Seminar Nasional bertajuk “Peranan Indonesia dalam Upaya Perdamaian di Timur Tengah” hasil kerjasama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) pada Kamis, 14 April 2016, mengetengahkan isu-isu di Timur Tengah (Timteng) yang konfliknya berkecamuk di hampir semua sendi kehidupan masyarakat Arab. Terakhir, dalam satu dekade belakangan, dunia disuguhkan Arab Spring yang mendorong pembebasan negara-negara Timteng dari otokrasi pemimpin mereka. Menghadirkan pakar terkemuka di bidangnya, seminar kali ini menawarkan gagasan demokratisasi di Timteng, dengan cara “mengimpor” nilai-nilai Pancasila untuk diterapkan di negera-negara yang menjadikan “hanya Islam” sebagai konstitusi negera mereka. Pancasila yang adalah sintesis negara agama dan negara sekuler dianggap layak untuk dijadikan contoh, terlepas dari banyaknya kegagalan dalam implementasinya oleh masyarakat Indonesia.
Pada pembukaan, Prof. Dr. Amin Abdullah selaku convever 1 dan Ketua Komisi Bidang Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), mengatakan bahwa pengalaman yang Indonesia miliki berupa transisi demokrasi yang tidak berdarah-darah akan dapat dijadikan contoh untuk penyelesaian konflik di Timteng. Konstitusi berhasil dijalankan nyaris sempurna di Indonesia. Islam sebagai mayoritas cukup sukses mempelopori perdamaian melalui budaya kearifan lokal (persoalan suku-bangsa), kearifan nasional (menyantuni minoritas), dan global (menghormati hukum internasional), sekalipun tidak sepenuhnya tuntas mengingat masih menyisakan beberapa persoalan dalam penegekan hukum dan penyelesaian persoalan hak asasi manusia (HAM).
Dalam sambutannya sebagai Ketua AIPI, Prof. Dr. Sangkot Marzuki mengurai panjang lebar betapa sekalipun pernah berada dalam kemelut peperangan dan bahkan isolasi negara adidaya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Iran masih mampu mengembangkan ilmu pengetahuan secara masif. Iran seolah tidak terpengaruh dengan konflik kepentingan yang terjadi. Mereka cukup percaya diri. “Apakah justru dengan ilmu pengetahuan akan menentukan siapa pemenangnya di masa mendatang di tengah konflik yang mereka alami?”, sebagaimana pernah dimunculkan di tengah hingar bingar teori New Golden Age.
Dalam sambutannya sebagai Pgs. Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Machasin dengan tegas menyatakan dan menggarisbawahi perlunya mencetak manusia-manusia langka dengan kemampuan spesifik yang kelak akan diperhitungkan dunia. Orang-orang semacam Soekarno dan B.J. Habibie bukan saja membuat harum nama Indonesia di kancah internasional, namun juga sanggup mewakili Indonesia sebagai juru bicara mumpuni yang segala ucapannya didengarkan oleh masyarakat internasional. Dengan begitu, konflik di Timteng segera masuk dalam problem list yang akan diselesaikan sesegera mungkin.
Pasa Sesi Pertama, pembicara pertama, Prof. Dr. Magdy Bahig Behman menyatakan bahwa sebab paling mendasar dari kekacauan yang timbul pasca Arab Spring di Arab bukan terletak pada gelombang Arab Spring itu sendiri melainkan unsur kesukuan-kekabilahan yang kuat dan masih melekat di bangsa Arab. Hal ini dapat dijelaskan melalui peribahasa bangsa Arab: aku bersama saudaraku melawan sepupuku dan aku bersama sepupuku melawan orang asing. Mengejutkan, bukan?
Adapun pembicara kedua, Trias Kuncahyono, menganalisa bahwa tidak hanya kemiskinan dan pengangguran yang menyebabkan gejolak di Arab Spring satu dekade lalu. Jujur saja, kedua sebab tersebut tidak cukup untuk memantik terjadinya Arab Spring. Setidaknya, ada 4 unsur yang “wajib” terpenuhi yang sangat berperan: (1) anak muda, khususnya pengangguran; (2) serikat buruh, yang pusing dengan kepastian kerja mereka; (3) masyarakat madani, yang mapan secara politik; dan yang terakhir adalah (4) militer yang “pro” terhadap ketiga kelompok tersebut.
