Promovendus

:

Mukhsin Achmad, M.Ag (1530016053)

Judul Disertasi

:

MUI, FATWA, AND VIOLENCE AGAINST SHITTE MINORITY IN SAMPANG, MADURA

Promosi

:

Jum'at, 18 Oktober 2019, Pukul: 14.00 - 15.30 WIB.
Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
     

Promotor

:

1. Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A.
2. Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A.
                                         

Penguji

 

:

 

1. Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil., Ph.D.                                 
2. Prof. Drs. H. Ratno Lukito, M.A., Ph.D., DCL                                                      
3. Dr. Amanah Nurish, M.A.             
4. Ahmad Norma Permata, S.Ag.,M.A., Ph.D.                   

 

Abstraksi

 

:

 

Disertasi ini ingin mengungkap peran   MUI  Kabupaten Sampang dalam memproduksi fatwa terhadap  kelompok minoritas shi`i  serta kaitannya dengan peristiwa kekerasan  yang terjadi di Sampang, Madura. Penelitian ini dilatarbeakangi oleh peristiwa kekerasan terhadap kelompok minoritas Shi`i  yang terjadi  baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Sampai saat ini Konflik dan kekerasan tersebut belum ada penyelesaian yang berarti. Untuk mengungkap masalah di atas, ada beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan. Pertama, bagaimana kekerasan terhadap komunitas shi`i itu bisa terjadi? Apa faktor dibalik kekerasan itu terjadi? Dan mengapa fatwa MUI kabupaten Sampang itu diproduksi? Apakah ada kaitan antara fatwa dan kebijakan publik di daerah dengan kekerasan itu terjadi? Serta sejauhmana implikasi kekerasan terhadap kelompok minoritas shi`i tersebut

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, disertasi ini menggunakan beberapa teori yang mendukung. Teori utama untuk menjawab tentang konflik dan kekerasan adalah teori Johan Galtung tentang triangulasi kekerasan. Galtung membagi kekerasan ada tiga kategori. Pertama, kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung yang ia sebut sebagai kekerasan structural dan ketiga kekerasan kultural. Kekerasan terhadap komunitas shi`i Sampang mencakup tiga kekerasan sekaligus baik langsung, tidak langsung (structural) maupun kekerasan cultural. Kekerasan baik secara langsung berupa pembakaran, pembunuhan dan pengusiran telah mengalami proses transformasi menjadi kekerasan yang bersifat structural melalui instrument agama  dan negara melalui fatwa dan kebijakan public daerah. Sedangkan kekerasan cultural terjadi melalui proses pewacanaan shi`a sebagai ideologi yang sesat dan menyesatkan terjadi. Konflik dan kekerasan terjadi baik pada level individu maupun kelompok masyarakat. Fatwa sebagai instrument agama telah berperan menjadi salah satu pertimbangan secara tidak langsung dalam pembuatan kebijakan public daerah (peraturan gubernur) di Jawa Timur. Dalam mengungkap persoalan tersebut disertasi ini juga menggunakan teori  Fairclough tentang Analisis Wacana Kritis (CDA). Teori ini ingin membantu mengungkap proses penerbitan, penggunaan, dan distribusi fatwa dan kebijakan publik, serta wacana dan praktiknya.

Penelitian ini adalah kualitatif dengan menggabungkan investigasi bibliografi dan empiris. Metode ini mengharuskan saya untuk mengumpulkan banyak data dan kemudian menganalisisnya.

Beberapa temuan penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, fatwa bukan penyebab tunggal kekerasan terjadi namun kekerasan disebabkan oleh akumulasi banyak faktor yang saling terkait baik individu, kelompok sosial dalam pergulatan wacana dan praktik sosial di Sampang termasuk ideologi, sosial ekonomi, politik, psikologi, dan latar belakang keluarga. Kedua, kekerasan langsung telah bertranformasi menjadi kekerasan structural setelah MUI mengeluarkan fatwa  dan fatwa tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik daerah (peraturan gubernur). Sungguhpun fatwa telah diproduksi untuk  menjaga kepentingan orthodoxy dari pengaruh kelompok shi`ite, namun fatwa telah digunakan sebagai instrument agama yang bertransformasi menjadi instrument negara. Dalam hal ini, yang sebenarnya terjadi adalah "positivisasi fatwa." Positivisasi fatwa adalah proses transformasi dari fatwa berkekuatan moral menjadi bekekuatan hukum yang mengikat dan memaksa. Ketiga, ada kekerasan struktural dan budaya, di mana satu mempengaruhi yang lain. Kondisi ini berdampak pada pembuatan komunitas Syiah yang terlantar (dari Sampang ke Sidoarjo). Dan temuan terakhir adalah berurusan dengan proses rekonsiliasi pasca kekerasan. Rekonsiliasi ini melibatkan kearifan lokal dan pendekatan perayaan keagamaan, seperti merayakan sebelum haji (walimat al-safar), pernikahan, taretan tibi (bekerja untuk bekerja bersama), dan kegiatan sosial lainnya. Penelitian ini sangat bermanfaat untuk garis dasar, bagi mereka yang peduli terhadap minoritas, dan hubungannya dengan mayoritas. Rekonsiliasi antara mayoritas dan minoritas mutlak diperlukan agar kehidupan beragama di Indonesia tetap harmonis dan kondusif.