Hari pertama workshop berjalan dengan baik. Sekira 150-200 peserta mengikuti total keseluruhan 3 sesi konferensi. Keseluruhan sesi diawali dengan Welcoming Speechs oleh kedua Conveners, yaitu Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, MA, Mhil. Ph.D. dan perwakilan dari Philosophische Fakultät, Georg-August-Universität Göttingen Prof. Dr. Fritz Schulze. Rangkaian konferensi dan workshop yang akan dilaksanakan selama 4 hari (27-30 Oktober 2015) dibuka oleh Wakil Rektor 1 UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Sutrisno.
Sesi Pertama
Pada sesi pertama, bertindak sebagai moderator adalah Ro’fah, Ph.D. Sesi pertama, sebagai sesi pembuka, menyajikan diskusi berbasis teoritik di balik kajian Islamic Studies. Pembicara pertama adalah Prof. Dr. Amin Abdullah, dosen-senior Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Dalam presentasi berjudul “Religious and Islamic Studies for Higher Education in Indonesia”, Prof. Amin memaparkan dan memetakan teori-teori studi Islam di Indonesia, secara khusus di perguruan tinggi Islam di Indonesia, sekaligus perkembangan dan sisi-sisi uniknya. Salah satu sebab keuinkannya adalah di mana studi Islam di Indonesia harus membasiskan diri pada lokalitas keindonesiaan. Seperti diketahui, rasa berislam di Indonesia cenderung (untuk tidak megatakan “sepenuhnya”) berbeda dari Timur Tengah yang satu warna. Rasa berislam di Indonesia memiliki banyak warna. Uniknya, masing-masing warna mendapatkan ruangnya masing-masing. Keberadaan mereka dijamin oleh undang-undang. Tentu saja, jaminan tersebut dikecualikan dari fakta-fakta negatif intoleransi oleh beberapa kelompok garis keras di Indonesia; mereka bukan bagian dari mayoritas Muslim Indonesia (mereka disebut silent majority karena sikap-mendiamkan-mereka terhadap sekelompok intoleran yang dimaksud).
Prof. Dr. Andreas Grünschloβ, dosen Religious Studies pada Georg-August-Universität Göttingen, bertindak sebagai pembicara kedua dan menjelaskan bagaimana studi Islam di Jerman dilakukan. Dalam presentasi berjudul “Disciplinary Perspectives, Strategies and Boundaries in the German Context”, Prof. Andreas memuat beberapa hal penting untuk dicatat. Studi Islam di Jerman, menurutnya, tidak hanya fokus pada Islam sebagai agama saja (Islam as religion), yaitu kajian melalui teks di mana kebanyakan sarjana Jerman memiliki background studi Filologi, namun juga pada budaya Islam yang dipraktekkan Muslim (Islamic culture). Karenanya, wajar jika kini studi Islam di Jerman banyak merambah beberapa kawasan penting di mana umat Muslim berada, apakah itu Iran, India, Pakistan, dan bahkan hingga ke Indonesia.
Sesi Kedua
Pada sesi kedua konferensi, Prof. Dr. Fritz Schulze bertindak sebagai moderator. Pembicara pertama adalah Eva Fakhrunnisa, M.A., Ph.D., asisten profesor pada University of Victoria, Wellington, New Zealand. Pembicara berkebangsaan Indonesia ini membincang kontribusi keilmuan Antropologi bagi kajian studi Islam, dalam presentasinya berjudul "Researching Islam or Muslim: Anthropological Contributions to Islamic Studies". Menurut Eva, sisi menarik dari Antropologi bagi studi Islam adalah dua sifatnya yang khas: focusing inward (fokus ke dalam) dan opening outward (membuka keluar). Yang pertama meniscayakan kemendalaman pemahaman dan perhatian seorang antropolog terhadap objek penelitiannya berikut hal-hal di sekitarnya. Sementara yang kedua berupa pemaparan secara gamblang di balik telisik mendalam atas alasan-alasan di balik fakta-lapangan yang dikaji.
Adapun pembicara kedua, Dr. Martin Ramstedt, dosen pada Max Planck Institute for Social Anthropology di Halle (propinsi Saxony-Anhalt, Jerman) memaparkan fakta studi Islam “baru” pasca tragedi Nine-Eleven (9/11), dalam presentasi berjudul “The Emergence of a New Field of Study: Law & Religion in Post-9/11-Anthropology”. Adalah “hukum sebagai budaya” (Law as culture) yang menjadi anti-tesis bagi paradigma “agama sebagai hukum” (Religion as Law) yang selama ini menjadi dan dijadikan sebagai arus utama. adapun pendekatan yang digunakan berbasis pada masyarakat (norm society approach). Jika berbasis masyarakat, tentu saja “Law as culture” akan dapat saling bertukar-posisi dengan “Culture as Law”; ini merupakan keniscayaan tak terhindarkan. Di balik studi baru tersebut ada usaha “penerjemahan” (Martin menyebutnya dengan “translation”) atas relasi antara Islam, budaya, dan hukum di suatu kawasan geografis tertentu.
