Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali mangadakan diskusi rutin “Saturday Morning Lecturer” yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2016 bertempat di Gedung Pascasarjana Ruang 411 Pukul 09.00 WIB.
Kegiatan kali mendiskusikan buku “Pendidikan Intterreligious, untuk jenjang Perguruan Tinggi, SMA & Non Formal: Tantangan dan Peluang”. Tema buku ini sangat menarik minat mahasiswa pascasarjana dari berbagai kampus seperti CRCS UGM, UNY, UKDW & Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bedah buku ini rencananya akan menghadirkan 3 orang narasumber yaitu: Dr. Suhadi, M.A. (Dosen CRCS UGM & Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga); Listia (Fasilitator Pendidikan Non-Formal); dan Sartana (Guru SMA Bokpri I Yogyakarta). Namun karena halangan kesehatan, Sartana batal hadir dan digantikan oleh Purwono Nugroho Adhi). Diskusi Buku ini dipandu oleh Damanhuri (mahasiswa Program Doktor Kelas Internasional Pascasarjana UIN Suka). Berikut catatannya:
Indonesia penduduknya memiliki beragam budaya, etnis dan agama. Keragaman ini merupakan anugerah yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai pandangan hidup yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila cenderung melemah pasca reformasi politik tahun 1998. Ada banyak peristiwa peminggiran dan diskriminasi oleh kelompok yang kuat terhadap yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam menata kehidupan bersama yang memiliki banyak keragaman ini. Inilah salah satu alasan mendasar yang mendorong Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Bedah Buku tentang “Pendidikan Intterreligious, untuk jenjang Perguruan Tinggi, SMA & Non Formal: Tantangan dan Peluang”. Harapanya kehadiran buku pendidikan Intereligius ini dapat memberi sumbangan dalam upaya mengatasi kemunduran tersebut.
Para narasumber memaparkan isi buku tersebut sebagai bentuk pengayaan bagi pendidikan agama konvensional. Pertama Dr Suhadi mempresentasikan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi. Dalam paparannya terlebih dahulu menguraikan apa perbedaan pendidikan agama konvensional di Perguruan Tinggi dengan pendidikan interreligius. Menurutnya materi-materi yang ada dalam pelajaran agama yang dikeluarkan oleh Pemerintah sesungguhnya sudah baik. Di dalamnya terdapat materi-materi yang up todate mengikuti kebutuhan generasi saat ini. Terdapat juga pembahasan tentang Hak Asasi Manusia dan Seni misalnya. Namun dalam prakteknya seperti hasil riset yang dilaksanakan di temukan di suatu Perguruan Tinggi terdapat praktek pendidikan agama yang di dalamnya ada materi tentang ke-NII-an, yang dalam konteks ini bertentangan dengan kebutuhan akan pendidikan agama yang memperkuat persatuan dan semangat kebangsaan. Pendidikan agama di tingkat Perguruan Tinggi dalam prakteknya sangat tergantung dosen yang mengampu.
Selanjutnya Dr. Suhadi menjelaskan perlu diwujudkan suatu model pendidikan kegamaan yang tumbuh atas dasar sikap optimis dalam melihat perubahan yang semakin cepat dan berkembang keragaman. Beliau juga memaparkan di jenjang Perguruan Tinggi, pendidikan interreligius dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih mematangkan kedewasaan mahasiswa dalam beragama, yang ditunjukkan dengan kesadaran moral dan perilaku yang tidak hanya berdasarkan penghayatan ajaran agama masing-masing, namun juga penuh pertimbangan dan kebijaksaan dalam menjaga kedamaian. Fungsi pendidikan interreligius sebagai pendidikan yang secara khusus diselenggarakan untuk membuka wawasan dan kesadaran tentang keragaman hidup, sehingga diharapkan mahasiswa dapat menjadikan keragamaan sebagai rahmat.
Pak Purwono dalam pemaparannya mengelaborasi isi modul pendidikan interreligius untuk SMA. Beliau menguraikan bahwa penyelenggaraan pendidikan interreligius pada jenjang Sekolah Menengah Atas adalah mengupayakan penyadaran secara sistematis tentang nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam semua agama, yang dapat memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Metode-metode yang digunakan diharapkan dapat menjadi ruang bagi siswa untuk secara aktif menggali kebijaksaan yang memperkuat karakter dan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan generasi muda Indonesia lebih mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia Indonesia sehingga terselenggara kehidupan berbangsa adil dan damai, melalui penyerapan nilai-nilai kebaikan bersama. Pemaparan Ibu Listia dalam diskusi kali ini terfokus pada pentingnya pendidikan agama yang terbuka khususnya di ruang publik. Pendidikan intrreligius merupakan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk memperkaya praktek pendidika agama, termasuk dalam ranah non-formal. Pendidikan agama yang terbuka dibutuhkan untuk membuka wawasan dan kesadaran tentang keragaman hidup, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat umat beragama dapat mengelola perbedaan yang ada dengan saling hormat dan mampu bekerjasama untuk kepentingan kehidupan yang lebih luas.
Pada sesi dialog antar peserta dan pembicara, beberapa komentar yang diajukan peserta adalah terkait dasar pemikiran yang melandasi konstruksi gagasan tentang pendidikan interreligius, misalnya komentar tentang toleransi, tentang identitas keagamaan dalam bermasyarakat dan pertanyaan tentang seni dalam pendidikan agama. Muncul juga pertanyaan dari peserta terkait penerapan pendidikan interreligius di lembaga-lembaga pendidikan agama yang privat, seperti pesantren atau seminari.
