Mengenal Kota dan Kampus Göttingen
Sebagai kota yang terkenal dengan sebutan “Stadt, die Wissen schafft” (City of Science), Göttingen menjadi salah satu destinasi pendidikan yang menawarkan perjumpaan antar etnik, suku, dan budaya. Kota ini berpenghuni sekitar 120.000 orang, di mana 28.000 di antaranya adalah mahasiswa, dan 11% lebih dari jumlah tersebut (3.000-an) berasal dari berbagai negara. Kota ini termasuk kota tua yang di dalamnya masih tersimpan beberapa warisan budaya, seperti rumah-rumah klasik yang usianya cukup variatif, mulai dari 100 hingga 500 tahun. Mahasiswa Indonesia yang belajar di kampus ini juga mencapai jumlah yang cukup tinggi. Dibandingkan kota-kota lain yang ada di Provinsi Niedersachsen, mahasiswa Indonesia yang ada di Göttingen mencapai lebih dari 100 orang, baik tingkat sarjana, master, maupun doktoral.
Kota Göttingen tidaklah terlalu besar, namun menawarkan candu eksotisme akademik. Para mahasiswa bisa merasakan nuansa akademik yang sangat hidup di kota ini. Setiap sudut kampus didesain secara integratif untuk menciptakan ruang-ruang publik yang nyaman untuk belajar. Perpustakaan juga tidak terpusat di kampus pusat. Masing-masing fakultas mempunyai perpustakaan yang cukup besar dengan penataan ruang yang cukup artistik yang membuat mahasiswa betah untuk bercengkerama dengan buku. Di dalamnya juga terdapat beberapa ruang khusus yang didesain untuk berdiskusi secara berkelompok.
Secara statistik, perpustakaan Göttingen termasuk salah satu perpustakaan terbesar di Jerman dengan koleksi lebih dari 12 juta literatur baik klasik, modern, maupun kontemporer. Di sini, para mahasiswa bisa meminjam buku tanpa batasan jumlah, jangka waktu peminjaman juga yang cukup panjang, dan yang menarik, semua perpustakaan di Jerman terintegrasi satu sama lain. Artinya, mahasiswa yang ada di Göttingen bisa meminjam buku dari perpustakaan lain yang ada di seluruh perpustakaan Jerman secara online. Di sisi lain, pihak kampus maupun pemerintah juga sangat aktif memberi support pendanaan yang cukup besar untuk pengembangan sumber-sumber literatur, antara lain dengan berlangganan jurnal-jurnal yang mempunyai akreditasi internasional, seperti jurnal-jurnal yang disebarluaskan oleh Scopus, Scimago, maupun Elsevier.
Selain itu, Universitas Göttingen juga mempunyai lembaga pendampingan riset yang terfokus pada disiplin keilmuan tertentu. Misalnya kajian tentang keislaman yang menginduk ke lembaga The Graduate School of Humanities Göttingen (GSGG); lembaga ini menaungi riset-riset mahasiswa terkait disiplin keilmuan Humaniora. Umumnya, mereka menyelenggarakan diskusi rutin yang dihadiri oleh para mahasiswa program doktor dan profesor. GSGG juga sering mendatangkan tokoh-tokoh intelektual berpengaruh untuk memberi kuliah singkat, selain juga menawarkan bantuan pendanaan bagi mahasiswa maupun profesor untuk berkolaborasi menciptakan riset-riset unggulan dan grant yang cukup menggiurkan bagi mereka yang secara aktif melakukan presentasi akademik dalam seminar-seminar internasional.
Adapun sistem pembelajaran yang diterapkan oleh Universitas Göttingen, dan mungkin juga oleh seluruh kampus Jerman, lebih menekankan pada independensi akademik. Misalnya, seorang profesor tidak begitu ikut campur dalam menentukan arah riset mahasiswanya apalagi mendiktenya. Profesor hanya bertindak sebagai supervisor dan partner diskusi mahasiswa, di mana gagasan atau masukan dari mereka boleh diterima dan dipertimbangkan, namun tidak menutup kemungkinan untuk diabaikan. Bagi para profesor, karya mahasiswa adalah tanggungjawab mahasiswa itu sendiri. Seorang mahasiswa juga dituntut untuk mampu berdialektika secara global dengan cara menerbitkan karya-karya akademiknya di jurnal-jurnal internasional. Dengan begitu, secara personal, mahasiswa mampu bersaing secara ide dan mampu memberi terobosan bagi dunia akademik yang lebih luas; mereka akan terkoneksi dengan “academic society” yang akan memberi penilaian objektif terhadap karya mereka. Oleh karenanya, profesor, dalam hal ini, hanya bertugas mendampingi mahasiswa untuk menjadi peneliti yang kreatif dan independen.
