Isma'il Fajri Alattas (kanan) dan Moderator Moch Nur Ichwan (Kiri)
Tanggal 15 Maret 2017, koran nasional Jawa Pos memuat berita peresmian tempat ziarah wali baru di Desa Jagalan, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Di tempat itu ditemukan kuburan kuno yang diidentifikasi sebagai makam Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar, seorang wali penyebar Islam yang sebelumnya tidak dikenal bahkan oleh masyarakat Jagalan sendiri.
Sosok ini diyakini sebagai guru dari ulama besar Muhammad Soleh bin Umar As-Shamarani atau terkenal dengan nama Kiai Soleh Darat Semarang. Kiai Soleh Darat (1830-1903 M) adalah guru dari dua ulama besar pendiri Nahdatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asyari, dan pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
Uniknya, penemuan penting yang menambah khazanah sejarah perkembangan Islam di Indonesia ini bukan hasil penyelidikan sejarawan atau antropolog dari perguruan tinggi. Penemunya adalah Habib Muhammad Lutfi bin Yahya dari Pekalongan yang juga Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
Bermula pada November 2016 silam, Habib Lutfi berziarah ke makam K.H. Ahmad Badawi di Kaliwungu. Saat memasuki kompleks pemakaman umum Jagalan menuju makam K.H. Ahmad Badawi, tiba-tiba Habib Lutfi mendapatkan visi spiritual di salah satu makam tua. Usai berdoa cukup lama, Habib Lutfi bercerita bahwa itu adalah makam ulama besar, Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar. Habib lalu memerintahkan masyarakat membangun kubah di atasnya dan melembagakan tradisi haul di tempat itu.
Kisah ini terungkap dalam Studium Generale Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai rangkaian kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2018/2019, Selasa (25/9), di Gedung Convention Hall kampus setempat. Kuliah umum ini disampaikan Ismail Fajrie Alatas, Ph.D., asisten profesor di Universitas New York, Amerika Serikat.
Tema yang diangkat adalah “Mimpi Wali/ Wali Mimpi: Otoritas dan Praksis Sejarah Islam di Jawa.” Topik ini menyedot perhatian luar biasa para peserta. Ruang acara penuh sesak oleh lebih dari 300 peserta yang sebagian duduk lesehan karena tidak kebagian kursi. Sejumlah dosen juga turut mengikuti kuliah ini dengan antusias sampai selesai meskipun ruangan sempat gelap gulita karena mati lampu.
Mimpi sebagai Metode
Lebih lanjut, Ismail yang juga keturunan habib dari jalur Alatas ini mengemukakan, praktik Habib Lutfi mengidentifikasi makam-makam kuno sebagai makam wali melalui mimpi dan visi spiritualnya telah berjalan lama. “Beliau sudah banyak membangun kuburan kuno yang sebelumnya tidak dikenali dan mengidentifikasinya dengan identitas baru di berbagai tempat di Jawa, Kalimantan, Batam, dan daerah lainnya,” jelas habib yang lahir di Semarang ini.
Karena itu, dalam pandangan Ismail, Habib Lutfi telah melakukan proyek history making atau produksi sejarah dengan metode baru, yaitu melalui mimpi dan visi spiritual. Sejarah dalam konteks ini bukan sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Tapi sejarah yang dibuat, dipikirkan, dan dimaterialiasasi.
Dalam hal ini, mimpi atau visi spiritual menempati posisi sentral dalam proses identifikasi situs sejarah. Produksi sejarah melalui metode mimpi tentu berbeda dengan historiografi Islam mainstream yang bersumber pada isnad dan tradisi sejarah sekuler pasca-pencerahan yang beroperasi pada metode emspiris-positivistik.
Dalam kajian antropologi sejarah seperti dilakukan Amira Mittermaier, Charles Stewart, dan Anand Taneja, mimpi bukan sebagai proyeksi subyektif psikologis, tetapi sebagai pertemuan sosial-etis (socio-ethical encounters). Mimpi adalah ruang dialog dan pertukaran kreatif.
Bagi kaum Sufi, mimpi diyakini sebagai situs dialog dan pembelajaran antara dua aktor yang hidup di ruang waktu dan tataran ontologis yang berbeda. Mimpi sebagai jembatan kepada alam imaginal di mana ruh dapat saling bertemu. Mimpi dipercaya sebagai jembatan yang membuka ihwal semesta yang tersembunyi.
Sebagai seorang yang diyakini Wali, Habib Lutfi dianggap memiliki akses pada dunia spiritual, sehingga dapat bertemu dengan aktor-aktor historis melalui mimpi. Sang Wali yang meninggal dapat muncul dalam mimpi atau visi spiritual Habib Lutfi, sehingga memungkinkan ia bertanya tentang persoalan historis langsung dari aktornya. Dalam konteks ini, Habib Lutfi memiliki otoritas sebagai ahli sejarah bebasis pada otoritas spiritualnya sebagai ulama Sufi dan Wali.
Narasi Sejarah Alternatif
Islam memiliki praksis sejarah yang berbeda dan tidak dapat direduksi menjadi satu macam. Tradisi sejarah pasca-pencerahan yang telah mempengaruhi pemahaman kita tentang waktu dan sejarah hanyalah satu dari banyak cara manusia memahami relasi dengan masa lalu.
Selama lebih dari 3 dekade, Habib Lutfi sibuk membenahi sejarah Islam di Nusantara khususnya sejarah kewalian yang tidak tertulis. Ia terus mencoba menghadirkan kembali narasi sejarah kewalian dengan membangun situs dan melembagakan ziarah.
Bagi Habib Lutfi, penyebaran ideologi Islam transnasional, seperti Salafisme, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan masyarakat Muslim Indonesia dalam membangun narasi sejarahnya. Sehingga Islam yang datang dari Timur Tengah dianggap lebih otentik dan sejarah Islam di Nusantara dianggap sinkretik, malah kurang Islami.
Namun, membangun kembali narasi sejarah Islam di Indonesia, khususnya sejarah kewalian tidak mudah dan penuh tantangan karena historiografi kolonial dan nasionalis dianggap sama-sama menutupi dan menyisihkan sejarah kewalian nusantara. Menghadapi ketiadaan sumber-sumber tertulis, maka Habib Lutfi terkadang harus menggunakan praksis sejarah alternatif, seperti mimpi guna mengakses masa lalu.
Kasus Habib Lutfi menawarkan contoh praksis sejarah, khususnya sejarah kewalian, yang sulit diverifikasi, namun konsekuensi sosiologisnya sangat nyata. Bahkan, praksis ini juga berimplikasi ekonomis. Setiap Habib Lutfi berhasil mengidentikasi kuburan kuno sebagai kuburan wali akan diikuti dengan pelembagaan tradisi ziarah dan haul di tempat itu. Secara otomatis, hal ini mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat sekitar. Bisnis-bisnis lokal untuk para peziarah juga akan lahir dan berkembang. (@f))