Bicara tentang khilafah, ingatan kita seakan dipaksa kembali pada peristiwa masa lalu era Khulafauurrasyidin sampai pada akhir masa kesultanan Utsmaniyah tahun 1922 M, yang mana khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam kala itu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah sistem khilafah masih dianggap cukup baik dan relevan untuk diterapkan hari ini? Atau dicukupkan sebagai peristiwa masa lalu yang tidak perlu diulang. Pertanyaan-pertanyaan demikian yang kerap kali menuai pro-kontra di kalangan publik tanpa terkecuali para akademisi. Kemunculan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai kelompok yang pro-khilafah dan cukup vocal dalam mengkampayekan khilafah di Indonesia, memicu reaksi publik yang beragam. Meskipun pada akhirnya kelompok tersebut harus dibubarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia berdasarkan Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 pada tahun 2017 karena disinyalir berpaham radikal dan dikhawatirkan dapat merusak ideologi bangsa. Tentu dengan dibubarkannya HTI tidak lantas selesai begitu saja, perdebatan tentang khilafah masih menjadi topik yang cukup menarik untuk ditelisik lebih dalam baik dalam tataran praktis maupun teoritis.
Hal ini yang kemudian menjadi alasan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga mengadakan acara Bedah Buku Islam Yes Khilafah No (20/3). Acara yang berlangsung di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mendapatkan antusias yang luar biasa. Hal itu tampak dari beberapa mahasiswa yang harus rela duduk di lantai karena terbatasnya kapasitas kursi yang ada demi mendengar langsung pemaparan dari sang penulis, Prof. Nadirsyah Hosen, LLM, M.A, Ph.D atau kerap disapa Gus Nadir. Dengan pembanding Dr. Fathorrahman Gufron –dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, diskusi siang hari itu berlangsung cukup hangat.
Sebelum acara inti dimulai, Anwari Nuril Huda selaku ketua panitia, memaparkan reaksi netizen terhadap topik yang diperbincangkan pada siang hari itu. Beberapa akun sempat terpantu membagikan leaflet yang diunggah di akun media social KMP dengan komentar yang cukup unik. Sebagai pengguna media sosial juga, tentu hal itu bukan hal baru bagi Gus Nadir. Maka dalam pemaparannya, ia menjelaskan bagaimana khilafah yang selama ini dipahami oleh masyarakat kita. Apakah betul khilafah saat ini menjadi problem solver terbaik untuk persoalan pemerintahan Indonesia saat ini. Maka melalui bukunya, Gus Nadir mengajak para peserta untuk lebih memahami persoalan khilafah secara utuh. Sehingga pemaknaannya pun menjadi jelas.
Sebab menurutnya banyak dari kita khususnya umat Islam, yang tidak memahami secara utuh rekam jejak sistem pemerintahan khilafah dari masa Khulafa’urrasyidin sampai dengan Kesultanan Utsmaniyah. Miskinnya pembacaan literatur yang berkaitan dengan khilafah menjadikan beberapa oknum menganggap bahwa khilafah merupakam satu-satunya sistem pemerintahan yang tepat untuk diterapkan saat ini. Lebih lanjut, Gus Nadir mengatakan khilafah bukan bagian inti ajaran Islam. Ajaran khilafah tidak terdapat dalam rukun Islam dan rukun Iman, tetapi khilafah adalah bagian produk ijtihad masa lalu. Lantas, kalau menolak khilafah, apakah keislaman kita diragukan dan terguncang? Jelas tidak. Karena pada dasarnya khilafah bukan inti dari ajaran Islam. Tidak ada hukum secara jelas menegaskan kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan khilafah.
Dari uraian penjelasan di atas, bias dipahami bahwa khilafah merupakan hasil dari ijtihad warisan Islam masa lalu. Sebab setiap negara yang berdaulat memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Misalnya Indonesia. Dengan sistem persidensialnya, Inggris dengan sistem parlementernya, Perancis dengan sistem semi-presidensialnya, Korea Utara dengan sistem komunisnya dan masih banyak lagi. Maka jelas bias dikatakan, khilafah sudah tidak relevan untuk diterapkan kembali dalam system pemerintahan saat ini. (Dev. Media KMP)