Aktivitas Akademik di Balik Program Sandwich
5 bulan di Göttingen bukanlah waktu yang lama untuk melakukan “pertapaan” akademik. Banyak hal yang perlu dikerjakan, sementara waktu dan tenaga mempunyai keterbatasan. Salah satu hal yang cukup menarik selama tinggal di Göttingen adalah perjumpaan penulis dengan berbagai literatur yang baru, khususnya tentang kajian keislaman. Penulis menyadari akses buku yang sangat luas terkadang justru menjadi godaan tersendiri, sementara di saat bersamaan dituntut untuk tetap fokus pada riset yang sedang diteliti. Akses terhadap jurnal internasional yang masih sulit didapat ketika berada di Indonesia, sangat terbuka lebar ketika berada di Göttingen. Jurnal-jurnal Islamic studies seperti ini Journal of Islamic Law and Society, Die Welt des Islams, Arabica, Studia Islamica, The Moslem World Journal, Journal of Qur’anic Studies sangat membantu penulis untuk memperkaya literatur disertasi. Maka, kegiatan perburuan data sangat masif penulis lakukan selama berada di sana; tanpa terasa, waktu belajar dan riset tersita untuk hal-hal semacam ini.
Pertama kali datang ke Göttingen, penulis terdaftar sebagai peneliti tamu (visiting researcher) di Seminar Arabistik/Islamwissenschaft. Di sana penulis berjumpa dengan berbagai kolega yang berasal dari berbagai negara; secara khusus, penulis berada dalam satu ruangan belajar dengan mahasiswa doktoral asal Jerman dan Afghanistan. Di ruangan ini, penulis sering bertukar pikiran, menjajaki proyek penelitian yang sedang dilakukan, dan tentunya belajar bahasa Jerman dan Afghanistan secara verbal. Khusus untuk bahasa Jerman, selain belajar berbincang dengan para kolega yang kebanyakan adalah native, penulis juga beruntung mendapat kursus bahasa yang diselenggarakan oleh International Office milik kampus. Meski singkat, sistem pembelajaran yang diterapkan sangat berkesan. Dalam mendukung pembelajaran bahasa Jerman di kursus yang singkat ini, penulis memanfaatkan pembelajaran gratis bahasa Jerman di media online.
Seminar für Arabistik/Islamwissenschaft mempunyai mahasiswa dari berbagai negara seperti Jerman, Mesir, Palestina, Iran, dan lain-lain. Hal ini tentu menjadi kesempatan tersendiri bagi penulis untuk menggali informasi tentang dinamika akademik di dunia lain; mereka sangat terbuka untuk berbagi informasi. Kami pun sering berdiskusi tentang topik-topik yang cukup variatif, mulai dari sistem akademik di masing-masing negara asal hingga perkembangan kajian-kajian keislaman.