Menanggapi komentar tentang identitas agama dan pertanyaan tentang toleransi yang diajukan oleh tiga peserta, Ibu Listia memberikan pernyataan yang berupaya memantik kesadaran untuk lebih jernih dalam memahami toleransi. Beberapa peserta memandang toleransi tidak dapat dilepaskan dari homophily (mengalah karena kesamaan). Menurut Ibu Listia, bila seseorang masih menggunakan cara berpikir menang-kalah dalam relasi dengan yang berbeda, maka sesungguhnya orang yanga bersangkutan belum siap bicara tentang toleransi. Dalam kata toleratia (Latin) mengandung makna ‘menahan’ enduring. Berkaitan dengan pertanyaan dari peserta tentang dasar toleransi menurut Nabi Muhammad, beliau merujuk pada Piagama Madinah yang memuat kesepakatan masyarakat majemuk tentang pengelolaan hidup bersama. Ketika kesepakatan telah dituliskan, sekretaris Nabi menuliskan ‘tertanda Muhammad Rasulullah/Muhamaad utusan Allah. Tetapi karena ada peserta non muslim yang kerabatan dengan penyebutan kata ‘rasulullah’, maka Nabi menyuruh sekretarisnya menggantikan dengan ‘Muhammad Bin Abdullah’. Ini contoh yang sangat kuat bagi muslim bagaimana orang Islam mengakomodir orang-orang yang berbeda. Hal ini pula yang tampaknya menjadi rujukan Sunan Kudus yang mengajak para pengikutnya untuk tidak menyembelih sapi, tetapi diganti dengan kerbau, guna untuk menhormati umat Hindu yang sangat menghormati sapi, meskipun tidak ada larangan memakan daging sapi dalam agama Islam. Sikap Nabi dalam peroses penandatangan Piagam Madinah juga menjadi acuan dalam memandang persoalan identitas. Tuhan tidak butuh agama, yang membutuhkan adalah manusia, mestinya agama dapat membawa keselamatan bagi semua orang. Mengapa harus mengagung-agungkan identitas bila hal itu menghalangi fungsi agama sebagai pembawa rahmat bagi kehidupan yang lebih luas.
Dr Suhadi memberi pengayaan tentang sejarah pemikiran keagamaan yang menghasilakan banyak hukum (fikh-ushul fikh), yang memberi implikasi menyembabkan umat bersikap kaku dalam beragama, yang dapat menimbulkan suasana batin tidak bahagia. Seni adalah hal penting dalam hidup yang dapat menumbuhkan kebahagiaan. Di Ambon musik menjadi salah satu sarana pemelihara perdamaian yang konkret dirasakan oleh masyarakat setelah konflik berdasah cukup lama di Maluku. Karena itu musik juga menjadi sarana yang baik dalam pendidikan agama.Terkait dengan pertanyaan tentang penerapan pendidikan interreligius di pesantren, DR Suhadi menyampaikan bahwa meski di pesantren terdapat kitab-kitab yang mengandung ajaran yang tidak toleran, tetapi terdapat alat bantu ilmu-ilmu lain yang menyebabkan ulama di pesantren menjadi toleran, misalnya ilmu tafsir yang beragam, mantiq, spiritulitas dalam sufime yang mengajarkan kecintaan. Kurikulum yang tidak tertulis adalah dari para Kyainya sendiri.
Pak Purwono memberi tambahan pembahasan tentang seni dengan ilustrasi adanya akar tradisi yang sama berkaitan dengan dzab, atau suara-suara yang diciptakan dengan frekuensi yang mengikuti frekuaensi suara alam. Beliau memberi contoh dalam film ‘Timbuktu’, yaitu tentang masyarakat awal yang memeluk Islam di Afrika. Menurut beliau banyak tradisi mendaraskan kitab suci dan juga adzan, yang bersesuaian dengan cara pikir tentang dzab ini. Di masa modern, konsepsi tentang dzab ini mempengaruhi lahirnya musik blues. Musik juga dapat menjadi sarana yang menyatukan.
Terkait pendidikan interreligius di lembaga pendidikan privat seperti seminari, beliau sebagai orang yang bekerja di Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang yang antar lain membawahi lembaga pendidikan Seminari Menengah, menyatakan, pendidikan dalam seminari tetap memberi ruang terbuka pada keragaman agama meski peserta didiknya semua Katolik, sesuai dengan kebijakan Gereja Katolik yang menghormati hak asasi manusia dan mengakui adanya kesucian dalam agama-agama lain.
Selanjutnya peserta dari UKDW Pdt Herlina memberikan komentar, respon beberapa teman-teman diawal diskusi yang mementingkan soal identitas agama membuat beliau seolah melihat sikap gereja yang dengan semangat pengkabaran Injil supaya memenangkan orang bagi kristus. Menurutnya, metode penafsiran terhadap ayat-ayat suci menjadi kunci di sini. Pemakanaan teks kitab suci yang lepas dari konteks, ditulis dan membawa kekeliruan penghayatan yang kemudian selalu menjadi rujukan dalam perilaku sehari-hari. Pendeta Herlina juga menyampaikan bahwa seruan keagamaan yang disampaikan dengan elegan dan menyentuh hati dengan sendirinya akan mengundang kehadiran banyak orang. Tetapi bila seruan keagamaan disampaikan dengan mengganggu suasana hati, tentu respons yang diterima akan tidak baik.
Ketiga buku pendidikan interreligius ini mencoba memberikan sumbangsih untuk mengelola kompleksitas pluralitas keagamaan melalui bidang pendidikan. Kegiatan bedah buku ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat bagi mahasiswa untuk lebih memperhatikan persoalan sosial-keagamaan konkret yang dihadapi masyarakat dan dapat memberikan kontribusi dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik, sesuai bidang ilmu yang digeluti.
Kontributor:
Efrida Yanti Rambe (mahasiswa Studi Agama dan Resolusi Konflik Pascasarjana UIN Suka)