Promovendus |
: |
Moh. Lutfi Nurcahyono, SHI., M.H.I (1430016008) |
Judul Disertasi |
: |
HAK-HAK PEREMPUAN ATAS MASKAWIN DAN KESETARAAN DALAM MASYARAKAT MUSLIM SUKU OSING BANYUWANGI |
Promosi |
: |
Kamis, 17 Oktober 2019, Pukul: 13.00 - 14.30 WIB. Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga |
Promotor |
: |
1. Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A., D.C.L |
Penguji
|
:
|
1. Prof. Dr. H. Makhrus, S.H., M.Hum. 2. Dra. Siti Syamsiyatun, M.A., Ph.D 3. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. 4. Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. |
Abstraksi |
: |
Di kalangan masyarakat masih dijumpai penerapan sistem dengan mengatasnamakan atuaran-aturan baik secara adat, hukum positif dan hukum Islam yang mengesampingkan status dan peran perempuan dalam mendapatkan hak-haknya. Namun, adanya pemahaman bahwa hukum Islam dan hukum adat merupakan dua entitas yang saling berdialog menjadi salah satu solusi di dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Hukum Islam memahami adat tidak terpaku pada teks melainkan dengan mencari pemahaman-pemahaman yang sesuai dengan konteks. Hal itulah yang mendasari pemahaman maskawin sebagai salah satu hak perempuan di kalangan suku Osing. Dialektika antara hukum Islam dan adat Osing di Banyuwangi menjadi kunci pemahaman terkait maskawin suku Osing. Disertasi ini fokus kepada tiga hal yakni pemahaman suku Osing tentang maskawin dan bagaimana status perempuan serta bagaimana hukum Islam dipahami, diwacanakan dan dipraktekan. Disertasi ini mengunakan pendekatan antropologi dan untuk analisis maskawin dan status perempuan Osing mengunakan teori properti, timbal-balik, fungsional dan negosiasi deskriptif dan integratif. Sedangkan untuk memahami hubungan antara hukum Islam dan adat Osing menggunakan teori nonkonfliktual approach. Penelitian ini menyimpulkan bahwa negosiasi atau rembukan yang mereka lakukan menghasilkan tiga sistem bernegosiasi di dalam pernikahan yakni sistem kawin angkat-angkatan, kawin colong, dan kawin ngleboni. Ketiga sistem bernegosiasi itu didasari dengan prinsip demen dan podo welase yang kemudian memahami maskawin berfungsi sebagai bundle of sticks atau alat pengikat untuk selalu berkomitmen bagi keduanya. Untuk keselamatan ekonomi (economic safety) di kalangan suku Osing direalisasikan dengan memanfaatkan harta-harta yang sejenis dengan maskawin yakni sasrahan, gawan, dan cecawisan. Harta-harta inilah yang pada saat pernikahan kepemilikannya berubah dari kepemilikan individu (self-ownership) menjadi kepemilikan keosingan (culture-ownership). Laki-laki dan perempuan memiliki akses dan partisipasi yang seimbang (equal partnership) dalam keterlibatan menjaga tradisi adat dan penguatan ekonomi keluarga. Kondisi yang memberikan kemaslahatan bagi suku Osing inilah yang menjadikan adat dan hukum Islam berjalan tanpa ada pertentangan yang signifikan. Suku Osing memahami bahwa adat Osing adalah hukum Islam dan hukum Islam adalah adat Osing. Oleh karena itu, kafa’ah atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bagi suku Osing bukan lagi berdasar aturan-aturan fikih melainkan hasil negosiasi adat dan hukum Islam yang disepakati di kalangan mereka. Hal inilah yang kemudian menegaskan bahwa hubungan hukum Islam dan adat Osing berdialog dengan harmonis. Hukum Islam tidak lagi dipahami sebagai teks-teks yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih akan tetapi hasil dari dialektika teks dengan konteks masalah yang selalu berubah dan berkembang di dalam masyarakat.
|