Dalam melakukan lawatan akademik di Göttingen, penulis merasa beruntung didampingi oleh dua profesor yaitu Prof. Irene Schneider dan Prof. Fritz Schulze. Ibu Irene, demikian penulis biasa memanggilnya, adalah seorang pakar di bidang Islamic Law dan Gender yang lokus risetnya banyak membahas tentang kondisi keislaman di Palestina dan Iran. Adapun Schulze adalah seorang profesor yang fokus penelitiannya adalah Islam di Indonesia. Meski keduanya bukan berasal dari background keilmuan yang ditekuni oleh penulis, yaitu Qur’anic studies, atensi mereka cukup tinggi dalam mendampi penulis melakukan riset. Dalam menelaah research paper penulis, mereka sangat jeli. Maka tak jarang, kritik, apresiasi, serta saran selalu penulis dapatkan ketika berdiskusi dengan mereka. Dalam banyak kesempatan, penulis lebih sering berdiskusi dengan Prof. Schulze. Pernah suatu saat penulis mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan berdirinya Jurusan Indonesian Studies di Göttingen. Schulze mengatakan bahwa dalam beberapa waktu terakhir dirinya dan beberapa kawan terus berusaha dan membaca peluang akan hal ini. Karena menurutnya, jurusan ini penting untuk memberi alternatif baru dan menghadirkan sisi lain dalam kajian Asian Studies yang umumnya terlalu terfokus pada kajian Chinese Studies. Peluang dibukanya kajian Indonesian Studies sebetulnya bukanlah hal yang mustahil, karena sebenarnya Universitas Göttingen mempunyai memori baik tentang Indonesia. Hal itu tergambar dari beberapa proyek besar yang terlaksana dengan beberapa kampus di Indonesia dalam bidang pertanian dan kehutanan. Untuk disiplin Islamic Studies sendiri, rekam jejaknya dapat ditelusuri pada terselenggaranya 6 seri Joint International Conference hasil kerjasama akademik antara Seminar für Arabistik/Islamwissenschaft der Georg-August-Universität Göttingen dengan pihak UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang diselenggarakan di Göttingen dan Yogyakarta selama 3 tahun belakangan. Harapan tersebut mulai bersemi ketika tim akademik Universitas Göttingen menyatakan bahwa kerjasama akademik selama ini dinilai berhasil dan memuaskan. Kerjasama ini sepertinya menjadi simpul penting bagi kerjasama mutualisme kedua kampus di tahun-tahun mendatang; di saat bersamaan, hal ini menyiratkan sinyalemen positif bagi pembukaan Indonesian Studies di kampus Göttingen di masa mendatang.
Selain kegiatan kampus, penulis juga banyak berinteraksi dengan intelektual muda Indonesia yang berdomisili di Göttingen. Seperti disebutkan di awal bahwa mahasiswa Indonesia di Göttingen cukup signifikan jumlahnya, namun, tidak satupun dari mereka terdaftar sebagai mahasiswa Seminar für Arabistik/Islamwissenschaft; mayoritas mereka mengambil jurusan di luar studi agama, seperti kehutanan, pertanian dan ekonomi. Fenomena ini sepertinya banyak dipengaruhi oleh adanya kerjasama dalam disiplin keilmuan sains dan teknologi antara kampus-kampus di Indonesia dengan Universitas Göttingen. Beberapa penyedia beasiswa juga secara khusus mempunyai hubungan erat dengan beberapa kampus di Indonesia untuk menyaring mahasiswa yang nantinya dikirim ke kampus Göttingen.
Dalam berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia lain, penulis sering melakukan dialog dan diskusi tentang banyak hal, khususnya tentang topik-topik kebangsaan dan keislaman. Tak jarang, penulis diminta untuk menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi kecil yang dihelat oleh organisasi mahasiswa Indonesia di sana. Salah satu kegiatan yang sering diselenggarakan secara rutin adalah tahsin al-Qur’an yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang topik-topik keislaman. Kegiatan ini menjadi kebutuhan tersendiri bagi kaum intelektual Indonesia yang berada di Göttingen. Curiosity (rasa ingin tahu) mereka sangat tinggi akan studi keislaman. Salah satu alasannya adalah karena mereka berasal dari background akademik yang tidak banyak bersinggungan dengan kajian keislaman. Dalam hal ini, posisi dan peran akademisi perguruan tinggi Islam, seperti penulis yang adalah mahasiswa doktoral di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, cukup signifikan, dalam memberi gambaran objektif mengenai diskursus keislaman dan dinamika keberagamaan kontemporer.
