Bedah Buku, Mengembalikan Pengalaman Sufinya Ibnu Arabi
Selama ini, diskusi tentang Ibnu Arabi seringkali didominasi oleh kajian mengenai pemikiran-pemikirannya. Padahal, ada aspek lain dari Ibnu Arabi yang tidak kalah menarik untuk dikaji, yaitu aspek pengalaman sufistik yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Ibnu Arabi. “Untuk itulah buku Al-Wujud wa Al-Zaman ini ditulis sebagai upaya mengembalikan lagi pengalaman sufinya Ibnu Arabi”. Demikian pemaparan Dr. Muhammad Yunus Masrukhin, Lc., MA. selaku penulis pada acara Bedah Buku yang digelar di Aula Pascasarjana, Senin, 18 Desember 2017.
Acara bedah buku ini menghadirkan Ulil Abshar Abdallah sebagai pembedah dan Dr. H. Zuhri, S.Ag. M.Ag. sebagai pembanding. Kehadiran Ulil Abshar Abdallah sepertinya menjadi magnet tersendiri bagi para mahasiswa untuk datang dalam acara tersebut. Ratusan mahasiswa, baik dari UIN Sunan Kalijaga maupun kampus-kampus lain di Yogyakarta hadir memenuhi ruangan aula dan menyimak dengan serius jalannya diskusi buku.
Dalam kupasannya, Ulil Abshar Abdallah mengemukakan betapa sesungguhnya tidak mudah untuk memahami Ibnu Arabi. Salah satu hal yang dicermati Ulil terhadap Ibnu Arabi juga beberapa intelektual Muslim lainnya adalah gaya mereka dalam menulis yang tidak sembarang orang dapat memahaminya. Kenyataan itu, menurut Ulil, mengandung semacam pesan bahwa seseorang terlebih dahulu perlu memiliki kualifikasi keilmuan tertentu untuk dapat memahami pemikiran mereka. “Saya menaruh hormat kepada Mas Yunus ini. Dia tidak hanya tuntas membaca karya Ibnu Arabi, tetapi juga berhasil menulis tentang Ibnu Arabi dalam bahasa Arab yang bagus ini,” papar Ulil sebelum mengakhiri presentasinya.
Foto dari kanan:
Dr. Zuhri, S.Ag, M.Ag (pembanding), UlilAbshar Abdallah (pembedah),
Dr. Muhammad Yunus Masrukhin (penulisbuku) dan Anas (moderator)
Sementara itu, Prof. Noorhaidi, MA, M.Phil, Ph.D selaku Direktur Pascasarjana di sela-sela sambutannya menyampaikan apresiasinya kepada Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) selaku panitia pelaksana atas keberhasilannya mengelar acara ini, setelah sebelumnya sukses menyelenggarakan Graduate Forum 2017 yang berhasil mendatangkan presenter mahasiswa-mahasiswa Pascasarjana dari seluruh Indonesia. Menurut Prof. Noorhaidi, kegiatan-kegiatan seperti itu perlu untuk selalu dilaksanakan oleh mahasiswa Pascasarjana dalam rangka menjadikan Pascasarjana sebagai Reading Academic Institution. “Acara-acara bedah buku seperti ini penting dilakukan sebagai fondasi untuk mengembangkan tesis, disertasi dan pengembangan ilmu pengetahuan Indonesia”
Peserta tampak antusias mengikuti acara bedah buku
Di samping itu, Prof. Noorhaidi juga mengemukakan bahwa beberapa tahun terakhir ini kajian-kajian di Pascasarjana memperoleh sentuhan teori social humaniora kontemporer. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa agar memiliki imajinasi yang luas tentang bagaimana mengembangkan teori-teori keilmuan yang dipelajari sesuai dengan realitas kontemporer yang dihadapi. (Salman Rusydie Anwar).
