-cerai Iran pada German Law. Prinsip hukum di Jerman yang menganut paham terbuka membuat hukum impor dari Iran tersebut mungkin diterapkan di Jerman. Ṭalāq, di hadapan artikel 3 German Basic Law yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan harus sederajat, berpotensi menjadi ṭalāq yang tidak melulu laki-laki saja yang menjadi “subjek”nya namun juga perempuan (perempuan berhak menjadi “subjek” dengan laki-laki sebagai “objek” ṭalāq). Keterbukaan hukum di Jerman dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Jerman adalah negara hukum yang mapan dalam implementasi dan pengawalan hukumnya. Maka, akan lebih masuk akal bagi Jerman untuk menerima sebanyak-banyaknya hukum impor dan lalu didialogkan dengan hukum Jerman dari pada melakukan banyak penolakan hukum impor dan lalu di masa mendatang berpotensi mengancam keberlangsungan hukum di Jerman itu sendiri.

Pembicara kedua adalah Fadhli Lukman (M.A. alumni at Graduate School of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dengan presentasi berjudul The Qur’an: Power and Identity. Melalui investigasi kepustakaan atas asmā al-Qur’āndalam ayat-ayat Makkiyyah secara tartīb nuzūly (turunnya ayat al-Qur’an secara kronologis), ditemukan bahwa al-Qur’an berhasil melakukan definisi atas dirinya sendiri, dari yang bukan siapa-siapa menjadi sumber paling otoritatif ketika itu di Jazirah Arab. Berikut ini secara berturut-turut bagaimana al-Qur’an mendefinisi dirinya sendiri: 1) al-Dhikr, nama ini dimaksudkan al-Qur’an membedakan al-Qur’an dari syair-syair Arab yang terkenal itu; 2) al-Qur’ān, sebutan ini, selanjutnya, digunakan untuk membedakan diri dari istilah Dhikr yang mulai terkenal sebagai sebutan bagi syair yang sangat terkenal di tengah penikmat syair Arab ketika itu; 3) al-Kitāb, sebutan ini mengacu pada posisi al-Qur’an sebagai “rujukan” (kitāb berarti buku, yang juga rujukan tertulis) dan tidak sekedar “bacaan” (qur’ān); dan 4) al-Furqān, istilah untuk memposisikan diri sebagai pembeda dari kitab suci dan hal-hal sakral manapun yang berkembang di Arab abad 6-7 M.

Pembicara ketiga adalah Muhammad Rofiq dengan presentasi berjudul Contemporary Philosophy and Charles Sanders Pierce’s Pragmatism: Uncovering Commonality and benefit to Islamic Legal Theory. Rofiq berusaha menganalisa bagaimana hukum Islam dihadapkan pada teori Pragmatisme ala filosof Amerika Charles Sanders Pierce. Teori tersebut meniscayakan paradigma science sebagai acuan utamanya. Oleh karenanya, hukum Islam yang kini ada, apakah itu modifikasi dari hasil-hasil pemikiran masa lalu atau produk yang benar-benar baru di masa kini, kesemuanya harus dipahami dalam koridor science, di mana semua produk pemikiran (di-)niscaya(kan) changable, apakah itu sekedar modifikasi, rekonstruksi, maupun dekonstruksi total. Dalam tradisi Islam, dikenali pula paradigma “proses” semacam itu, antara lain: takhrīj al-manāṭtanqīḥ al-manāṭ, dantaḥqīq al-manāt. Menurut Rofiq, pragmatisme Pierce yang memuat proses clarity of idea sejalan dengan dua proses pertama, takhrīj dan tanqīh al-manāṭ tersebut.

Sesi Kedua

Pada sesi kedua, bertindak sebagai pembicara pertama adalah Mochamad Sodik (Ph.D. candidate at Universitas Gadjah Mada) dengan presentasi berjudul Counter Discourses of Takfiri: Contesting Authorities in Ahmadiyya Enclave, Jawbar Indonesia. Sebagai kelompok minoritas yang selalu menjadi korban represi mayoritas, Ahmadiyah, dalam penelitian Sodik, tampil melakukan pembelaan secara kultural. Dari kawasan Kuningan, Jawa Barat, Ahmadiyah memberi respon atas diskursus pengkafiran (takfīry) yang dilakukan kelompok fundamentalis terhadap mereka. Salah satu yang mereka lakukan adalah mengkampanyekan terus menerus slogan mereka yang penuh cinta kepada sesama “Love for All, Hatred for None”. Selain itu, mereka juga berusaha berpartisipasi aktif menjaga kerukunan kehidupan sosial di tengah masyarakat Kuningan.

