Salah satu problem mendasar negara-negara berpenduduk muslim adalah penerapan nilai-nilai demokrasi yang dinilai masih rendah. Hingga saat ini, hanya ada segelintir negara muslim yang telah menerapkan sistem demokrasi dengan relatif cukup baik. Di antaranya Indonesia, Malaysia, dan Tunisia.
Dalam rilis Indeks Demokrasi Tahunan yang dikeluarkan The Economist Intelligence Units (The EIU) tahun 2017, ketiga negara ini memiliki skor tertinggi dibandingkan negara-negara muslim lainnya. Meskipun masih jauh di bawah negara-negara demokratis di Amerika dan Eropa. Malaysia berada di urutan ke-59, Indonesia ke-68, dan Tuninia ke-69.
Indeks ini memuat hasil penilaian keberlangsungan demokrasi setiap negara dunia dengan menggunakan lima variabel. Yaitu, proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil. Skor maksimal dari tiap variabel adalah angka 10.00. Norwegia menjadi negara yang paling demokratis di dunia dengan nilai rata-rata 9.87.
Afghanistan merupakan salah satu negara muslim yang masih berjuang keras untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Indeks demokrasi Afghanistan berada di urutan ke-149. Nilai rata-ratanya 2.55. Nilai terendah adalah aspek keberfungsian pemerintahan yaitu 1.14. Hal ini karena konflik dan peperangan di beberapa wilayah masih mengancam stabilitas negara.
Selain itu, proses elektoral dalam pemilihan presiden dan kepada daerah belum sepenuhnya berjalan demokratis. Ditambah dengan tingkat partisipasi politik warganya yang masih rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, aspek kebebasan sipil mulai membaik, meskipun masih jauh dari standar kehidupan demokratis.
Pertimbangan itulah yang mendasari para akademisi Afghanistan belajar dari negara-negara lain yang dianggap telah berhasil menjalankan demokrasi. Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia, menjadi salah satu tujuan utamanya. Indonesia yang memiliki kompleksitas keragaman baik dari sisi agama, suku, bahasa, dan budaya dinilai mampu mengelola demokrasi dengan baik.
Hal inilah yang mendorong sejumlah akademisi Afghanistan menggandeng Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk bekerjasama di bidang pendidikan, khususnya dalam rangka penguatan demokrasi. Kerjasama ini salah satunya dituangkan dalam konferensi internasional bertajuk “Constitutional Reform, Electoral Politics, and Democracy: A Comparison between Afghanistan and Indonesia” yang digelar Senin, 29 Oktober 2018, di Aula Pascasarjana.
Hadir sebagai narasumber dari UIN Sunan Kalijaga Prof. Ratno Lukito, M.A., DCL. dan Ahmad Norma-Permata, M.A., Ph.D. Sedangkan dari Afghanistan Dr. Shamshad Pasarlay dan Dr. Mohammad Bashir Mobasher. Konferensi ini berusaha membandingkan pengalaman menerapkan demokrasi antara Indonesia dan Pakistan baik dari sisi politik, hukum, dan pemerintahan.
Konferensi dihadiri peserta akademisi dari 3 perguruan tinggi terbesar di Afghanistan yaitu Universitas Kabul, Universitas Herat, Universitas Kandahar dan perwakilan dari Universitas Washington Amerika Serikat. Sejumlah dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta juga turut memadati acara ini. Konferensi terselenggara berkat dukungan dari Legal Education Support Program–Afghanistan (LESPA), Universitas Washington.
Dalam sambutannya, Direktur Pascasarjana, Prof. Noorhaidi memaparkan, Indonesia dan Afghanistan telah lama menjalin hubungan baik. Afghanistan adalah salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1949. Kedua negara secara resmi membuka hubungan diplomatik sejak tahun 1954.
Pada 10 November 2012, sebuah perjanjian persahabatan baru ditandatangani kedua negara untuk mempromosikan kerjasama dalam bidang politik, ekonomi dan perdagangan, akademik dan edukasi, serta kebudayaan. Indonesia berkomitmen untuk mendukung dan membantu pembangunan kembali Afghanistan pasca rezim Taliban.
Lebih khusus, Prof. Noorhaidi menyampaikan kerjasama dengan perguruan tinggi Afghanistan telah dirintis sejak ia masih menjabat Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan terus berlanjut hingga saat ini. Ke depan, Prof. Noorhaidi mengundang para pelajar dan mahasiswa Afghanistan untuk mengambil studi lanjut (magister dan doktor) di Indonesia, khususnya di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Direktur LESPA, Prof. Lutforahman Saeed, yang juga Guru Besar Hukum Islam Universitas Kabul, dalam sambutannya merespons positif tawaran Prof. Noorhaidi. Sebaliknya, Prof. Saeed juga mengundang mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk melakukan penelitian di perguruan tinggi di Afghanistan. Ia memastikan bahwa kampus-kampus besar seperti Universitas Kabul, Universitas Herat, dan Universitas Kandahar adalah tempat yang aman untuk riset. (@f)