Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerjasama dengan Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University (NTU) Singapura, mengadakan seminar internasional bertajuk “Growing Religious Intolerance in Indonesia: Outlook, Challenges, and Future Trajectory of Indonesian Religious Life”. Seminar ini berlangsung selama 2 hari (30 September – 1 Oktober 2015) dan mengambil tempat di Yogyakarta Plaza Hotel.
Seminar internasional bersama ini dirancang untuk tujuan publikasi artikel ilmiah. Melalui skema seleksi call for proposal, pihak Pascasarjana UIN dan RSIS memilih 15 proposal terbaik dari 60 pengirim. Kriteria proposal yang diterima sangat jelas: tema penting, pembahasan fokus, selaras dengan tema seminar, menampilkan keterwakilan Indonesia dari beragam perspektif keilmuan, dan tentu saja menarik.
Pasca pengumuman seleksi, 15 proposal terbaik diharapkan telah menjadikan proposal mereka sebuah draf artikel dan outline untuk keperluan seminar ini. Pasca seminar usai, langkah selanjutnya adalah menjadikan draf artikel tersebut sebuah artikel final untuk kemudian diterbitkan bersama oleh Pascasarjana UIN dan RSIS. Deadline artikel final adalah 1 Desember 2015. Lamanya waktu yang dibutuhkan diperuntukkan bagi proses editing dan finalisasi artikel.
Penerbitan artikel dalam studi Islam, bagi Pascasarjana UIN, adalah untuk melakukan update keilmuan keislaman di tanah air. Sementara bagi RSIS, ini adalah usaha nyata memperluas cakupan studi internasional. Tujuan dasarnya adalah pengayaan secara serius atas studi keagamaan dengan fokus pada kehidupan keagamaan Indonesia. Usaha bersama ini adalah bentuk nyata produksi pengetahuan (knowledge production) di kawasan Asia Tenggara.
Prof. Noorhaidi selaku Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dalam pembukaan seminar, menyatakan bahwa kerjasama internasional ini, selain bertujuan bagi knowledge production secara lebih masif nan dinamis, diperuntukkan bagi peningkatan mutu akademik UIN Sunan Kalijaga di kalangan kolega akademik internasional. Setali tiga uang, Associate Professor Dr. Leonard C. Sebastian selaku Coordinator of Indonesian Programme di Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS) of RSIS menyatakan bahwa dunia internasional perlu belajar dari Indonesia sebagai negara dengan relasi dinamis antara Islam, demokrasi, dan kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Pembelajaran tersebut boleh jadi akan bermanfaat bagi dunia internasional. Feedback dari kalangan akademik internasional terhadap pembelajaran dari Indonesia, di sisi lain, juga tidak bisa dipungkiri akan memberi kemanfatan nyata bagi perkembangan studi keagamaan di Indonesia secara lebih baik.
Pembukaan seminar hari ini menjadi semakin menarik dengan kehadiran Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin. Pembantu Rektor III UIN Sunan Kalijaga yang juga mantan Ketua Komisi Hak Asasi Manusia pada Organization of Islamic Cooperation (OIC, dikenal dengan OKI) periode 2012-2014, mewartakan bahwa organisasi internasional sekaliber OKI tidak cukup berani bersikap tegas terhadap terjadinya intoleransi terhadap perempuan di Saudi Arabia. Tragisnya, intoleransi dalam bentuk “pemasungan” hak-hak asasi perempuan di tanah kelahiran Islam tersebut memiliki benang merah dengan intoleransi atas nama agama (dalam bentuk penyalahgunaan tafsir atas al-Qur’an). Menurutnya, yang terjadi di Saudi Arabia sana adalah bukan “intoleransi biasa”. Sebuah fakta tragis yang perlu mendapatkan perhatian serius.
***
HARI PERTAMA (30 September 2015)
Seminar ini didesain untuk tidak simplistik. 15 calon pembicara dan 6 pembicara lain dengan status “undangan” akan menghadapi one-by-one presentation. Selain setiap pembicara dan pembahasan materi yang dipaparkan menjadi lebih mendalam, desain seminar ini juga akan menjadikan pembicara sebagai bintang dalam masing-masing pemaparan presentasi yang dijalani. Jadi, tidak ada lagi “bintang” paling terang di antara yang lainnya.
Sesi pertama. Presentasi 1. Ridwan Al-Makassary bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “The Roots of Religious Intolerance in Papua: Case Study of Tolikara Incident”. Presentasi 2. Mujiburrahman, bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “The Dynamics of Inter-Religious Relations in Banjarese Society”. Sementara Ridwan menjelaskan bagaimana dinamika kehidupan keagamaan di tanah Papua, Mujiburrahman melihat dinamika intoleransi di tengah masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan.
