Kesadaran gender kaum wanita muslim telah menimbulkan fenomena baru di era modern saat ini. Yakni Fenomena tingkat perceraian pasangan Muslim  berpendidikan tinggi  terus meningkat.  Perceraian dengan kecenderungan gugat juga lebih banyak dibanding cerai talak. Biasanya tingkat perceraian yang tinggi dialami oleh negara atau wilayah yang tingkat pendidikan masyarakatnya relatif rendah.  Fenomena yang berbalik  ini tentunya telah menimbulkan masalah yang harus dihadapi, baik  pasangan yang bercerai  dan berbagai pihak. Karena perceraian merupakan hilangnya komitmen dalam perkawinan dan yang paling pahit menanggung resikonya adalah  anak-anak yang sebetulkan tidak bersalah.

Kesimpulan itu diperoleh Dra. Nunung Rodliyah, MA., (51 tahun) setelah melakukan penelitian terhadap kasus kasus perceraian di Kota Bandar lampung. Penelitian dilakukan mulai tahun 2008 dengan megambil sampel 500 kasus perceraian pasangan Muslim. Hasil penelitian Dosen Universitas Lampung (UNILA) ini diangkat dalam karya disertasinyan untuk memperoleh Gelar Doktor Bidang Hukum Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Karya Disertasi berjudul “Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi  (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung” dipertahankan di hadapan tim penguji antara lain : Dr. Hamim Ilyas, MA.,  Dr. Ema Marhumah, M. Ag., Dr. Syamsiatun, MA., Prof. Dr. Siti Partini Suardiman,  Prof. Dr. H. Khairuddin, MA., (promotor merangkap penguji), dan Dr. Suharko (promotor  merangkap penguji), di Ruang Promosi Gedung Convention Hall kampus setempat, Kamis, 1 Desember 2011.

Melalui studi lapangan dengan pendekatan sosiologi keluarga, sementara sampel diperoleh dengan carapurposive sampling, pengumpulan data dengan metode dokumentasi, observasi, wawancara dan studi pustaka, putra kelahiran Jombang ini berhasil mengungkap aspek-aspek yang mengakibatkan tingginya tingkat perceraian di kalangan keluarga Muslim berpendidikan tinggi. Aspek aspek itu menurut promovendus antara lain : Masalah keuangan yang tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, suami sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak, suami sering mabuk-mabukan, berkurangnya perasaan cinta, perhatian dan kebersamaan diantara pasangan sehingga jarang berkomunikasi. Jika dikaitkan dengan teoriGeorge Levinger, kata promovendus, kenyataan perceraian dengan penyebab gugat cerai lebih tinggi dari pada talak,  relevan dengan beberapa kategori yang dibuat Levinger. Yakni: 1. Adanya perubahan pandangan tentang nilai dan norma perceraian. 2. Adanya pandangan tentang etos persamaan derajad dan tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. 3. Pandangan yang semakin luas dari pihak perempuan melahirkan berbagai alternatif pilihan apabila bercerai. 4. Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggan terhadap ketahanan sebuah perkawinan. 5. Kemandirian ekonomi pihak perempuan. Perubahan struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga juga berkorelasi terhadap fenomena semakin meningkatnya pasangan Muslim bercerai, jelas Nunung.

Berpijak pada aspek-aspek yang berkorelasi pada semakin tingginya tingkat perceraian gugat keluarga Muslim, seperti yang terjadi di Kota Bandar Lampung, menurut promovendus, apapun alasan penyebab keinginan bercerai, perceraian tetap tidak bisa dibenarkan karena yang menanggung akibatnya adalah anak-anak.  Sehingga setiap pasangan perlu memahami hal – hal sebagai berikut: Dalam hubungan antara pasangan suami istri, hal yang dibutuhkan adalah; 1. Kecerdasan pikiran dan perasaan/ rasa empati antara kedua belah pihak ( suami-Istri ) setiap menghadapi berbagai persoalan yang muncul dan itu dialami setiap keluarga. 2. Setiap pasangan hendaknya mampu bersikap dewasa untuk  menciptakan situasai saling mengerti, memahami dan melengkapi antar pasangan, sehingga memiliki dasar yang kuat untuk dapat menyelesaikan konflik yang sering kali muncul dalam perjalanan perkawinan. 3. Islam membangun pondasi rumah tangga yang sakinah dengan meletakkan beberapa dasar pengajaran hukum. Jika manusia mengikuti dan mengamalkan dengan baik, khususnya dalam masalah yang berhubungan dengan perkawinan dengan asas yang kuat dan kokok akan mudah untuk menggapai keharmonisan rumah tangga. Islam juga mensyaratkan bahwa perceraian hanya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dirasa akan menimbulkan kemadharatan ataupun dampak yang lebih besar dalam kehidupan suami istri maupun masyarakat,  apabila perkawinan dipertahankan. Setiap pasangan (suami-istri) hendaknya saling memahami hak dan kewajiban dan harus bertanggungjawab secara timbal-balik untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya dan memegang teguh komitmen perkawinan. Jika 3 hal diatas dipahami setiap pasangan suami istri, maka setiap pasangan suami-istri, apalagi pasangan Muslim akan berpikir panjang untuk memutuskan bercerai. Karena pasangan adalah belahan jiwa karunia Allah SWT, yang apabila mampu mempertahankan keharmonisannya sampai akhir hayat akan mengantarkan kedua belah pihak untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, jelas ibu 2 putra dari suami H. Hidayat Zakie, SH., MH.

(sumber: Humas UIN )