Prof. Kamaruddin Amin Isi Kuliah Umum tentang Kajian Hadis di Barat

Kajian hadis di Barat berangkat dari pertanyaan mendasar: Apakah literatur yang dimiliki oleh orang Islam semisal kutub as-Sittah atau kutub at-Tis’ah itu betul seperti yang diceritakan dalam kitab tersebut atau tidak? Apakah Hadis itu benar-benar disandarkan pada nabi atau tidak? Apakah hadis itu betul-betul merefleksikan sebuah peristiwa sejarah rial yang bisa dibuktikan secara historis dengan kajian-kajian akademik atau dengan metodologi akademik? Demikian Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A., Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, memulai kuliah umumnya di Pasasarjana UIN Sunan Kalijaga (Selasa, 03/12/2019). Aula Pascasarjana tempat diselenggarakannya kuliah umum itu dipenuhi mahasiswa (S1, S2, S3) dan dosen. Dalam Kuliah Umum ini Dirjen Pendis didampingi oleh Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, Wakil Rektor II.   

Kuliah Umum yang dimulai pukul 11.25 WIB ini dipandu langsung oleh direktur Pascasarjana, Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil., Ph.D.. Dalam sambutannya, Direktur Pascasarjana menjelaskan sekelumit latar belakang pendidikan dua pembicara dan minat penelitiannya. “Prof. Kamaruddin Amin ini berhasil mencari jalan tengah antara teori Barat dan Timur dalam kajian hadis. Beliau tidak terjebak pada M. Azami yang sedikit apologetik dalam membantah teori Barat. Beliau dibimbing oleh Harald Motzki, seorang ilmuwan hadis yang simpatik pada kesarjanaan Muslim. Pendidikan masternya beliau tempuh di Leiden University dan S3 di Bonn University, Jerman. Adapun Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin pakar studi al-Qur’an. Beliau juga lulusan Jerman, yakni dari Bamberg University,” ungkapnya.

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, Prof. Kamaruddin melanjutkan uraiannya, bahwa para ilmuwan Muslim dan muhadditsun tentu mengafirmasinya, bahwa kitab yang mereka miliki adalah hasil dari sebuah proses transmisi keilmuan yang reliable, bisa dipertanggungjawabkan historisitas dan originalitasnya, sehingga tidak ada celah. Atau kitab yang mereka miliki sekarang adalah representasi dari abad ke 1-2 Hijriah pada saat Nabi Muhammad dan Sahabat hidup. Untuk mengatakan itu, para muhadditsun punya ulumu al-Hadits, punya metodologi yang dianggap kuat untuk memastikan keshahihannya.

Dengan fasih Prof. Kamaruddin menyebutkan nama-nama ilmuwan Barat yang sangat serius dalam mengkaji hadis sejak abad ke-19 mulai dari Gustav Weil, William Muir, Aloys Sprenger dan teman-temannya, sampai muncul Ignaz Goldziher dengan magnum opus-nya Muhamedanische Studien (1890). Goldziher dianggapnya paling serius dalam mengkaji hadis dengan kesimpulan umum, bahwa kitab-kitab hadis itu tidak bisa dianggap sebagai refleksi dari Rasulullah, melainkan hanya buatan orang Islam pada abad ketiga hijriah.

Setelah itu pada tahun 1950, muncul Joseph Schacht dengan metodologi yang lebih canggih dari pendahulunya. Kritik tajam tentang hadis tertuang dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Berbeda dengan Goldziher, Schacht dengan penelitiannya tidak hanya menjelaskan kepalsuan hadis, namun ia juga bisa mengidentifikasi siapa yang memalsukan hadis.

Begitu juga dengan Joynboll, seorang sarjana Belanda yang menghabiskan waktu 35 tahun hanya untuk meneliti hadis. “Pada waktu itu, tidak ada sarjana yang lebih hebat dari dirinya. Bisa dibayangkan hampir setiap hari berada di perpustakaan dari jam 08 pagi sampai jam 05 sore hanya untuk meneliti hadis. Satu langkah lebih maju dari tokoh sebelumnya, ia tidak hanya berhasil mengungkap kepalsuan hadis dan yang memalsukannya, namun ia juga  mengungkap kapan dan di mana peristiwa itu terjadi dengan sangat rinci,” tegasnya.

Perkembangan penelitian hadis di Barat, menurutnya, tidak hanya sampai di situ. Masih ada satu ilmuwan Barat lagi yang dianggap memiliki metodologi paling keren, yaitu Harald Motzki dengan teorinya “Isnad-cum-Matn”. Dengan teorinya ini, ia bisa melampaui para ilmuwan sebelumnya, yang menyandarkan hadis hanya pada abad ketiga hijriah, dengan cara menyandarkan hadis sampai pada masa tabi’in.

Di bagian akhir, Prof. Kamaruddin menjelaskan disertasinya, yang mencoba mengkonfrontasikan teori Barat dan Timur. Beliau sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadis disandarkan sampai pada masa sahabat. Di samping itu, ia juga menyampaikan tantangan bagi ummat Islam untuk bisa menjelaskan bahwa hadis itu memang datang dari Nabi dengan metodologi yang memadai.

Selama acara, terlihat mahasiswa sangat antusias dan aktif. Ketika sampai pada sesi tanya jawab (Q&A), ada tiga penanya (Syarifah Isnaini dan Muhammad Mufti al-Hasan dari program PMLD), dan Abdul Muiz Amir (dari program 5000 doktor). Secara umum, pertanyaan mereka tentang tahammul al-Hadis dan tadwinu al-Hadis serta kaitannya dengan pendapat ilmuwan Barat.

Adapun Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, karena keterbatasan waktu, menyampaikan  seputar hermeneutika hadis, yakni terkait dengan riwayat bil ma’na. Lebih lanjut, ia mengajak para mahasiswa untuk tidak berhenti belajar dan meneliti al-Qur’an dan Hadis, sehingga bisa merespon perkembangan-perkembangan baru.

Tepat pada pukul 12.27, Direktur Pascasarjana menyampaikan terimakasih kepada para pembicara dan partisipasi aktif dari mahasiswa dan mengakhiri Kuliah Umum dengan pembacaan hamdalah. (A. Munawwir)