Ada sebuah ungkapan terkenal terkait dengan kesehatan dan kebugaran tubuh, yaitu “You are what you eat” (kamu adalah apa yang kamu makan). Seiring perkembangan zaman terutama dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi muncul ungkapan baru, “You are what you read” (kamu adalah apa yang kamu baca). Ibarat memilih makanan, menentukan apa yang dibaca, bagian mana yang dibaca, serta informasi apa yang diakses setiap harinya, akan sangat menentukan pola pikir dan cara seseorang menanggapi suatu hal. Tidak terkecuali pola pikir dan sikap keagamaan seseorang.
Kalangan muda atau generasi milenial, khususnya pelajar dan mahasiswa, memiliki tingkat kerentanan yang cukup mengkhawatirkan terhadap fenomena radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kerentanan itu salah satunya masuk melalui berbagai literatur keagamaan yang menjadi konsumsi mereka.
Seminar Diseminasi Hasil Penelitian “Literatur Keislaman Generasi Milenial” yang digagas Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Convey Indonesia, pada Rabu (10/1), di Hotel Gren Alia Cikini Jakarta, mengungkap peta literatur keislaman yang diakses generasi milenial. Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan mempresentasikan temuan penelitian itu dan selanjutnya dibedah para pakar di antaranya Prof. Dr. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Yogyakarta), Prof. Dr. Jamhari Makruf (PPIM UIN Jakarta), dan Dr. Inaya Rakhmani (Dosen Universitas Indonesia).
Dalam paparannya Noorhaidi menjelaskan, penelitian ini dilakukan di 16 kota, yaitu Medan, Pekanbaru, Padang, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Palu, Mataram, Ambon dan Denpasar. Kota-kota ini dipilih dengan mempertimbangkan sebaran, tipologi, dan karakteristik penting yang melekat di dalamnya. Sebagai sampling dipilih pelajar sekolah menengah atas (SMA, SMK, MA) dan mahasiswa perguruan tinggi.
Hasilnya ditemukan lima corak literatur keislaman yang umumnya diakses generasi milenial, yaitu literatur bercorak jihadi, tahriri, salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Kelima corak tersebut berpola piramida terbalik. Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya. Dalam hal ini, literatur jihadi paling sedikit peminatnya, sedangkan Islamisme popular paling banyak diminati.
Literatur jihadi menggambarkan dunia saat ini berada dalam situasi perang sehingga menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan Islam. Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas yang merujuk langsung terhadap sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi menyebarkan misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat ini. Sedangkan literatur islamisme popular mengusung tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam kehidupan yang dikemas dengan renyah, trendy, dengan corak fiksi, popular, dan komik.
Dari temuan itu, penelitian merekomendasikan pada pemerintah agar mengimbangi penyebaran literatur keislaman ideologis yang berbahaya dengan mendorong publikasi buku-buku Islam moderat yang dikemas dengan gaya popular, renyah, dan trendy. Penyediaan literatur Islam moderat perlu diikuti dengan penguatan kesadaran dan perluasan wawasan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengajaran agama Islam di sekolah dan perguruan tinggi, terutama guru dan dosen, sehingga mereka dapat dengan baik menjelaskan isu literatur tersebut. (@van)
Berita terkait: Peneliti-UIN:-Kita-Belajar-Agama-Seperti-Ditakut-takuti-