Promovendus

:

Ade Fakih Kurniawan (1530010007)

Judul Disertasi

:

CULTURAL NEGOTIATION, AUTHORITY, AND DISCURSIVE TRADITION: THE WAWACAN SEH RITUAL IN BANTEN

Promosi

:

Senin, 26 Agustus 2019, Pukul: 10.00 - 11.30 WIB.
Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
     

Promotor

:

1. Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil.. Ph.D
2. Achmad Zainal Arifin, M.A.,  Ph.D.
                                         

Penguji

 

:

 

1. Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.                                 
2. Prof. Martin Slama, M.A.                                                      
3. Ahmad Norma Permata, S.Ag., M.A., Ph.D             
4. Fatimah, M.A., Ph.D                   

 

Abstraksi

 

:

 

Disertasi ini membahas negosiasi kultural, afirmasi otoritas dan power, serta proses perubahan ritual Wawacan Seh di Banten. Dengan menggunakan teori Talal Asad tentang tradisi diskursif (discursive tradition), karya ini akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut: Mengapa tradisi Wawacan Seh masih tetap bertahan di Banten? Elemen ritual apa sajakah yang masih dilestarikan dan dimodifikasi? Dan factor-faktor mendasar apa sajakah yang mempengaruhi perubahan dalam ritual, serta bagaimana factor-faktor tersebut terlibat dalam proses diskursus? Data-data pendukung argumentasi dalam disertasi ini didapatkan melalui metode investigasi bibliografis dan empirik.

Wawacan Seh (secara etimologis berarti pembacaan mana>qib sang Syekh) merupakan aktivitas ritual di mana orang-orang berkumpul untuk membaca dan mendengarkan kisah hagiografis Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani. Teks yang digunakan dalam ritual ini ditulis dalam bahasa Jawa atau Sunda dialek Banten dan disusun berdasarkan pola prosa tradisional (pupuh) serta dilagukan dengan teknik tradisional tertentu (macapat). Masyarakat Banten yang masih menyelenggarakannya percaya bahwa ritual ini dilakukan dalam rangka ngalap berkah, tolak bala, bahkan untuk mendapatkan kesakten. Secara umum, praktik ritual ini masih dilakukan dengan cara pra-Islam, seperti penggunaan sesajen. Pada perkembangannya, ritual ini bahkan telah menjadi komposisi utama dalam hampir setiap kesenian dan tradisi keagamaan lainnya di Banten, seperti debus, rudat, beluk, pencak silat, rebo wekasan, dan lain-lain.

Dalam praktiknya, ritual ini seringkali mengundang reaksi dari para univeralis muslim yang menuduhnya sebagai praktik bid’ah dan tidak islami. Selain itu, pertemuan ragam budaya dan tradisi menyebabkan adanya diskursus yang pada gilirannya membentuk negosiasi-negosiasi kultural baru. Pada kasus tradisi Wawacan Seh, ada tiga ekses dari negosiasi kultural tersebut, yakni kontinuitas, kontinuitas cum modifikasi, dan diskontinuitas. Modifikasi praktik ritual Wawacan Seh, baik secara struktur, pemaknaan simbol, dan fungsinya, merupakan bentuk dari proses penyesuaian terhadap perubahan sosial dan budaya yang melingkupinya. Beberapa bentuk baru dari hasil modifikasi ritual ini dapat dilihat dalam praktik Maca Silsilah, Manakiban, dan Istigosah Kubro. Ada tiga element utama yang terlibat di dalam diskursus dan mempengaruhi perubahan tersebut, yakni subject (utamanya dimainkan oleh tiga kelompok muslim dalam diskurus keagamaan: Lokalis-Moderat-Universalis), event (seperti adanya migrasi, perkembangan dunia pendidikan, dan menurunnya pengkaderan pembaca ritual), dan condition (seperti modernism, rasionalisme, globalisme, transnasionalisme, dan kondisi ekonomi-politik)

Perubahan dalam praktik ritual Wawacan Seh tidak hanya menunjukkan terjadinya perubahan pada bentuk objektif dari sebuah tradisi dan budaya, tetapi juga menjadi penanda adanya perubahan besar dan mendasar pada tataran ontologis, sosial, struktur otoritas, worldview dan cara pandang keagamaan, serta relasi kuasa yang ada di masyarakat. Pada tataran teoretis, teori Talal Asad tentang discursive tradition mendorong penulis bukan hanya untuk menganalisis diskursus yang mengakibatkan terjadinya perubahan budaya tetapi juga untuk mengungkap pola dari relasi kuasa tersebut. Meski begitu, ada implikasi teoretis yang tak dapat dihindari. Meskipun dalam banyak kesempatan Asad mengkritik secara tajam pendekatan interpreatatif dan makna simbolik Geertz, data-data di lapangan dan temuan disertasi ini menunjukkan bahwa kedua teori (pendekatan interpretatif dan makna simbolik Geertz dan pendekatan relasi kuasa dan praktik Asad) keduanya tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dijalankan sendiri-sendiri secara eksklusif dalam ranah penelitian antropologi.