DRS. H.M. Sutomo, SH., M.H., (50 tahun) mengatakan, tradisi hukum kewarisan di Indonesia tidaklah tunggal. Ada tradisi hukum Islam, Adat dan perdata/BW. Perpaduan unsur-unsur tradisi hukum ini dimaksudkan agar mampu mengakomodasi rasa keadilan semua lapisan masyarakat dan dinamika perkembangan masyarakat. Melihat tradisi hukum kewarisan yang tidak tunggal ini, yurisprodensi kewarisan sebagai Law in Action dianggap paling tepat untuk melihat pola-pola dan fakta dinamika. Demikian juga Yurisprodensi Mahkamah Agung (MA), terkait dengan hukum kewarisan di Indonesia hendaknya juga harus dinamis memadukan hukum Islam, Adat dan Perdata, serta mengakomodir peran dan dimensi sosial.
Melihat posisi penting yurisprodensi MA bagi dinamika hukum di Indonesia termasuk juga hukum kewarisan, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama, Pekanbaru, Riau ini melakukan riset tentang tingkat dinamisasi yurisprodensi MA. Riset kepustakaan dengan telaah data dan analisa isi yang mengelaborasi kedalaman aspek isi, keluasan materi setiap putusan MA. putra kelahiran Lamongan ini kemudian dirangkumnya dalam karya disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan dipertahankan dalam promosi terbuka, bertempat di Gedung Convention Hall kampus setempat, Kamis, 27 Oktober 2011. Karya Disertasi berjudul “Dinamika Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Studi atas Yurisprodensi Mahkamah agung RI Tahun 1991-2002)” dipertahankan di hadapan Tim Penguji antara lain : Prof. Dr. H. Aminr Mu’alim, MIS, Prof. Dr. Ratno Lukito, MA., DCL., Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA., Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar (Promotor merangkap Penguji), Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA., Ph.D (Promotor merangkap Penguji).
Menurut Promovendus, Hasil riset disertasinya menunjukkan, yurisprodensi MA menempati posisi strategis dan perperan sebagai produk hukum sekaligus sumber hukum. Artinya, yuriprodensi MA memberikan pedoman hukum atas permasalahan yang dihadapi dan berperan sebagai materi hukum baru yang selama ini menjadi problem krusial hukum kewarisan Islam di Indonesia. Yurisprodensi MA juga menjadi inspirasi bagi masyarakat maupun para hakim, karena yurisprodensi tidak semata-mata dilandaskan pada aturan-aturan positif, melainkan juga pada konteks sosial dan budaya sebagai pertimbangan putusan-putusan hukum.
Dijelaskan, yurisprodensi MA berkembang secara signifikan, baik dalam paradigma berpikir, metode dan materi putusannya. Dinamikaanya dapat dibuktikan dari poerbandingan horisontal maupun vertikal. Yaitu 1. Anak perempuan tunggal dapat menutup paman/bibi, seperti di Somalia, Irak dan Tunisia. Hal ini menunjukkan bahwa 4 dari 5 yurisprodensi MA berpaling dari fikih mazhab dan merujuk pada KHI. Berbeda dengan substansi hukum yang berlaku di Mesir, Suria,Malaysia dan Singapura. 2. Dari yurisprodensi MA terkait dengan bagian laki-laki dan perempuan selalu berpedoman pada fikih mazhab yang diakomodir oleh KHI. Sedangkan di negara-negara Muslim seperti; Mesir, Pakistan dan Malaysia tidak mempersoalkan besar pembagian (2 : 1), berbeda dengan Somalia dan Turki. 3. Yurisprodensi MA terkait harta bersama dan kewarisan istri berpaling dari fikih mazhab dan merujuk pada KHI, bahkan lebih jauh yurisprodensi MA menerima ketentuan hukum adatyaitu 1:1. Sedang hak kewarisannya tetap bagi istri sesuai bagian pokoknya seperti Malysia dan singapura.
4. Yurisprodensi MA berpaling dari fikih mazhab dan keluar dari sumber hukum KHI dari segi substansional. Yaitu memberikan bagian yang sama antara ahli waris Muslim dan non-Muslim dalam tingkatan yang sama dengan mekanisme wasiyyah wajibah. Sedang negara-negara Muslim seperti Mesir, Tunisia, Maroko, Pakistan tidak menerapkan bagi non-Muslim. 5. Yurisprodensi MA terkait mawali memiliki spirit dinamika hukum yang tinggi, tidak keluar dari koridor maqasid asy-syari’ah, meski secara vertikal yurisprodensi MA telah berpaling dari fikih mazhab, sedangkan secara horisontal tetap merujuk pada KHI. Adapun di negara negar Muslim terdapat kesamaan substansial, yaitu mengakui ahli waris pengganti dengan mekanisme wasiyyah wajibah, hanya berbeda dalam garis keturunan saja. 6. Yurisprodensi MA terkait anak angkat meninggalkan fikih mazhab, jika dibandingkan secara vertikal, yurisprodensi MA tidak keluar dari koridor tujuan syari’ah, apabila dikomparasikan secara horizontal, yurisprodensi MA merujuk pada KHI dengan mekanisme wasiyyah wajibah maksimal 1/3 harta. 7. Secara vertikal, yurisprodensi MA masih dalam koridor tujuan hukum dan meninggalkan fikih mazhab terbatas dalam fungsi hibah. Secara horisontal merujuh KHI yang memposisikan hibah dan hibah wasiat sebagai warisan.
Melihat temuan-temuan temuan diatas, kata bapak 3 putra dari istri Dr. Daharmi Astuti ini, dapat dikatakan bahwa, yurisprodensi MA mengakomodasi pandangan konteporer serta mempertimbangkan living law di masyarakat. Konsekuensinya, yurisprodensi kewarisan Islam tidak lagi menjadi putusan yang hanya mendasarkan pada hukum materiil, seperti KHI tetapi juga mendasarkan pada pemikiran hukum yang kontekstual dan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat sebagi penyedia materi hukum kewarisan Islam di indonesia ke depan. (Humas UIN).