Pembicara kedua adalah Lukis Alam (Ph.D. Student at UIN Sunan Kalijaga), dengan presentasi berjudul Religious Education Towards Multicultural Atmosphere in Higher Education. Lukis menjelaskan bahwa harus ada “dialog” intensif antara pendidikan berbasis relijius dengan implementasi praksisnya di lapangan. Metode tempuhannya adalah dorongan untuk lebih memahami dan menyadari pluralisme dalam sendi-sendi kehidupan sosial di Indonesia, yang faktanya memang plural. Jadi, antara apa yang menjadi basis dasar, yaitu pendidikan, harus bersinergi dengan cabang kehidupan yang banyak jumlahnya, yaitu keragaman kehidupan masyarakat Indonesia. Diibaratkan ohon, pendidikan adalah akarnya. Adapun sinergi adalah keselarasan antara akar dan cabang-cabang pohon yang banyak jumlahnya. Cabang-cabang pohon itulah keragaman kehidupan masyarakat Indonesia.

Pembicara ketiga adalah Bayu Mitra Adiyatma Kusuma (M.A. alumni in Political Science from Burapha University Thailand) dengan presentasi berjudul Dialectics of Islam, Politics, and Government in Indonesia and Thailand. Bayu memaparkan komparasi kehidupan politik di Indonesia dan Thailand, dalam kaitannya dengan agama. Agama yang menjadi agama resmi suatu negara atau agama yang dipeluk oleh mayoritas, tak bisa dipungkiri, berperan penting dalam kehidupan politik di negara manapun di dunia. Indonesia, dengan mayoritas Islam, dikarenakan beberapa sebab yang melatarinya, meramaikan dunia perpolitikan di Indonesia dalam bentuk pendirian partai politik yang berafiliasi dengan Islam. Sekalipun tidak selalu menjadi pemenang di pemilihan umum, partai Islam cukup berhasil menempatkan figur-figur mereka di pemerintahan Indonesia. Di Thailand, di tengah mayoritas Budha, Muslim yang minoritas (mereka banyak bermukim di Thailand selatan) sulit mendapatkan ruang politik. Suatu kali, pilihan “berbahasa Thai” atau “beragama Budha” pernah dicanangkan Thaksin Shinawatra. Ini jelas mengekang ruang eskpresi politik Muslim di sana. Pihak pemerintah Thailand akhirnya menerapkan otonomi khusus bagi daerah dengan mayoritas Islam. Keputusan win-win solution antara pemerintah Thailand dan masyarakat Muslim Thailand tersebut serupa perpolitikan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), propinsi di ujung Barat Indonesia, yang memperbolehkan adanya partai-partai Islam berbasis lokalitas NAD.

Pembicara keempat adalah Nora Schneider (Ph.D. Student at Georg August University of Göttingen) dengan presentasi berjudul The Fundamental Right to Informational Self-Determination in The Security System of The Federal Republic of Germany. Nora membicarakan tentang perdebatan antara kerahasiaan informasi personal penduduk Jerman di hadapan sistem keamanan Republik Federal Jerman (RFJ). Isu terorisme yang marak di seantero dunia memaksa RFJ membuat peraturan yang memperbolehkan pihak keamanan Jerman (polisi dan dinas keamanan rahasia) mengakses informasi penduduknya, di mana hal ini berpotensi melanggar hak-hak kerahasiaan personal sebagaimana diatur dalam German Basic Law.

Sesi Ketiga

Pada sesi ketiga, pembicara pertama adalah Judith Koschorke (PhD student at Georg August University of Göttingen) dalam presentasi berjudul Islamic law and modern molecular biology: The impact of DNA-testing on Islamic bioethical and legal discourse concerning the proof of legal paternity. Dalam pandangan hukum Islam yang, misalnya dalam kasus Liʻān, memungkinkan untuk tidak diakuinya hubungan seorang anak dengan ayahnya (nasal atau nasab) di hadapan hukum, maka ada satu celah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Adalah ujian tes DNA, dengan segala kelebihannya, yang akan merubah “gaya” kerja hukum yang cenderung kaku untuk menjadi dinamis, dan yang lebih penting lagi, menurut Judith, mau mempertimbangkan sisi etis yang berada di balik kesadaran berhukum itu sendiri. Sejalan dengan asumsi bahwa hukum adalah science yang niscaya berubah seturut perkembangan kehidupan, maka hukum Islam tidak bijak untuk tidak dinamis, secara khusus, dalam merespon proses uji DNA sebagai bagian penting dalam pertimbangan aspek legalitas relasi antara anak dan orang tua (nasal atau nasab).