Sesi kedua ditutup dengan presentasi Prof. Noorhaidi, M.A., M.Phil. berjudul “Post-Islamism as a Model of Understanding the Dynamics of Islam and Muslim Society in the 21st Century”. Direktur pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini secara jeli melihat bagaimana dinamika Islam di Indonesia dalam satu dekade terakhir dengan mengajukan tesis bahwa Pos-Islamisme yang terjadi di Indonesia adalah perpaduan antara Islam dan globalisasi, di mana “Islam” merepresentasikan relijiusitas dan “globalisasi” merepresentasikan kehidupan sosial masyarakat (apakah itu berbasis ideologi lokal-nasional ataukah trans-nasional). Maka dari itu, Pos-Islamisme harus dipahami karakternya sebagai bagian dari pluralitas dunia yang semakin dinamis. Lebih-lebih di Indonesia, negeri ini adalah negeri dengan banyak kelompok Islam dan kehidupan masyarakatnya di hadapan masyarakat dunia lainnya masih sangat diperhitungkan.
Sesi Ketiga
Pada sesi ketiga, Euis Nurlaelawati, Ph.D. bertindak sebagai moderator. Pembicara pertama adalah Achmad Suaedy. Peneliti pada Wahid Institute, Jakarta, ini memaparkan pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dalam presentasi berjudul “Citizenship in Islam: A Case Study of the Policies Issued by President Abdurrahman Wahid 1999-2001 to Negotiate Separatist Conflict in Aceh and Papua”. Suaedy menilai bahwa kebijakan yang diambil Gus Dur terkait separatisme di Aceh dan Papua memiliki unsur Multikulturalisme. Tentu saja, ini didasarkan pada aspek lokalitas di masing-masing lokasi. Hanya persoalannya, tidak selalu sama pada kebijakan yang ditetapkan dengan implementasi di lapangan.
Pembicara kedua adalah Fatimah, M.A., Ph.D., Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UIN Sunan Kalijaga. Dalam presentasi berjudul “Occidentalism? Trends in Studying Islam and Muslim Societies in Western Countries”, Fatimah mempertanyakan keabsahan Oksidentalisme sebagai ilmu di masa kini, secara khusus ketika dihadapkan pada studi-studi Islam dengan fokus “Muslim di Negara Barat”. Sikap mempertanyakan ini berkaitan dengan fakta bahwa para pelaku riset “Muslim di Negara Barat” adalah Muslim dari Timur, Muslim Indonesia misalnya.
Pembicara terakhir sesi ketiga adalah Nina Kaesehage, mahasiswa doktoral Georg-August-Universität Göttingen. Apa yang Nina presentasikan adalah on going research dissertation. Dengan narasumber sekira 175 orang dari kalangan Salafi, presentasi berjudul “The Contemporary Salafi-Movement in Germany: Approaches to a Distrustful Milieu” memotret kehidupan Salafi di Jerman yang dirasa penuh kecurigaan; dalam arti, seorang Salafi masih merupakan minoritas yang selalu dicurigai dan mereka sadar akan sikap masyarakat terhadap mereka. Oleh karena heterogenitas masyarakat Eropa, tentu saja kesimpulan yang akan didapatkan tidak akan mudah. Narasumber sebanyak 175 orang tersebut, tentu saja, adalah wajar di tengah heterogenitas masyarakat Eropa.
HARI KEDUA (28 Oktober 2015)
Meski dengan 9 pembicara dalam 3 sesi, konferensi hari kedua diakhiri lebih awal (pukul 15.00 wib) dari yang seharusnya, pukul 15.30 wib. Selisih 30 menit akan digunakan untuk Closing Remarks dari kedua Conveners, yaitu Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. Noorhaidi dan perwakilan dari Philosophische Fakultät, Georg-August-Universität Göttingen Prof. Dr. Fritz Schulze. Closing Remarks dimaksudkan untuk menutup rangkaian 2 hari konferensi, tidak untuk menutup rangkaian 2 hari workshop yang baru akan berlangsung pada 29-30 Oktober 2015.