Pembicara ketiga, Zuhairi Misrawi menjelaskan bahwa Arab Spring pada ke-diri-an masyarakat dan sejarah Arab Timteng itu sendiri. Menurutnya, Timteng adalah panggung konflik. Dalam sejarah, tercatat ada banyak sekali peperangan dalam rangka memperebutkan suatu wilayah. Inilah fenomena yang harus kita pahami. Beruntung sekali Islam pertama kali masuk ke Indonesia di bawah pengaruh Islam yang berasal dari Gujarat, yang taste-nya sama sekali berlainan dengan Islam dari Timteng (secara khusus Saudi Arabia).
Pada Sesi Kedua, pembicara pertama, Dr. St. Sunardi mengatakan bahwa perjuangan Palestina (atas Israel) bukanlah perjuangan atas nama agama (Islam), namun perjuangan sebuah bangsa yang ingin merdeka seutuhnya. Konflik yang terjadi adalah konflik kemanusiaan. Lebih jauh, Zionisme (yang disalahpahami sebagai Israel) pun dibenci mereka orang-orang Israel; mereka sesama Yahudi. Ini fakta penting yang harus dipahami oleh mereka yang peduli terhadap Palestina.
Pembicara kedua, Prof. Dr. Noorhaidi mengurai fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa kekhalifahan Islam hanyalah kekuasaan sekuler, yang mana tidak seutuhnya bernilai “Islami” pada sebagian besar aspek yang ada di dalamnya. Krisis politik, misalnya pada awal kekhalifahan Umayyah, disikapi dengan tidak arif dengan cara memunculkan teori relasional antara negara dan agama. Statemen al-Islam: al-Din wa al-Dawlah menjadi ramai dibicarakan dan seringkali berakhir pada usaha sekelompok orang yang ingin mendominasi politik kenegaraan melalui legitimasi agama.
Pada Sesi Ketiga, satu-satunya pembicara, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, memaparkan apa saja hal-hal melatarbelakangi Indonesia harus percaya diri dapat mewujudkan perdamaian di Timteng, karena memang mumpuni. (1) Berhasil memodernisasi kelompok Islam menjadi masyarakat Madani sipil-kritis yang memiliki gaya berpikir moderat dan toleran. (2) Aktif melakukan usaha intellectual discontent (pencegahan terhadap muatan pikiran) otoriatirianisme ala masyarakat Arab yang diimpor ke Indonesia. (3) Bangsa dengan paham kebangsaan yang kuat dan konstitusi yang dikawal dengan baik. (4) Cukup berhasil mengelola multikulturalisme yang sadar akan koeksistensi dan pro-eksistensi, sekalipun masih ada cela di sana sini. (5) konsisten dalam penegakan HAM dan keberanian dalam mendorong bagi terciptanya promotion sekaligus protection di balik kasus-kasus HAM.
Pada Sesi Keempat, pembicara pertama, Duta Besar Nurul Aulia memaparkan bahwa meskipun mustahil untuk mengurai konflik Palestina-Israel, negara Indonesia yang kini cukup akrab dengan negara-negara di kawasan Timteng, melalui Presiden Jokowi, dan juga dengan dukungan Raja Yordania, berniat untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel sesegera mungkin. Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa di balik konflik tersebut ada pemuda-pemuda Palestina yang berapi-api dan siap angkat senjata untuk membalas dendam terhadap Israel. Selain bisa memperpanjang konflik, aksi para pemuda Palestina tersebut bisa saja semakin memperumit keadaan.
Pembicara kedua, Dr. Siti Mutiah Setiawati, mengatakan bahwa, sejujurnya, ada banyak dilema yang Indonesia akan hadapi jika ingin menjadi juru damai di tengah konflik di Timteng: (1) Umumnya, kedua belah pihak negara yang terlibat dalam konflik langsung (head to head) adalah kolega Indonesia; (2) Persoalan yang mereka hadapi bertentangan dengan sikap politik Indonesia yang bebas-aktif. Misalnya terkait Aliansi Militer Islam, yang bertentangan dengan politik luar negeri yang “bebas” memihak ke blok manapun, namun “aktif” dalam menyelesaikan konflik; (3) Juga, konflik mereka yang bertentangan dengan prinsip dasar negara Indonesia (Pancasila). Misalnya, Hamas dan IM yang berkeinginan mendirikan negara Islam, sementara Indonesia menganut ideologi Pancasila, sebuah ideologi independen bercitarasa agama dan sekular sekaligus; dan (4) Mendukung salah satu pihak akan membuat kecewa pihak yang tidak didukung, padahal kedua belah pihak sama-sama kolega Indonesia.
Demikian ringkasan Seminar Nasional bertajuk “Peranan Indonesia dalam Upaya Perdamaian di Timur Tengah” hasil kerjasama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
[Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum.]