Ruslan Abdul Ghofur Noor (31 tahun) mengatakan, Sistem Ekonomi Islam memuat konsep distribusi yang sarat dengan nilai keadilan, moral dan norma. Bila diterapkan dengan baik di negri ini sesungguhnya sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bila lembaga-lembaga ekonomi di negri ini bersatu padu menerapkannya, maka akan mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia secara adil dan merata.
DRS. H.M. Sutomo, SH., M.H., (50 tahun) mengatakan, tradisi hukum kewarisan di Indonesia tidaklah tunggal. Ada tradisi hukum Islam, Adat dan perdata/BW. Perpaduan unsur-unsur tradisi hukum ini dimaksudkan agar mampu mengakomodasi rasa keadilan semua lapisan masyarakat dan dinamika perkembangan masyarakat. Melihat tradisi hukum kewarisan yang tidak tunggal ini, yurisprodensi kewarisan sebagai Law in Action dianggap paling tepat untuk melihat pola-pola dan fakta dinamika. Demikian juga Yurisprodensi Mahkamah Agung (MA), terkait dengan hukum kewarisan di Indonesia hendaknya juga harus dinamis memadukan hukum Islam, Adat dan Perdata, serta mengakomodir peran dan dimensi sosial.
Drs. H. Zuriatul Khairi, M.Ag., M.Si. (46 tahun) mengatakan Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi keagamaan terbesar dan dapat dikatakan mewakili pandangan umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah berpaham modernis dan NU berpaham tradisionalis. Muhammadiyah menyelogankan tajdid kembali kepada Al-qur’an dan Sunnah. NU menyelogankan Aswaja mengikuti mazhab. Keduanya adalah penganut Islam ortodoks. Keduanya merupakan organisasi keagamaan sangat mapan, yang tidak lekang diterpa zaman. Era 1990-an, ketika gelombang pluralisme dan kesetaraan jender mengayun pemikiran keagamaan di Indonesia, Muhammadiyah dan NU pun tidak terlepas dari riaknya. Keduanya sama-sama tertantang pemikirannya dalam mensikapi realitas sosial ini, sehingga eksistensinya tetap teruji. Ternyata memang terbukti, keduanya bisa sama-sama mensikapi arus perubahan dengan baik, sehingga eksistensinya semakin mapan, walaupun keduanya memiliki pemikiran dan sikap yang berbeda.
DRS. H.M. Sutomo, SH., M.H., (50 tahun) mengatakan, tradisi hukum kewarisan di Indonesia tidaklah tunggal. Ada tradisi hukum Islam, Adat dan perdata/BW. Perpaduan unsur-unsur tradisi hukum ini dimaksudkan agar mampu mengakomodasi rasa keadilan semua lapisan masyarakat dan dinamika perkembangan masyarakat. Melihat tradisi hukum kewarisan yang tidak tunggal ini, yurisprodensi kewarisan sebagai Law in Action dianggap paling tepat untuk melihat pola-pola dan fakta dinamika. Demikian juga Yurisprodensi Mahkamah Agung (MA), terkait dengan hukum kewarisan di Indonesia hendaknya juga harus dinamis memadukan hukum Islam, Adat dan Perdata, serta mengakomodir peran dan dimensi sosial.