Sesi Kedua. Presentasi 3. Luthfi Makhasin bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Religious Policy and Community Initiative: The Role of FKUB to Promote and Maintain Religious Tolerance in Banyumas, Central Java”. Presentasi 4. Aan Suryana bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Heresy Production, Purification Ritual and the State: Ahmadiyah and Shia Cases”. Presentasi 5. Achmad Zainal Arifin bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Defending Tradition, Countering Intolerant Ideology: Study on Revitalizing the Role of Mbah Kaum in Godean Yogyakarta”. Luthfi dan Achmad Zainal berusaha menganalisa studi kasus promosi toleransi di Banyumas dan Godean, Yogyakarta. Aan Suryana, sebaliknya, memberi gambaran intoleransi terhadap Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia secara lebih luas dengan menganalisa kasus-kasus intoleransi di banyak lokasi di Indonesia.
Sesi Ketiga. Presentasi 6. Najib Azca, dkk., bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “A Tale of Two Cities: A Study of Islamist Intolerance in Yogya and Solo”. Presentasi 7. Ratno Lukito, bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Islamization as Legal Intolerance: The Case of GARIS in Cianjur, West Java”. Presentasi 8. Mahmudin bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Logic of Religious Violence in Public Space: An Experience in South Sulawesi”. Presentasi 9. Hakimul Ikhwan bertindak sebagai pembicara dengan materi berjudul “Killing Two Bird with One Stone”.
Najib Azca, dkk. Melakukan komparasi tumbuhnya intoleransi dalam gerakan islamist yang terjadi di kota Jogjakarta dan Solo. Sementara Ratno Lukito dan Hakimul Ikhwan sama-sama memaparkan intoleransi yang tumbuh di Cianjur dari sudut pandang (penerapan) hukum Islam, Mahmudin menunjukkan bagaimana intoleransi di Sulawesi Selatan selalu menemui kegagalan. Uniknya, hal ini terjadi secara sosial alamiah.
***
HARI KEDUA (1 Oktober 2015)
Sesi pertama. Presentasi 1. Siti Urifah bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Religious Dogma and Stigma: How Islamic Techings Trouble HVI/AIDS Patients”. Presentasi 2. Erna Anjarwati bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Disputing Religious Pluralism: The Trajectory of Peace Education Initiatives for Teaching Religious Tolerance in Indonesia”. Kedua pembicara perempuan ini, sekalipun tampak berkutat pada teori, basis pijakan penelitian keduanya adalah lapangan. Yang pertama mengambil perawat yang menangani pasien HIV/AIDS sebagai objek penelitiannya, dengan fokus pada komparasi perawat di Indonesia dan perawat di negara kawasan Asia Tenggara. Sementara pembicara kedua mengambil Kamboja pasca-Genosida dengan fokus pada inisisasi pendidikan perdamaian berbasis komunitas-komunitas di Kamboja.
Presentasi 3. Ibnu Burdah bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Erasing Stereotype, Promoting Positive View: Some Notes on The Influence of Interfaith Visits (Silaturahim) on The Indonesian Muslim Students’ View of Buddhism and Buddhist People.” Presentasi 4. Abdul Rahman bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Examining Religious Intolerance in Indonesia: An Interrelationship of Space, People, and Information.” Sementara Ibnu Burdah memaparkan hasil penelitian terhadap aspek positif di balik silaturahmi, yaitu pandangan murid-murid sekolah Islam terhadap agama dan umat Buddha, Abdul Rahman memaparkan proyek penelitian yang sedang dijalankannya, tentang warung kopi di masyarakat Ambon sebagai tempat tumbuhnya toleransi yang “kebetulan” (unintended).
Sesi Kedua. Presentasi 5. Nur Ismah bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Inflaming War through The Words: The Contestation on ‘The Other’ and The Concept of Tolerance-Intolerance Between Forum Lingkar Pena and Komunitas Mata Pena”. Presentasi 6. Achmad Uzair Fauzan bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Holy War on The Wall: Construction of Religious Identity and Intolerance on Facebook”. Sementara Nur Ismah mengambil media “fisik” (yaitu penerbitan novel-novel remaja) sebagai kajiannya, Achmad Uzair fokus pada media sosial di dunia maya (Facebook). Nur Ismah melacak bahasa tulisan yang digunakan dalam penulisan novel-novel remaja, sementara Achmad Uzair melacak kerumitan relasi antara apa yang orang lakukan di Facebook, yaitu berbagi informasi yang bernada intoleran, sementara latar belakang mereka sama sekali bertolak belakang dengan apa yang mereka lakukan.