Deskripsi Riset Disertasi
Riset disertasi yang sedang penulis kerjakan membahas tentang penafsiran kelompok Ismaʻili terhadap ayat-ayat kenabian. Topik ini dipandang signifikan karena terkait dengan beberapa hal penting. Pertama, topik tentang narasi kenabian yang ada dalam al-Qur’an seringkali dibahas secara eksplanatif oleh berbagai kalangan akademik. Namun, sebagian besar pembahasan tersebut terikat dalam lingkup cakrawala intertektualitas. Cara pandang yang mulai popular pada abad ke-19 dan semakin masif digeluti di akhir abad ke-20 ini berjalan seiring dengan perkembangan kajian Qur’anic Studies di Barat yang gencar melihat dan mengulik aspek kesejarahan al-Qur’an secara kritis dan mendalam. Historical criticism yang menjadi platform utama sarjana Barat bermaksud mencari sumber-sumber asal (origins), pengaruh (influences), dan keterkaitan (relations) antara satu entitas dengan entitas lain. Mendasarkan ketiga poin tersebut, al-Qur’an yang muncul pada akhir abad ke-6 hingga awal abad ke-7, dipandang mempunyai hubungan dekat dengan tradisi Judeo-Christian. Salah satu jenre yang dipandang cukup ekstensif meliput berita-berita dari tradisi pra-Qur’ani adalah kisah-kisah kenabian; dari sinilah transmisi pengetahuan “pada masa” al-Qur’an dan “pasca” al-Qur’an (post-Qur’ani) dianggap banyak bersinggungan dengan “sumber-sumber ekstra” al-Qur’an, ketika menjelaskan detail kisah-kisah kenabian. Dalam konteks inilah, peran the converted people dan story-tellers yang hidup pada era post-Qur’ani sangat penting untuk diamati, dalam usahanya mendistribusikan sumber-sumber ekstra Qur’ani. Dikatakan oleh Roberto Tottoli, bahwa para story-tellers menempati posisi yang strategis dalam membentuk iklim politik sektarian yang terjadi pada abad pertengahan. Hal ini mungkin, karena para story-tellers acap kali ikut berperan dalam mendukung kelompok tertentu dengan menggunakan legitimasi sejarah yang diperoleh dari sumber-sumber ekstra Qur’ani. Konteks politik yang mengitari narasi kenabian inilah yang menjadi celah bagi penulis untuk melakukan riset lebih mendalam, khususnya dalam konteks geo-politik Dinasti Fatimiyah Ismaʻili.
Alasan kedua, manifesto politik dan doktrin Ismaʻili banyak bersumber dari interpretasi mereka atas narasi kenabian. Jika dilihat secara historis, akar permasalahan yang terjadi pada awal abad Islam hingga pertengahan selalu berpijak pada diskursus otoritas. Munculnya kelompok-kelompok sektarian dengan pandangan-pandangan mazhabiyah selalu terintegrasi dengan upaya pencarian dalil Qur’ani atau tradisi nabi yang berfungsi sebagai legitimasi politik. Dalam konteks ini, penulis berasumsi bahwa kedekatan Ismaʻili dengan diskursus kenabian adalah “murni” karena faktor politik. Mereka mempunyai doktrin kenabian dan keimaman yang saling berkait-kelindan dalam hubungannya dengan otoritas. Dalam doktrinnya, setiap nabi yang menurut mereka berjumlah 7 selalu diikuti oleh 7 Imam. Doktrin ini dikenal dengan cyclical history, di mana tugas nubuwwah berawal dari Nabi Adam dan berakhir pada Nabi Muhammad. Sedangkan tugas Imam atau ṣamit (the silent one) berhenti pada Imam ke-7, Muhammad bin Ismaʻil, dalam runtutan genealogi keimaman pasca Nabi Muhammad. Dalam doktrin Ismaʻili dikenal pula adanya dualisme fungsi keilahian (the dualism of divined functions). Doktrin tersebut mengatakan bahwa jika tugas seorang nabi adalah menyampaikan wahyu Tuhan dan kemudian meletakkan dasar syariat; sementara tugas Imam adalah menyampaikan makna-makna terdalam dari syariat (hidden meanings). Ismaʻili menyebut yang pertama sebagai bentuk perwujudan dari tanzīl, sedangkan yang kedua merupakan manifestasi dari ta’wīl. Ta’wīl inilah yang menjadi salah satu problem penting dalam diskursus interpretasi pada abad pertengahan. Konflik tersebut muncul karena adanya persaingan otoritas dalam interpretasi yang menggunakan terminologi ta’wīl. Kelompok Ismaʻili, sebagai kelompok sektarian yang secara terang-terangan anti terhadap kelompok ortodoks Sunni Abbasiyah, melakukan privatisasi politik identitas dengan “merampas” konsep ta’wīl dan dikhususkan untuk para Imam kelompok mereka. Maka terjadilah ketegangan politik yang melibatkan Imam al-Ghazali dan menggerakkannya merespon bentuk-bentuk ta’wil Ismaʻili tersebut.
