Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

 

Transformasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) membawa misi besar integrasi Islam (religion) dan ilmu pengetahuan (science). Dimulai tahun 2002 IAIN Jakarta bertransformasi menjadi UIN, diikuti IAIN Yogyakarta dan STAIN Malang pada tahun 2004, hingga kini telah ada 11 UIN seluruh Indonesia. Sejumlah IAIN juga sedang mempersiapkan diri menjadi UIN. Semuanya dalam satu irama mengintegrasikan Islam dan sains.

Namun rupanya, masing-masing UIN memiliki ‘tafsir’ yang berbeda. Misalnya, UIN Yogyakarta menggagas integrasi-interkoneksi keilmuan dengan model ‘jaring laba-laba’ (spider web), UIN Malang menggunakan kerangka ‘pohon ilmu’ (science tree), dan UIN Bandung menggunakan metafora ‘roda ilmu’. Dalam implementasinya, masing-masing model tersebut mengalami sejumlah kendala dan tantangan.

Model integrasi-interkoneksi keilmuan spider web relatif lebih komperhensif dibandingkan model lainnya. Sudah lebih satu dasawarsa model ini coba diimplementasikan dalam proses pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian keapada masyarakat di UIN Sunan Kalijaga. Namun demikian, sejak sang arsitek spider web Prof. Amin Abdullah merampungkan jabatannya sebagai rektor dua periode (2001-2010), lambat laun model ini mulai redup gaungnya.

Dalam suasana seperti itulah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga berikhtiar untuk mengkaji ulang gagasan integrasi Islam dan sains. Ikhtiar itu dikemas dalam bentuk International Conference dan Workshop dengan tajuk “Revisiting the Concept of Integration between Islam and Sciences and the Development of Graduate Studies at Indonesian Islamic University”. Kegiatan yang berlangsung dua hari ini, 26-27 Juli, bertempat di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Hadir sebagai narasumber Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., Ph.D. (Direktur Pascasarjana UIN Yogyakarta), Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Yogyakarta), Prof. Dr. Machasin, M.A. (Guru Besar UIN Yogyakarta), Prof. Dr. Mujiburahman, M.A. (Guru Besar IAIN Antasari), Prof. Dr. Muslich Shabir, M.A. (Guru Besar UIN Semarang), Dr. Zainal Abidin Bagir, M.A. (Dosen Universitas Gadjah Mada), Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf (Guru Besar Universitas Mahidol, Thailand), dan Prof. Dr. Ibrahim Zein (Guru Besar Universitas Hammad Khalifah, Qatar) melalui teleconference.

Konferensi diikuti 150 orang peserta terdiri dari pimpinan Pascasarjana Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seluruh Indonesia, dosen UIN Yogyakarta, mahasiswa pascasarjana dari sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta, dan peserta umum. Sedangkan workshop hanya khusus diikuti pimpinan pascasarjana dan dosen UIN Yogyakarta yang berjumlah 50 orang.

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag., dalam sambutannya mewakili Rektor, menyambut baik kegiatan ini. Menurut Sutrisno, ada dua problem utama di bidang pendidikan yang dihadapi umat beragama, khsususnya umat Islam di Indonesia. Pertama, problem dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Kedua, problem dualisme institusi pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Integrasi-interkoneksi keilmuan yang diformulasikan UIN Yogyakarta berusaha untuk mengatasi problem tersebut.

Sementara Direktur Pascasarjana UIN Yogyakarta, Prof. Noorhaidi, mengungkap kesulitan-kusulitan pada tataran praktik implementasi paradigma integrasi Islam dan sains dalam proses pendidikan, pengajaran, dan penelitian. Kesulitan tersebut dirasakan oleh semua UIN, khususnya bagi program-program studi yang berasal dari rumpun sains murni. Kesulitan juga dirasakan sejumlah IAIN yang sedang berproses menjadi UIN. “Inilah saatnya paradigma integrasi Islam dan sains ditinjau ulang,  didiskusikan, dan dirumuskan kembali melalui forum ini,” tegas direktur.

Lebih lanjut Noorhaidi menuturkan, integrasi Islam dan sains yang salah satunya berakar dari pemikiran “islamisasi ilmu” Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986) telah banyak disalahpahami dan direduksi. Islamisasi ilmu sebatas dipahami dengan “mendomplengkan” ayat-ayat Alquran dan Hadis pada temuan-temuan sains. Padahal bukan itu yang dimaksud al-Faruqi. Karena itulah, konferensi ini menghadirkan Prof. Imtiyaz Yusuf, murid langsung al-Faruqi, untuk meluruskan pemikiran al-Faruqi yang telah disalahpahami. (@f)