Wah, ini yang punya gawe,” seloroh Prof Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, dan Eva Sundari, politikus senior dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ketika menjabat tangan dengan Prof. Noorhaidi Hasan di acara konferensi bertajuk “Religion, State and Society in the 21st Century” pada 2 November silam.

Seloroh itu memiliki makna simbolik yang kuat bagi UIN Sunan Kalijaga bukan hanya karena diucapkan oleh dua orang tokoh penting. Melainkan juga karena disampaikan di Goethe Institute Jakarta, yang umum ditunjuk sebagai representasi jantung dan rujukan penting kebudayaan di negeri ini. Hal ini menandai keberhasilan UIN Sunan Kalijaga yang kesekian kali dalam menembus dan berperan penting dalam pembentukan diskursus penting kebudayaan di Republik ini.

Acara konferensi itu sendiri adalah bagian dari Jerman Fest, perayaan kultural tahunan yang diselenggarakan oleh Goethe Institute. Dengan sokongan Kedubes Jerman dan Friedrich Naumann Stiftung, konferensi “Religion, State and Society” ini diselenggarakan untuk merayakan babak penting kerjasama antara UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gottingen. Kerjasama dua institusi pendidikan tersebut dianggap mewakili tumbuhnya kepercayaan yang makin besar di antara kedua negara di bidang kebudayaan.

Di acara konferensi yang dikemas dalam bentuk talkshow berbahasa Inggris tersebut, hadir tak kurang dari 150 orang, banyak di antaranya merupakan tokoh-tokoh publik. Kontribusi penting UIN Sunan Kalijaga bukan hanya ditunjukkan dari kemasan forum yang disebut sebagai perayaan kerjasama antarperguruan tinggi kedua negara, tapi juga dari perwakilan UIN Sunan Kalijaga yang terlibat di sesi-sesi konferensi.

Setelah konferensi dibuka oleh Dr Georg Witschel, Dubes Jerman untuk Indonesia, Prof. Noorhaidi didaulat menjadi satu-satunya pembicara kunci (keynote speaker). Dalam presentasinya, Prof. Noorhaidi menyampaikan adanya konvergensi kepedulian atas isu-isu terkait Islamisme di negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) dan negara-negara Barat (termasuk Jerman) pasca 9/11 telah mendorong inisiatif kerjasama transnasional, termasuk  yang digagas oleh kedua perguruan tinggi. Sambutan kunci ini memberikan konteks sosial-politik global atas ide utama konferensi.

Pada sesi panel berikutnya, bersama tokoh terkemuka lainnya seperti Franz Magnis Suseno, Dawam Raharjo dan Markus Loning (Wakil Presiden Liberal International), Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin menjadi satu-satunya panelis perempuan. Menyoal masih maraknya praktik diskriminasi dan intoleransi, Dr Ruhaini menggarisbawahi pencapaian demokrasi bangsa dan  pentingnya demokrasi sebagai perangkat untuk menjamin minimalisasi kekerasan.

Bersama dengan peneliti senior Dr Martin Ramstedt (Max Planck Institute) dan tokoh jurnalis senior seperti Endy Bayuni (Jakarta Post), Dr Achmad Uzair Fauzan berada dalam panel tentang kebebasan berekspresi. Menyoal potensi media jejaring sosial dalam meningkatkan intoleransi, Dr Uzair menggarisbawahi peran penting masyarakat dalam menerapkan beragam mekanisme kontrol social terhadap maraknya wacana intoleransi.

Konferensi tersebut mendapatkan liputan yang luas di berbagai media harian nasional, termasuk Republika dan Kompas.

Laporan konferensi juga bisa dikunjungi di halaman web Friedrich Naumann Stiftung di http://www.fnf-indonesia.org/konferensi-agama-negara-dan-masyarakat-di-abad-ke-21/