Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada hari rabu 14 November 2012 mengadakan bedah buku di Convention Hall lantai II tentang dialektika genuine organisasi Muhammadiyah dengan tradisi lokal yang berkembang di Yogyakarta, khususnya Kotagede. Buku ini berjudul “The Crescent Arises Over The Banyan Tree: A Study of The Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town C. 1910-2010”, yang ditulis oleh seorang antropolog asal Negeri Sakura Jepang bernama Prof. Mitsuo Nakamura. Sebagai pembedah buku tersebut, terdapat tiga nama yang tidak asing lagi di kalangan intelektual Yogyakarta, yaitu Prof. Dr. H. Abdul Munir Mulkhan (Mantan pengurus PP. Muhammadiyah); Prof. Dr. Mark Woodward (Dosen Arizona State University dan Peneliti CRCS UGM); dan M. Jadul Maula (Pemikir muda NU dan pengasuh PP. Kaliopak). Sementara yang bertindak sebagai moderator adalah Dr. Ahmad Yani, MA.

Bedah buku hasil penelitian lapangan (field research) ini dimulai pukul 13.30 WIB dengan dibuka langsung oleh Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA. Meskipun mundur setengah jam dari jadwal semula, tidak membuat acara ini kehilangan daya tariknya. Terlihat kursi-kursi terisi penuh oleh dosen dan mahasiswa, baik S1 maupun Pascasarjana.

Pemaparan pertama diberikan oleh author buku tersebut. Dalam eksplanasinya, Prof. Nakamura menjelaskan alasan kenapa ia memilih Kotagede sebagai tempat utama kajiannya. Menurut antropolog yang berusia 79 tahun tersebut, bukunya ini merupakan kritik terhadap C. Gertz dengan Religion of Java-nya yang menjadikan Mojokuto sebagai tempat penelitian, padahal kota ini sebenarnya jauh dari kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, apabila ingin memilih daerah yang strategis, maka harus mencari daerah yang kental dengan nuansa Jawa, dalam hal ini adalah Yogyakarta khususnya Kotagede. Selain itu, ia juga memaparkan bahwa bukunya ini pada mulanya merupakan hasil penelitian desertasinya yang dimulai tahun 1970 dan selesai pada tahun 1974, yang kemudian diupdate terus selama empat puluh tahun.

Prof. Dr. Mark Woodward, sebagai pembedah buku yang pertama mengkritisi buku tersebut dengan menyatakan sebuah pertanyaan historis mengenai hubungan agama dan kebudayaan, mengapa pada tahun 70-an purifikasi terasa lebih kuat, tetapi sekarang malah kelompok akomodasi yang menjadi lebih dominan?

Pembedah yang kedua, Prof Dr. H. Munir Mulkhan menjabarkan bahwa penulis buku ini kurang memberikan perhatian pada Muhammadiyah di era KH. Ahmad Dahlan. Menurut intelektual yang sudah menjadi warga Muhammadiyah semenjak kecilnya ini, paling tidak ada empat golongan Muhammadiyah pada saat itu, pertama, golongan al-Ikhlas, yang diambil dari nama Pesantren tempat anggotanya bernaung, yang berhaluan puritan dan keras; kedua, golongan KH. Ahmad Dahlan, yang berpandangan moderat; ketiga, golongan MuNU (Muhammadiyah NU), yang identik dengan orang Muhammadiyah yang masih memiliki tradisi NU; keempat, MarMud (Marhaenisme Muhammadiyah). Dari segi kuantitas, yang paling dominan adalah golongan kedua dan ketiga. Kaitannya dengan buku Muhammadiyah tersebut, menurut Guru Besar fakultas Tarbiyah ini, penelitian Prof. Nakamura hanya lebih pada yang pertama (kaum puritan).

M. Jadul Maula menjadi pembedah buku yang terakhir. Dalam pemaparannya, ia lebih menitikberatkan pada pengalaman empirisnya ketika tinggal di Kotagede, yang menurutnya tetaplah akan menjadi Jawa, sedangkan Muhammadiyah hanya merupakan varian di dalamnya. Meskipun di dalamnya terdapat hal-hal yang dianggap TBC oleh kaum Muhammadiyah misalnya Ziarah Kubur, tetapi ternyata ritus-ritusnya masih dijaga dan aktifitasnya masih belangsung hingga sekarang, sebab tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut mendatangkan income yang cukup besar bagi pemerintah Kotagede.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi tanya jawab. Terdapat empat penanya (3 UIN dan 1 UGM) yang mengajukan kritik-kritik dan pertanyaan-pertanyaan yang konstruktif bagi pembacaan selanjutnya mengenai Muhammadiyah. Kegiatan bedah buku ini pun diakhiri pada pukul 15.45 WIB.