Penelitian Sejarah Islam masih banyak dilakukan dengan pendekatan normatif dan cenderung tekstual. Maka penerapan Teori Sosial dalam penelitian sejarah merupakan pendekatan yang sangat diperlukan dalam memperkaya kajian Sejarah Islam. Alasan inilah yang mendorong Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan “Workshop Teori Sosial dalam Penelitian Sejarah”. Kegiatan yang diikuti 35 peserta dari kalangan dosen, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana ini dilaksanakan pada Kamis 25 Agustus 2016, bertempat di ruang pertemuan lantai 2 Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Workshop ini menghadirkan Kevin Fogg, PhD sebagai narasumber. Dr. Kevin adalah peneliti dari Oxford Centre for Islamic Studies yang memiliki concern pada kajian sejarah Islam di Asia Tenggara.
Dalam paparannya, Dr. Kevin Fogg terlebih dahulu menjelaskan perbedaan Sosiologi dan Antropologi sebagai dua disiplin besar tempat bermuaranya teori-teori sosial. Menurut Dr. Kevin pada awalnya, Sosiologi dijalankan untuk studi tentang “kita atau di antara kita (dalam konteks masyarakat Barat)” sedangkan antropologi untuk meneliti orang luar terutama masyarakat yang dipandang tertinggal. Untuk mempertajam perbedaan, Dr. Kevin menyebut beberapa nama antropolog dan sosiolog.
Selanjutnya Dr. Kevin menjelaskan perbedaan dan keterkaitan antara sosiologi dan sejarah. Hubungan antara sosiologi dengan sejarah terbentuk ketika tahun 1960-70an sosiologi boleh memakai data-data sejarah. Kemudian, tahun 1983 ada tulisan Philip Abrams yang menggagas historical sociology yang semakin mendekatkan sosiologi dan sejarah.
Perbedaan sosiologi dan sejarah dapat terletak pada beberapa hal. Misalnya, a) perbedaan sumber, Sejarah menggunakan arsip, manuskrip, museum, wawancara, sedangkan Sosiologi lebih banyak melihat langsung fakta di lapangan, b) Perbedaan skala: sejarah bisa berskala mikro maupun makro. Mikro misalnya ketika melihat peran seorang tokoh saja. Sosiologi karena ingin melihat struktur, maka skalanya lebih makro, c) System vs Coincidence: sejarawan menghargai peristiwa kebetulan, sedangkan sosiolog selalu melihat sistem atau strukturnya, d) Sejarawan lebih menginginkan kualitatif sedangkan sosiologi memiliki tren mengkonversi data dalam angka.
Paparan yang sangat penting dalam workshop ini adalah penjelasan Dr. Kevin Fogg tentang beberapa teori sosial yang perlu dipelajari seorang sejarawan, yaitu yang terkait dengan isu-isu: 1) social stratification, 2) power and authority, 3) revolution, dan 4) religion. Untuk mendalami social stratification atau pembagian masyarakat dalam lapisan tertentu, penting untuk memahami pemikiran Karl Marx dengan class struggle dan dialectical materialism, kemudian Max Weber dengan Protestant ethic, serta Piere Bourdieu dengan cultural capital-nya. Sedangkan untuk memahami isu-isu tentang Power and Authority menurut Dr. Kevin akan sangat membantu jika sejarawan memahami Michele Foucoult dengan gagasannya tentang dicipline, knowledge, and language, serta Max Weber tentang charisma, traditional, dan legal/bureaucratic. Mengenai teori tentang Revolution, menurut Dr. Kevin, sejarawan perlu memahami teori-teori Karl Marx terutama dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. Sangat baik juga untuk menelaah studi Theda Skoćpol “Social Revolution” yang meneliti tiga peristiwa revolusi yakni di Perancis, Rusia, dan Tiongkok. Sejarawan juga perlu memahami teori sosial tentang agama, terutama teori Emile Durkheim tentang mystic, totem, sacred, dan Weber tentang text dan context.
Setelah memaparkan beberapa teori aplikatif untuk penelitian sejarah, Dr. Kevin memberikan contoh karya tulis sejarah yang baik. Misalnya Braudel dengan “The Mediterranian” (1973). Braudel adalah seorang sejarawan Perancis yang menulis tentang laut mediterania selama 2000 tahun. Braudel melihat peristiwa sejarah dalam longue duree sehingga mampu melihat struktur, akhirnya karya ini mendapatkan apresiasi yang tinggi, termasuk di kalangan sosiolog. Contoh lain adalah sejarawan Chicago University, Kenneth Pomeranz, yang meneliti Tiongkok abad 14-16, di mana Cina berada pada era yang lebih maju daripada Eropa. Karya Pomeranz tersebut berjudul The Great Divergence, dipublikasikan sekitar tahun 2002. Sejarawan penting lain yang disebut Dr. Kevin adalah Victor Lieberman, sejarawan Amerika yang menulis tentang Birma pada masa kolonial, kemudian meluaskan studinya ke Thailand dan Kamboja, Vietnam dan sekitarnya. Hasilnya sebuah buku berjudul Strange Parallels (2006). Sedangkan sejawaran tanah air yang diapresiasi Dr. Kevin adalah Sartono Kartodirjo dengan karyanya Revolusi Petani di Banten (Peasants Revolt) di mana ia menuliskan panjang lebar tentang konteksnya, bukan sekedar peristiwa pemberontakannya. Peter Carey dengan kajiannya tentang Diponegoro, juga dianggap karya sejarah yang baik karena melihat konteks Perang Jawa secara lebih makro.
Terakhir, Dr. Kevin berbagi cerita tentang fokus risetnya di Indonesia, yaitu tentang sejarah Islam modern di Indonesia. Studi Dr. Kevin terutama tentang kelompok-kelompok Islam yang berbasis di luar Jawa, seperti Hidayatullah, DDI, Wahdah al Islamiyah, Perti, NW, Washliyah, Alkhairat. Fokus kevin terutama pada tiga yang terakhir, NW, Washliyah, Alkhairat, berdiri tahun 1930an. Ketiganya dipandang terbesar setelah Muhammadiyah dan NU, namun ketiganya mengalami perkembangan yang relatif sama. Kevin tertarik meneliti struktur apa yang mempengaruhi ketiga kelompok Islam tersebut.
Sebelum menutup pemaparannya, Dr. Kevin Fogg menegaskan bahwa dalam memilih teori sosial untuk penelitian sejarah, peneliti memiliki kebebasan penuh, yang penting teori yang dipilih sesuai dengan agenda penelitian yang sedang dikerjakan. Yaitu ditandai dengan kemampuan peneliti menjawab “so what”nya dari penelitian itu, artinya hasil penelitian sejarah bukan hanya untuk memajang data, namun bisa menjelaskan masalah secara analitik-sistematis sesuai landasan teori. Kalau sekedar mengumpul data, pustakawan lebih jago. Maka peran sejarawan lebih dari sekedar pengumpul data, dia harus punya analisis teoretis yang kuat. (Erham Budi Wiranto/Pascasarjana UIN Suka)