Maemonah, M.Ag (38) mengatakan, saat ini pemikiran pendidikan masih didominasi oleh pelaksanaan pendidikan secara praktis. Apa yang mendasari pelaksanaan pendidikan lepas dari pemikiran para pakar pendidikan. Padahal dasar dari pelaksanaan pendidikan(Filsafat Pendidikan) juga penting untuk selalu didiskusikan,karena ranah ini berperan penting dalam memberikan kritik, dinamika dan evaluasi pelaksanaan pendidikan, supaya tidak terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara pelaksanaan pendidikan yang sesungguhnya dengan harapan ideal pelaksanaan pendidikan. Sementara Filsafat pendidikan antara lain mengungkap bahwa pendidikan memiliki peran strategis bagi perkembangan kehidupan manusia, keberlangsungan bangsa dan eksistensi agama. Melihat pentingnya dasar pelaksanaan pendidikan, pemikiran Filsafat Pendidikan M. Naquib al-Attas dan N. Driyarkara, sesungguhnya layak untuk didiskusikan kembali dan dijadikan rujukan bagi dasar pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan ini saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, bertempat di ruang Promosi Doktor Convention Hall kampus setempat, Senin, 23 Mei 2011. Disertasi putra kelahiran Kudus ini dipertahankan di hadapan Tim Penguji antara lain : Prof. Dr. H. Abd. Munir Mulkhan, SU., Dr. Ahmad Janan Asifudin, MA., M. Agus Nuryatno, MA. Ph.D., Dr. H. Tasman Hamami, M.Ag., Prof. Dr. H. Sutrisno, M.Ag. (promotor merangkap penguji), dan Dr. St. Sunardi (promotor merangkap penguji). Sidang Promosi dipimpin oleh Prof. Dr. H. Musa Asy’ari, MA., dengan sekretaris Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag.
Lebih lanjut Maemonah memaparkan melalui karya disertasi dengan studi komparasi, pihaknya berupaya mengungkap pemikiran filsafat pendidikan M. Naquib al-Attas dan N. Driyarkara. Menurut promovendus, hakikat pendidikan menurut Al-Attas adalah representasi adanya realitas yang mutlak, sedangkan Driyarkara memposisikan pendidikan sebagai representasi dari manusia yang mengada. Bagi Al-Attas, pemikiran pendidikan dengan basis idealistik-religius yang kuat adalah peng-adab-an tanpa meningglkan dimensi kemanusiaan. Sebaliknya, Driyarkara menghadirkan konsep pendidikan bernuansa humanistik, yang ternyata memiliki dasar-dasar teologis yang kuat. Dari sisi metodologis, Al-Attas lebih mengedepankan dimensi eksistensialistiknya. Pada saat yang sama, keduanya berpendapat bahwa landasan berpikir dan kerangka metodologi dalam pendidikan tidak kalah penting dibandingkan dengan persoalan pelaksanaan itu sendiri. Dari sisi aksiologi pendidikan, Al-Attas menegaskan pentingnya nilai-nilai keagamaan, sedangkan Driyarkara lebih menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan sebagai subjek.
Pemikiran kedua tokoh ini, kata promovendus, dapat dipertemukan menjadi pemikiran yang dapat dinamakan parenialistik. Dengan pemikiran parenialistik ini dasar filsafat pendidikan menjadi lebih lengkap dengan implementasi yang seimbang antara nilai-nilai materialistik, sekularistik, ketuhanan, dan kemanusiaan yang bisa menjadi solusi pelaksanaan pendidikan di Indonesia yang ideal.
Oleh tim penguji, promovendus dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan dirinya merupakan doktor ke-289 yang telah berhasil diluluskan UIN Sunan Kalijaga.