Abdul Haris (40 tahun), di era kontemporer yang  kompleks permasalahannya dan perubahan yang sangat cepat, pemahaman hadis memerlukan  revolusi dan reinterpretasi yang sempurna. Metode hermeneutika bisa membantu hal ini. Melalui  metode hermeneutik, hadis bisa diubah menjadi sunnah yang hidup. Namun perlu dipahami bahwa hadis perlu dibedakan antara hadis yang bersifat historis (hadis yang didukung dengan fakta-fakta sejarah) dan hadis yang bersifat biologis (hadis-hadis teknis).  Pemahaman hadis melalui metode hermeneutik bisa ditemukan dalam pemikiran Syahrur dan Rahman. Melalui bangunan metodologis teori pemahaman hadis dari Syahrur, pemahaman terhadap sunnah nabi dilakukan dengan pertimbangan, nabi sebagai mujtahid pertama dalam melakukan pembatasan terhadap hal-hal yang diperbolehkan dan pemutlakan kembali terhadap hal-hal yang sudah dibatasi sebelumnya, serta melakukan kajian ulang terhadap berbagai kitab hadis dengan metodologi, klasifikasi hadis dalam kategori hadis-hadis kenabian dan hadis-hadis risalah.

Menurut pemikiran Syahrur, Hadis-hadis kenabian, yakni kategori hadis yang secara tekstual dan esensial harus dipahami berdasarkan nas al-kitab, seperti hadis-hadis yang berkaitan dengan ibadah, hudud dan akhlak. Hadis risalah adalah hadis-hadis yang menyiratkan pendefinisian atas konsep tertentu. Seperti hadis tentang pencurian, harus ada pendefinisian tentang pencuri melalui cara atau metode sebelum memutuskan hukuman potong tangan. Dalam pemikirannya syahrur juga mengingatkan bahwa, hadis nabi bukanlah wahyu. Hanya berfungsi sebagai pertimbangan untuk menetapkan hukum dalam kontek ruang dan waktu tertentu sebagai bentuk ijtihat Nabi dalam mengaplikasikan al-tanzil menjadi aturan kehidupan nyata. Jadi hadis tidak bersifat final. Melalui pemikiran Rahman dapat dipahami bahwa, hadis nabi diklasifikasikan menjadi hadis-hadis ritual, yang harus ditaati hingga hari kiamat, hadis-hadis tentang hal-hal gaib yang harus ditolak, hadis-hadis hukum yang harus dipahami dalam batas-batas Allah dan bersifat historis kondisional, hadis-hadis qudsi yang harus ditolak dan hadis-hadis tentang peri kehidupan dan sifat-sifat nabi yang baik untuk diteladani. Dari paparan ini berarti, Syahrur memahami hadis secara revolusioner. Artinya hadis bersinonim dengan sunnah, yakni pernyataan, tindakan, perintah, larangan dan penetapan Nabi, pada jamannya sendiri dngan keterbatasan ruang dan waktu. Dan karena keterbatasan ruang, waktu dan kondisi inilah, maka hadis/sunnah bisa diperdebatkan kembali pada ruang, waktu dan kondisi kekinian yang memang sudah berbeda tantangannya dibanding dengan tantangan pada zaman nabi, sehingga bukan satu-satunya ukuran dan tidak bersifat final, dan dapat diterima ataupun ditolak. 
Sementara menurut pemikiran Rahman, hadis nabi hendaknya dipahami  sebagai konsep –konsep dalam proses evolusi historis nabi. Memahami pemikiran Rahman ini, artinya umat Islam bisa melakukan interpretasi ulang terhadap data-data sejarah yang memaparkan tentang hadis nabi. Hadis juga merupakan jalan satu-satunya bagi umat Islam untuk berhubungan dengan nabi dan secara fundamental juga dengan al Qur’an. Aapabila hadis disingkirkan secara keseluruhan, naka dasar historisitas al Qur’an-pun juga akan menjadi hilang. Penolakan hadis secara keseluruhan akan berakibat kehampaan dan ada jurang pemisah empat belas abat dari kehidupan nabi. Sedangkan eksisitensi Nabi Muhammad sendiri akan menjadi mitos yang tak berdasar.

Demikian antara lain hasil riset yang diperoleh Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Mataram ini, setelah pihaknya melakukan studi komparatif terhadap teori pemahaman hadis menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Hasil riset yang diangkat menjadi karya Doktoral Program Pascasarjana  berjudul “Hermeneutika Hadis (Studi atas Teori Pemahaman Hadis menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur) ini, dipertahankan di ruang Promosi Doktor Gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Jum’at, 16 Desember 2011. Abdul Haris mempertahankan Karya Doktoralnya ini di hadapan tim penguji : Prof. Dr. H. Nizar Ali, M. Ag., Dr. Nurun Najwah, M. Ag., Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Dr. Moch. Nur Ichwan, MA., Prof. Dr. H. Zuhri, MA., (promotor merangkap penguji), Dr. Phil . Sahiron Syamsuddin, MA., (promotor merangkap penguji).

Memahami teori pemahaman hadis dari Rahman dan Syahrur, menurut promovendus,berarti umat Islam era kekinian memiliki kebebasan mentransformasikankandungan al-Qur’an dari wilayah absolud-transenden ke wilayah relatif – profan di mana kita hidup di dalamnya saat ini. Karena sesungguhnya kitalah yang lebih tahu problematika hidup dan kehidupan saat ini dan lebih tahu bagaimana kita harus melakukan pendekatan dan perjuangan untuk memecahkan setiap permasalahan, tanpa harus terkungkung cara-cara pendekatan dan perjuangan masa lalu yang memang berbeda tantangannya, jelas promovendus.

(sumber: Humas UIN).