Tekun, tidak putus asa, pandai mengatur waktu dan sederhana. Itulah poin-poin motivasi yang disampaikan Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA. pada sesi motivasi di acara pembukaan Graduate Forum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 2017. “Apabila mahasiswa bisa melakukan hal tersebut dalam proses menempuh pendidikan mereka, insya Allah akan berhasil,” lanjut Prof. Faisal Ismail sebelum mengakhiri orasi singkatnya di hadapan ratusan peserta Graduate Forum 2017 yang bertempat di lantai 1 Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH. (convention hall) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Derasnya hujan yang mengguyur kota Yogyakarta serta suasana dingin ruangan convention hall tampaknya tidak mengurangi animo peserta untuk dating mengikuti acara. Graduate Forum 2017 ini mengangkat tema “Bonus Demografi sebagai Peluang dan Tantangan: Agama, Kewargaan dan Kontestasi Ruang Publik”, yang berlangsung tanggal 28-29 November ini tidak saja diikuti oleh mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga saja. Mahasiswa pascasarjana dari berbagai perguruan tinggi lainnya turut ambil bagian dalam acara tersebut seperti UGM, UNY, UAD, UMY dan dari luar Jawa ada Balikpapan, Sumatera, dan Banjarmasin.
Pada sesi panel pertama, hadir juga Prof. Magdy Bahig Behman dan ass.Prof. Mun’im Sirri, MA, Ph.D. Dalam presentasinya, baik Prof. maghdi maupun Dr. Mun’im Sirri, keduanya banyak menyoroti problem dialog antar agama sebagai representasi dari tema Graduate Forum ini.
Menurut Prof. Maghdy, dialog merupakan factor penting dalam menciptakan hubungan yang kondusif antar umat beragama. Melalui dialog, problem mayoritas-minoritas dapat diminimalisir. Sementara itu, Dr. Mun’im Sirri secara teoritis mengemukakan bahwa problem dialog antar umat beragama merupakan sebuah keniscayaan, terutama untuk menciptakan perdamaian dalam sebuah negara.
‘No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigations of the foundations of the religions,’demikian papar Hans Kung, sebagaimana dikutip Dr. Mun’im Sirri diawal presentasi papernya yang berjudul “Dialogue and Defference: In Search of Intercultural Theology”.
Pada sesi Plenary Session, empat puluh empat mahasiswa Pascasarjana berbagai jurusan dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia hadir mempresentasikan hasil penelitian mereka.Terdapat beberapa tema penelitian menarik yang diangkat oleh para peserta Graduate Forum tahun ini, mulai dari media, pendidikan, gender, sosial, budaya, dan keluarga. Di samping itu, fenomena-fenomena kontemporer lainnya seperti fenomena masyarakat urban juga tidak lepas dari perhatian beberapa peserta Graduate Forum yang semuanya diteliti dengan beragam pendekatan.
Dr. Moh. Nur Ichwan, MA, mewakili Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam sambutannya mengemukakan bahwa, dengan diselenggarakannya Graduate Forum Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini, setidaknya dapat terjadi sharing ide dan hasil penelitian di antara para mahasiswa Pascasarjana, serta diharapkan dapat menstimulasi lahirnya penelitian-penelitian baru dan sekaligus memotivasi mahasiswa untuk mempublikasikan hasil karya penelitian mereka.” (#Salman Rusdi A.)
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Menuju International Research School
oleh: Rusdi
“Are we producers of knowledge?”
Dua papan proyektor berukuran besar yang membentang di hadapan ratusan mahasiswa-mahasiswi baru dari berbagai pelosok negeri itu menampilkan sebuah kalimat pertanyaan bernada sendu yang tak mudah dijawab. Satu sisi, pertanyaan itu terlihat seperti sebuah tantangan. Tantangan yang mengarah kepada semua mahasiswa/i baru Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, di mana pada hari itu, Senin 18 September 2017, mereka sedang mengikuti acara International Conference sebagai bagian dari acara Studiun Generale yang dilaksanakan oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mahasiswa baru (2017) dan lama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga antusias mengikuti studium generale
Sementara di sisi yang lain pertanyaan tersebut juga mengandung sebuah harapan bahwa, kedatangan mahasiswa/i baru di kampus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sebenarnya mereka tidak sekadar menanggung kewajiban untuk serius belajar demi kelulusan. Tapi, yang tak kalah penting, bagaimana mereka kelak tampil sebagai lulusan-lulusan yang mampu memproduksi ide-ide ilmu pengetahuan. Bukan sekadar menjadi konsumen terhadap ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh pihak lain.
Dengan dipandu Ahmad Rafiq, Ph.D., Dr. Mun’im Sirri, MA, dalam presentasinya yang bertajuk “Knowledge Production, Culture and Law in The Muslim World”, mengemukakan bahwa, bagi sarjana-sarjana Muslim dewasa ini, pertanyaan seperti di atas menjadi hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan. Hal itu terutama disebabkan oleh makin kikisnya kreativitas intelektual Muslim masa kini dibanding intelektual-intelektual Muslim pada zaman-zaman sebelumnya.