Sesi Keempat
Pada sesi pertama, bertindak sebagai moderator adalah Dr. Martin Ramstedt. Sesi ini secara khusus disponsori oleh AIFIS (The American Institute for Indonesian Studies). Pembicara pertama adalah Muhamad Ali, M.Sc., Ph.D., perwakilan dari AIFIS yang sekaligus pengajar pada University of California at Riverside. Presentasi Ali berjudul “Approaches to Islam and Religious freedom and pluralism” adalah on going project tentang pemahaman masyarakat Muslim Indonesia akan kebebasan agama dan pluralisme. Namun begitu, tujuan akhir dari proyek ini tidak berhenti pada soal “pengetahuan” saja, melainkan juga pada bagaimana keberhasilan proyek ini mendedah segamblang-gamblangnya fakta lapangan keberislaman masyarakat Muslim Indonesa secara fenomenologis.
Sebagai pembicara kedua, Dr. Roma Ulinnuha, M.A., yang adalah dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, juga memiliki on going project serupa Ali. Dalam presentasi berjudul “Framing Ethnography of the Particular in the Study of Muslim Societies’ Everyday Life: Relevance, Challenge and Practice” Roma mencontohkan bagaimana keilmuan Etnografi dapat menjelaskan keberagamaan suatu masyarakat Muslim. Aktivitas etnik “Gojek Lesung” masyarakat Bayan, Purworejo, misalnya. Warisan budaya ratusan tahun lalu ini dipercaya masyarakat Bayan sebagai upaya untuk menolak bala (bencana). Tentu saja, warisan budaya ini tidak bisa dilihat dari “gaya berislam” ala Arab, yang selalu melihat aktivitas berdoa sebagai cara terpenting untuk menolak bala. Islam telah mengendap bersama budaya masyarakat. Tradisi Gojek Lesung masyarakat Bayan adalah salah satu di antaranya.
Pembicara terakhir pada sesi keempat ini adalah Dr. Phil. Munirul Ikhwan, M.A., alumnus Frei University of Berlin. Melalui presentasi berjudul “Reading Islam in the New Public Sphere: Migration of Religious Discourse and Contestation for Religious Authority”, Munir mengajukan tesis penting bahwa aktor keagamaan di tengah masyarakat Indonesia, secara khusus di media televisi, di satu dekade belakangan telah mengalami dinamisasi yang cukup signifikan. Mereka, yang menurut Munir cukup berpengaruh di hadapan para pemirsa televisi, juga terkadang berbasis keagamaan yang kuat, tidak serta merta bisa melepaskan diri dari kebutuhan komersial dan bisnis di balik media televisi (media paling banyak diakses masyarakat Indonesia). Aktor keagamaan tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya mengikuti ritme dan arah bisnis komersial televisi, di mana share rating menjadi satu-satunya parameter yang digunakan untuk menentukan sukses gagalnya suatu acara televisi.
Sesi Kelima
Pada sesi kelima, Ahmad Uzair Fauzan, Ph.D. bertindak sebagai moderator. Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Claudia Derichs, dosen pada Philipps-Universität Marburg, sangat memukau para hadirin dengan presentasinya berjudul “Islamic Studies and Area Studies: Strange Bed Fellows or a Complimentary Pair?”. Prof. Claudia mempertanyakan kembali relasi antara studi Islam dan studi berbasis area geografis (Area Studies). Sementara studi Islam melintas-batas displin keilmuan, studi area terbatas dan fokus sebagai sebuah studi tunggal, berturut-turut di dalamnya adalah aspek politik, sosial, budaya, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya. Studi Islam yang lintas-batas disiplin ilmu, karenanya, apakah dapat dibedakan dari Muslim Studies? Lalu, jika studi Islam “mengambil” semua jenis ruang studi dan membuat Area Studies kehilangan ruangnya, siapa salah dan siapa benar? “Who is the strange bed fellow?”, tanya Prof. Claudia dengan nada retoris.
Pembicara kedua adalah Dr. Phil Sahiron Syamsuddin, M.A., dosen studi al-Qur’an pada UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Presentasi berjudul “Reception of Muhammad Quraish Shihab to Hermeneutics in Interpreting the Quran”, Sahiron menganalisa pandangan Quraish Shihab pada bagaimana penggunaan keilmuan Hermeneutika dalam studi penafsiran al-Qur’an. Tidak ada penolakan keras juga penerimaan apologetik di diri Quraish Shihab terkait Hermeneutika. Quraish Shihab melakukan penyesuaian dalam penggunaan jenis Hermenutika, terutama sekali bergantung pada jenis teks al-Qur’an yang sedang dikaji. Hal ini berarti, Quraish Shihab melakukan dialektika kritis analitis atas Hermeneutika, sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi studi tafsir al-Qur’an, terlepas dari asal-usul Hermeneutika yang masih kontroversial di kalangan Muslim Indonesia.