Pembicara kedua adalah Lien Iffah Naf’atu Fina (M.A. student at Hartford Seminary, Connecticut, USA.) dengan presentasi berjudul Beyond Comparative Study of the Qur’an and the Bible: New Trends in the Study of the Scriptures. Menurut Lien, arah penelitian studi al-Qur’an di masa mendatang adalah pelacakan pada origins (asal-usul) al-Qur’an itu sendiri dalam bahasa yang lugas namun tidak sinis seperti orientalis Barat beberapa dekade lalu. Al-Qur’an diteliti dari sumber-sumber sejarah yang ditengarai sangat berpengaruh dalam pembentukan al-Qur’an abad 6-7 M. Bibel, sebagai kitab suci yang lebih tua, dianggap telah mempengaruhi isi al-Qur’an. “Bibel sebagai sumber (tafsir) al-Qur’an”, demikian istilah yang banyak digunakan sarjana al-Qur’an era modern.

Pembicara ketiga adalah Muhammad Dluha Luthfillah (Undergraduate Student of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam presentasi berjudul Peace Message behind Jihad Call: Is That True? Presentasi kali ini secara khusus mengktirik artikel Sahiron Syamsuddin berjudul “Pesan Damai di Balik Seruan Jihad” dalam Sahiron Syamsuddin, ed., Islam, Tradisi dan Peradaban (Yoygakarta: Suka Press dan Bina Mulia Press, 2012), hlm. 87-100. Menurut Luthfi, QS al-Hajj 22:39-40, seharusnya tidak dimaknai umum melainkan spesifik, yaitu kelompok agama Abrahamik. Potongan ayat dalam 2 ayat yang disebutkan berisi tentang pembelaan terhadap Kristen, Yahudi, dan Islam sekaligus; berturut-turut dilambangkan dalam ayat tersebut dengan penyebutan ṣawāmiʻun (biara), biyaʻun (gereja), ṣalawātun (sinagog), dan masājidu (masjid), untuk ketiga agama Abrahamik tersebut.

Pembicara keempat adalah Muzayyin (M.A. Student at Graduate School of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam presentasi berjudul Hermeneutical Negotiation’s Khaleed Abou El Fadl: A Newly Proposed Insight to Stem Despotic Interpretation of Salafi Jihadist In Indonesia. Memahami agama (al-Qur’an dan Islam) adalah suatu hal. Mehamaminya dalam paradigma “negosiatif” ala Abou el-Fadl, menurut Muzayyin, adalah soal lain yang tentu saja lebih progresif. Sementara hermeneutika hanya berbasis pada triangular (segitiga) antara teks-pengarang-pembaca, paradigma negosiatif yang Abou el-Fadl tawarkan mengharuskan suatu teks “dinegosiasikan” (didialogkan secara maṣlaḥah) dengan keadaan sosial di mana teks dipahami. Selain hal ini lebih dinamis, inilah yang paling mungkin untuk mengurangi benih-benih kekerasan agama yang, menurut Muzayyin, ditengarai terjadi karena banyak misinterpretasi atas teks-teks otoritatif.

HARI KEDUA (30 Oktober 2015)

Workshop hari kedua ini adalah hari terakhir dari rangkaian 2 hari workshop dan keseluruhan rangkaian konferensi-workshop kali ini pada The 6th Joint International Conference and Graduate Workshop on Islamic Studies Revisited: New Trends in the Study of Islam and Muslim Societies”. Hari ini hanya akan menggelar 1 sesi.

Sesi Keempat

Bertindak sebagai pembicara pertama adalah M. Khoirul Hadi (M.A. Alumni at UIN Sunan Kalijaga) Negotiating Islamic Law and Custom in Traditional Wedding “Colongan Osing” in Banyuwangi, East Java. “Colongan Osing” adalah “kawin colong” (secara harfiah, “kawin curi”) atau kawin lari ala masyarakat Osing di Banyuwangi. Ada konsep ngleboni di mana perempuan “menculik” laki-laki untuk dinikahkan di hadapan keluarga perempuan, sementara ngunggah-ngunggahi adalah kesebalikannya. Keduanya perlu dilakukan oleh karena salah satu pihak keluarga yang anaknya “diculik” tidak direstui untuk menikah dengan sang pasangan. Kawin Colong terjadi karena beberapa hal: 1) tidak direstui; 2) menyegerakan pernikahan; 3) melarikan diri dari perjodohan; dan tentu saja 4) lebih murah dalam pembiayaan. Kawin Colong yang anomali ini, menurut Hadi, dapat dinegosiasikan melalui perantara “Colong “ (makna sesungguhnya adalah pemuka agama). Selain sebagai perantara kedua pihak keluarga, Colong bertindak sebagai orang yang menjembatani proses pernikahan Banyuwangi (yang kental dengan adat-istiadat) untuk dibubuhi aturan-aturan Islam, khususnya hal-hal yang substansial agar pernikahan berjalan “sah” dan valid secara hukum Islam.