Sesi Ketiga. Presentasi 7. Arskal Salim bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Explaining the Growing Religious Intolerance in Contemporary Indonesia: A Legal Political Perspective”. Arskal Salim menjelaskan sejarah intoleransi Indonesia di bidang hukum dan politik yang dapat dilacak kemunculannya hingga 25 tahun ke belakang, di mana isu mayoritas-minoritas menjadi aktor utama di balik intoleransi tersebut. Presentasi 8. Alexander Arifianto bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Practicing What It Preaches? Understanding The Contradictions between Pluralist Theology and Religious Intolerance within Indonesia’s Nahdlatul Ulama”. Alexander Arifianto menjelaskan bagaimana intoleransi terjadi di tengah-tengah masyarakat Nahdlatul Ulama’ di mana figur-figur mereka adalah promotor toleransi paling baik yang pernah ada. Presentasi 9. Supriyanto Abdi bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Negotiating State Neutrality, Politics of Orthodoxy, and Religious Freedom: Liberal Muslim Voice and Its Limits in Post-Soeharto Indonesia”. Supriyanto Abdi menjelaskan bagaimana gerakan Muslim Liberal di Indonesia di Era Reformasi (pasca-Soeharto) memainkan peran dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, secara khusus di balik kontestasi antara pihak pemerintah dan kalangan “tradisionalis” Muslim di Indonesia.
Sesi Keempat. Presentasi 10. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “From Arabic Wahabism to Acehnese Wahabism: Understanding Religious Intolerance in Aceh”. Kamaruzzaman menjelaskan bagaimana label “Wahabi” di masyarakat Aceh, khususnya kelompok Muslim tradisionalis Aceh, menjadi sangat liar tak terkendali oleh karena kerancuan dalam memahami definisi Wahabisme itu sendiri. Selain memang mengancam perdamaian antar masyarakat Muslim Aceh, Kamaruzzaman, dalam analisanya, mencurigai adanya peran dan pengaruh “luar Aceh”. Hal ini bida dilihat dari pola pembentukan opini Wahabisme yang sangat serampangan: Wahabisme dialamatkan terhadap mereka yang tidak sepemikirand dengan kelompok Muslim tradisional Aceh tersebut, bahkan mereka para alumni dari Universitas al-Azhar Kairo yang notabene moderat dan terkadang liberal tetap saja dilabeli “Wahabis”. Presentasi 11. Noorhaidi Hasan bertindak sebagai pembicara dengan presentasi berjudul “Narratives of Islamism, Identity Politics, and Religious Intolerance in Indonesia.” Noorhaidi, merujuk pada proyek penelitian lapangan di 30 propinsi di Indonesia dengan melibatkan banyak peneliti, mengatakan bahwa intoleransi yang terjadi di Indonesia sama sekali tidak berkaitan dengan penolakan mereka secara politik terhadap sistem kenegaraan di Indonesia. Sebabnya yang mungkin adalah teori konspirasi yang banyak beredar di masyarakat, perasaan terancam (siege mentality), dan sikap malas dalam bertoleransi (lazy tolerance) secara masif. Presentasi 12. Amin Abdullah bertindak sebagai pembicara terakhir dengan presentasi berjudul “The Complexity of Having a Religion in A Pluralistic Society: The Root of Religious Intolerance”. Presentasi penutup oleh Amin Abdullah seperti merangkum semua pembicara terdahulu. Selain memaparkan asal-usul, perkembangan, dan persebaran intoleransi, Amin Abdullah juga mamaparkan pemicu dan hal-hal yang diakibatkan intolerani di Indonesia. Ada pergerakan dalam berislam di Indonesia, yaitu dari “Islam-Iman-Ihsan” menjadi “Iman-Hijrah-Jihad”. Meski begitu, kehidupan keagamaan di Indonesia di masa depan masih akan dapat bertahan dan tidak akan bernasib seperti negara-negara di kawasan Balkan. Sebabnya, Indonesia adalah negara “kepulauan”, bukan negara “daratan”.
***
Demikian keseluruhan laporan berita seminar internasional bertajuk “Growing Religious Intolerance in Indonesia: Outlook, Challenges, and Future Trajectory of Indonesian Religious Life” yang berlangsung pada 30 September hingga 1 Oktober 2015. (afd)