Ahmad Rafiq, M.A., Ph.D. dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi pembicara terakhir sesi kelima dengan presentasi berjudul “The Joy of the Scripture: claiming the past in contemporary reception of the Quran in Indonesia”. Studi berbasis Antropologi ini senyatanya adalah usaha menangkap al-Qur’an tidak hanya sisi tekstualnya, namun juga pada bagaimana masyarakat Muslim mengekspresikan al-Qur’an sebagai bagian dari kehidupan mereka. Menariknya, jenis penelitian ini tidak hanya berbasis keilmuan Antropologi namun diikuti dengan kesadaran akan keilmuan al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dari para penelitinya. Fusi kedua keilmuan ini disebut Living Qur’an, suau ilmu yang mendefinisikan al-Qur’an yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Yang menarik, agar valid dan otoritatif, sebagaimana hasil analisis Rafiq, objek yang diteliti haruslah membasiskan diri pada apa yang disebut “masa lalu” (the past) untuk dapat dikatakan valid dan layak diterima oleh masyarakat di sekitarnya.
Sesi Keenam
Bertindak sebagai moderator adalah Al Makin, Ph.D. Pembicara pertama adalah Prof. Dr. Fritz Schulze, dosen studi Islam pada Georg-August-Universität Göttingen. Dalam presentasi berjudul “Islamic Studies: From Orientalism to nowhere?”, Prof. Fritz menyinggung masa depan studi Islam paca Orientalisme. Dirinya mengajukan suatu pertanyaan-sekaligus-dorongan bahwa Islam dan Muslim tidak boleh lagi menjadi objek penelitian bagi orang Barat, namun juga menjadi subjek bagi diri mereka sendiri. Selain itu, studi Islam yang kini multidisiplin dan berlangsung di dunia-akademik di seluruh dunia hendaknya diperlebar kajiannya dan tidak dibatasi hanya pada ekslusifitas akademik berbasis Area Studies.
Pembicara kedua adalah Dr. Ibnu Burdah, M.A., Dosen pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memberikan tawaran cukup menarik sekaligus berani di balik presentasinya berjudul “Islam, Indonesia, and Middle East: Themes in Promoting Indonesian Muslim Experiences for Middle Eastern”. Ibnu mengatakan bahwa Muslim Indonesia tidak perlu melakukan adopsi cara pandang atas Islam, sekalipun itu dari Timur Tengah. Cukuplah hanya “mengetahuinya” saja, tak perlu adopsi, apalagi jiga sifatnya tanpa-seleksi. Sebaliknya, Ibnu meyakinkan bahwa Muslim Indonesia yang lebih kaya akan kultur budaya seharusnya justru menjadi contoh bagi Muslim di berbagai belahan dunia.
Penutup sesi keenam sekaligus pembicara pamungkas konferensi adalah Moch. Nur Ichwan, M.A., Ph.D., ketua Program Studi Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Melalui on going research dalam presentasi berjudul “Contemporary Development of Ulama Studies: A Preliminary Bibliograpichal Study”, Nur Ichwan berusaha memetakan studi ke-ulama-an di Indonesia. Sifat studi yang historis-biografis ini bermaksud merangkum bagaimana peran ulama di Indonesia sejak pertama kali Islam hadir di Indonesia (di Aceh) hingga kini, era di mana Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi pemegang peranan tertinggi otoritas ke-ulama-an Indonesia, terlepas dari berbagai kontroversi yang diciptakannya dalam merespon gejolak sosial di Indonesia.
PENUTUP
Sekalipun konferensi keenam kali ini adalah seri terakhir dari keseluruhan rangkaian konferensi selama 3 tahun lamanya, hal ini tidak berarti tidak ada lagi kerjasama akademik antara Philosophische Fakultät, Georg-August-Universität Göttingen dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagaimana dinyatakan Prof. Dr. Fritz Schulze dalam Closing Remarks. Melalui Prof. Noorhaidi, pihak Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyatakan siap untuk melakukan kerjasama akademik. Tentu saja, dalam format-format kerjasama yang baru. Besar harapan kedua conveners semoga konferensi keenam kali ini sanggup memperbesar cakupan studi Islam di masa kini dan masa mendatang.
(Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum.)