Pembicara kedua adalah Sylvia Riewendt (M.A. Student at Georg August University of Göttingen) dengan presentasi berjudul Children’s Rights in the Egyptian Criminal Legal Law. Jika ada pelaku kejahatan dengan status “anak”, berusia di bawah 18 tahun, maka dirinya akan diadili di hadapan pengadilan yang berisi 3 hakim: 1 hakim pengadilan dan 2 hakim “undangan”. Umumnya, kedua hakim undangan ini adalah para ahli di bidang di mana berkaitan dengan dunia anak yang diadili tersebut, dan salah satunya harus perempuan. Mempertimbangkan statusnya sebagai anak, ada beberapa kebijakan hukum yang umum diberlakukan kepada anak-anak di Mesir, antara lain: 1) diberikan peringatan kepada mereka secara mendidik agar mereka tidak mengulanginya; 2) pemeliharaan anak, yang mana tidak selalu di bawah orang tua kandung mereka, namun kepada orang yang dianggap dapat dipercaya dari kalangan keluarganya; 3) pendidikan berbasis kerja, misalnya keharusan kerja-magang yang memungkinkan untuknya belajar tentang hidup; 4) aplikasi pelatihan militer untuk pendidikan dan pengetahuan tentang pencegahan kriminalitas secara lebih baik; dan 5) pelaksanaan rehabilitasi di bawah pengawasan pengadilan dan di bawah kendali badan yang ditunjuk oleh pengadilan.

Pembicara terakhir adalah Katja Janβen (Ph.D. Students at Georg August University of Göttingen) dengan presentasi berjudul Poetry after Gaza. Apa yang Katja paparkan adalah tentang kehidupan Palestina di balik konflik yang memilukan dalam untaian puisi. Katja sepakat dengan Hamid Dabashi yang menyatakan bahwa jika hendak menggambarkan Gaza melalui puisi, tengoklah bagaimana Theodor Adorno yang menyatakan “No Poetry after Auschwitz” sebagai bentuk protes atas tindakan barbarisme Nazi juga penggambaran atasnya melalui puisi. Auschwitz sendiri adalah salah satu dari nama inisial yang digunakan untuk menyebut 3 kamp konsentrasi utama Nazi Jerman dan beberapa kamp konsentrasi kecil lainnya. Barangkali, sebagaimana setiap orang yang merasa pilu atas tragedi kemanusiaan di Palestina, Katja seolah ingin mengatakan “No Poetry after Gaza” sebagaiamana Adorno, sebagai bentuk protes atas konflik di Palestina yang tak berkesudahan.

PENUTUP

Workshop ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan para peneliti muda untuk tampil dan diberi ruang dalam perkembangan akademik. Selain itu, menurut Prof. Dr. Noorhaidi, hal ini akan sekaligus bermanfaat bagi regenerasi akademik di masa mendatang. Artinya, tidak akan ada jeda terlalu jauh antara mereka para akademisi yang berpengalaman dengan mereka yang muda minim pengalaman; keduanya harus memiliki kemampuan akademik yang berdekatan. Sebagai convener, Prof. Noorhaidi mengakui workshop kali ini menarik, dengan kehadiran materi-materi baru yang semakin memperkaya wacana akademik, baik di kalangan akademisi UIN Sunan Kalijaga maupun di Georg August University of Göttingen. Yang paling penting di atas itu semua adalah bahwa aktivitas workshop semacam ini akan sangat mendukung bagi terciptanya kampus berbasis riset (Research University) di masa mendatang.

Prof. Dr. Fritz Schulze, dalam penutupan workshop ini, mengatakan bahwa sekalipun program joint-conference kali ini (seri keenam) akan berakhir, kerjasama di masa mendatang tetap akan dilanjutkan dalam tema dan seri-kerjasama yang berbeda. Salah satu kerjasama yang dimaksud adalah adanya pertukaran dosen pengajar, di mana pada saat sekarang ini pihak Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sedang membuka 2 program baru bertaraf internasional. Oleh karenanya, dukungan dari para pengajar dari Georg August University of Göttingen akan sangat membantu bagi pengembangan kualitas akademik di UIN Sunan Kalijaga. Demikian. Salam.

(Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum.)