Argumentasi ketiga, bahwa dalam tradisi Ismaʻili tidak ditemukan interpretasi (tafsīr) secara utuh atas al-Qur’an. Sebaliknya, penulis hanya menjumpai interpretasi-interpretasi al-Qur’an secara tematik, di mana topik kenabian menjadi salah satu yang cukup penting dan strategis dalam kaitannya dengan doktrin keagamaan mereka. Catatan sejarah menunjukan bahwa al-Nasafi, salah satu tokoh pre-Fatimid Ismaʻili yang dianggap sebagai peletak dasar neoplatonisme dalam paradigma berfikir Ismaʻili, juga membahas tentang doktrin kenabian. Pembahasan yang sama juga direspon oleh tokoh semasanya, Abu Hatim al-Razi, yang dalam karyanya A’lām al-Nubuwwah, secara khusus mengkritik konsep kenabian yang digagas oleh Abu Bakr al-Razi. Menariknya, interpretasi-interpretasi terhadap kenabian ini menjelaskan sebuah paradigma berfikir pada masanya yang berkarakter lebih filosofis dari pada ideologis. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa tokoh Ismaʻili pada masa Dinasti Fatimiyah.
Dua tokoh yang akan menjadi fokus kajian penulis adalah Qadi al-Nuʻman bin Hayyun dan Ja’far bin Mansur. Keduanya adalah tokoh yang hidup dalam ruang dan waktu yang sama, dalam lingkaran kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Kebetulan, keduanya juga melakukan upaya reinterpretasi dan rekonseptualisasi atas narasi kenabian, sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka. Dalam beberapa kasus, penfasiran-penafsiran mereka atas topik kenabian cenderung bersifat ideologis, seperti kata al-Jabal yang umumya mempunyai arti “gunung” diartikan oleh al-Nuʻman sebagai lawahiq (para pengganti), yang dalam konsep Ismaʻili mereka adalah para Imam pengganti nabi. Maka, dalam QS. 7:143, khususnya pada frasa qāla lan tarāni wa lākin undhur ila al-jabal fa in istaqarra makānahū fa saufa tarāni, diartikan sebagai, “Engkau Musa tidak akan pernah bisa melihat Aku (Tuhan). Untuk itu, lihatlah para lawahiq. Jika mereka tetap berada di jalannya, maka kau akan mampu melihat-Ku”. Model penafsiran seperti ini masif terjadi pada penafsiran tematik di era Dinasti Fatimiyah. Dari contoh tersebut, penulis menengarai titik penting pergeseran pemahaman konsep kenabian dalam Islam sehingga layak dikaji lebih lanjut secara mendalam.
Dari uraian singkat di atas, maka penelitian penulis akan fokus membahas tentang: (1) bagaimana situasi geo-politik pada masa Dinasti Fatimiyah sehingga berpengaruh terhadap tafsir narasi kenabian kelompok Ismaʻili; (2) bagaimana metodologi penafsiran Ismaʻili terhadap narasi kenabian; serta (3) bagaimana keberlanjutan dan perubahan (continuity and change) konsep kenabian yang terjadi pada era sebelumnya hingga Dinasti Fatimiyah Ismaʻili. Dengan format penelitian di atas, penulis menggunakan pendekatan sejarah dengan melibatkan beberapa pisau analisis untuk melihat secara jeli diskursus politik, teologi dan interpretasi di era Fatimiyah Ismaʻili.
***
Demikian reportase yang dapat penulis sampaikan, selaku penerima beasiswa Sandwich di Seminar für Arabistik/Islamwissenschaft der Georg-August-Universität Göttingen selama 5 bulan. Secara personal, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D. yang telah memberi kesempatan penulis untuk merasakan nuansa akademik di Jerman. Penulis merasa beruntung karena program ini telah banyak membantu proses penyelesaian riset disertasi, sekaligus banyak mempengaruhi world view ilmiah penulis sebagai seorang akademisi perguruan tinggi. Demikian. Salam. (afd)