Promovendus |
: |
Halili (1230016037)
|
Judul Disertasi |
: |
PENGHULU DI ANTARA DUA OTORITAS FIKIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM: (Studi tentang Dinamika Penyelesaian Isu-Isu Hukum Perkawinan di Daerah Istimewa Yogyakarta) |
Promosi |
: |
Senin, 22 Juli 2019, Pukul: 10.00 - 11.30 WIB. Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga |
Promotor |
: |
1. Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A. |
Penguji
|
:
|
1. Prof. Dr. H. Kamsi, M.A. 2. Dr. Ahmad Bahiej, S.H., M.Hum. 3. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. 4. Prof. Dr. H. Makhrus, S.H., M.hum. |
Abstraksi |
: |
Pelaksanaan tugas penghulu yang menitikberatkan pada pencatatan perkawinan di Indonesia memerlukan seperangkat aturan sebagai pedoman administrasi di KUA. Berbicara administrasi di sini tidak semata prosedur yuridis formal negara akan tetapi juga berkait dengan aturan-aturan hukum Islam dalam persoalan perkawinan. Terkait dengan aturan-aturan hukum Islam ini salah satunya sebagaimana yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).. KHI merupakan seperangkat ketentuan hukum Islam yang telah menjadi salah satu rujukan dasar bagi penghulu dalam melaksanakan tugas pencatatan perkawinan di KUA. Rumusan KHI tersebut diambil dari sumber-sumber hukum Islam yang otoritatif, Alquran dan as-Sunnah, serta melalui pengkajian terhadap kebutuhan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu keberadaan KHI yang ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 secara hierarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, tatanan hukum Islam yang tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik diadaptasi dan dimodifikasi ke dalam KHI sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang bercorak khas Indonesia. Dalam beberapa kasus tertentu seperti penentuan wali nikah, penghitungan dan penetapan masa iddah, dan perkawinan hamil, masih terdapat perbedaan rujukan hukum antara kitab-kitab fikih dengan KHI yang terjadi di kalangan penghulu. Dengan adanya hal itu, dalam kasus nikah siri dan perkawinan di bawah umur kadang memunculkan kontestasi kewenangan antara penghulu dengan ulama lokal. Sementara dalam kasus isbat nikah, riddah, dan poligami memunculkan kerancuan pencatatan perkawinan yang ada di KUA. Berangkat dari latar belakang tersebut penelitian ini difokuskan untuk menjawab tiga pertanyaan berikut. Bagaimana pemahaman dan sikap penghulu di DIY terhadap KHI vis a vis otoritas fikih dalam menyelesaikan masalah hukum perkawinan? Apakah negara telah memainkan perannya dalam mengatur tugas-tugas para penghulu di DIY untuk menyelesaikan isu-isu hukum perkawinan? Mengapa terjadi disparitas penerapan hukum perkawinan di kalangan penghulu di DIY? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa penelitian kualitatif dapat mengungkap dan menjelaskan permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini mengungkap tiga kesimpulan yaitu; pertama, merujuk pada isu-isu hukum perkawinan yang menjadi fokus penelitian ini mengungkap bahwa masih terdapat dualisme rujukan hukum yang digunakan penghulu di KUA. Satu bagian merujuk kepada kitab-kitab fikih, dan sebagian lainnya merujuk kepada KHI. Kedua, dinamika penyelesaian isu-isu hukum perkawinan di kalangan penghulu DIY dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) Pengalaman bekerja dan sumber pengetahuan penghulu. Dalam hal ini, kesempatan penghulu untuk mendapatkan pendidikan non formal melalui kegiatan diklat, seminar, workshop, bimbingan teknis, dan kegiatan-kegiatan keilmuan lainnya semakin memperkaya wawasan penghulu untuk menyikapi persoalan-persoalan hukum perkawinan yang dihadapinya; (2) Kultur sosial keagamaan masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada terjadinya disparitas rujukan hukum terhadap penyelesaian persoalan hukum perkawinan tertentu di daerah yang satu dengan daerah lainnya; (3) Otoritas Kementerian Agama dan kebijakan-kebijakan hukum. Otoritas Kementerian Agama yang bersifat teknis administrasi pelaksanaan hukum perkawinan bisa dilihat pada penerbitan Peraturan Menteri Agama, pedoman, dan surat edaran di lingkungan Kementerian Agama. Ketiga, aturan-aturan hukum materiil perkawinan yang mewujud dalam KHI, belum sepenuhnya dijalankan oleh penghulu. Negara belum sepenuhnya berperan dalam mengarahkan cara pandang hukum penghulu terkait materi hukum perkawinan yang termuat dalam KHI. Di kalangan penghulu DIY terjadi disparitas sumber rujukan dalam penyelesaian satu kasus hukum yang sama. Adapun pengaturan mengenai kedudukan, tugas dan fungsi penghulu peran negara dalam pengendalian gratifikasi dan menekan praktik pungutan liar telah berjalan dengan baik Hasil penelitian ini semakin menguatkan teori-teori perubahan sosial dan antropologi sosial yang beririsan dengan pembaruan dan kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu kajian-kajian pembaruan hukum Islam tidak bisa dilepaskan dengan dinamika perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia itu sendiri Kata kunci: Dinamika, Kontestasi, Penghulu, Kompilasi, Hukum Perkawinan |