Ahmad Rafiq, Ph.D. memandu acara international conference
Dengan mengutip pernyataan Akbar S. Ahmed, Mun’im Sirri yang tidak lain merupakan Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame Amerika menjelaskan bahwa, “Muslim usually don’t read. If the read, they don’t understand. If they do understand, they don’t practice.” Tidak mau membaca (belajar), tidak mau memahami (secara kritis) terhadap apa yang dibaca serta tidak tergerak untuk mempraktikkan apa yang dipahami adalah salah satu faktor yang menyumbat laju produksi pengetahuan di dunia Muslim. Di samping itu, perbedaan pandangan yang dianggap sebagai penyimpangan juga menjadi faktor lain yang menghalangi produksi ilmu pengetahuan di dunia Muslim saat ini. Padahal, melalui perbedaan pandangan inilah konon ulama-ulama salaf bisa memproduksi ilmu pengetahuan mereka yang masih bisa dipelajari sampai hari ini.
Pada sesi itu, hadir juga Prof. Najma Moosa dari Universitas Western Cape, Afrika Selatan yang menguraikan secara panjang lebar tentang pengaruh ulama Indonesia dalam bidang pendidikan, budaya dan hukum Islam di Afrika Selatan. Pemaparan Prof. Najma Moosa seperti membuka kembali ingatan semua orang tentang bagaimana intelektual-intelektual Muslim Indonesia di masa lalu seperti halnya Syekh Yusuf Al-Makassari, mampu memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat di Afrika Selatan lewat pemikiran dan kemampuannya dalam memproduksi pengetahuan.
Sesi pertama diskusi itu diakhiri dengan presentasi Prof. Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil, Ph.D. selaku Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Prof. Noorhaidi mengangkat tema tentang fenomena kemunculan ulama-ulama baru di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini. Fenomena itu seakan menjadi anomali tersendiri mengingat ‘ulama-ulama’ itu lahir bukan dari sebuah proses pendidikan yang menuntut upaya bersungguh-sungguh, kritis dan mendalam dalam mengkaji keislaman. Sebaliknya, mereka menjadi ‘ulama’ oleh adanya peran media yang begitu massif menjadikan agama sebagai sebuah komoditi.
Dari kiri ke kanan tampak narasumber dan moderator international conference:
Dr. Mun’im Sirry (Amerika Serikat), Ahmad Rafiq, MA., Ph.D. (Indonesia), Prof. Najma Moosa (Afrika Selatan) dan Prof. Noorhaidi, MA, Ph.D. (Indonesia).
International conference hari itu dipungkasi dengan sesi presentasi tiga orang mahasiswa yang mengikuti Joint Seminar di Nanyang Technological University Singapore dan diikuti dengan penuh antusias oleh mahasiswa baru dan mahasiswa lama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga itu menjadi momentum yang sangat penting dalam menentukan gambaran Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga di masa depan. Dalam sambutannya di awal acara, Prof. Noorhaidi menjelaskan bahwa, dengan hadirnya dua narasumber dari dua negara yang berbeda (Amerika Serikat dan Afrika Selatan), hal itu secara tidak langsung menegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga memiliki jaringan global dan internasional sehingga komitmen untuk menjadikan UIN Sunan Kalijaga sebagai World Class University serta komitmen menjadikan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sebagai International Research School merupakan suatu peluang yang patut diapresiasi.
Namun, untuk mewujudkan semua keinginan itu lagi-lagi bukanlah tugas yang mudah. Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi mengemukakan bahwa dengan mengintegrasikan sains, teknologi dan kajian keislaman dalam satu diskursus keilmuan yang integral, UIN Sunan Kalijaga menjadi perguruan tinggi pertama di Indonesia yang menempatkan ilmu pengetahuan dalam satu kajian yang utuh dan saling terkait. Walau demikian, ada problem yang masih banyak dihadapi untuk segera dibenahi, terutama kemampuan mahasiswa dalam menguasai bahasa. Karena itu, beliau menekankan agar mahasiswa memperbaiki kemampuan bahasa mereka.
Untuk mengurai sekian problem yang dihadapi itu, memang ada baiknya kalau seluruh civitas akademika Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga merenungkan apa yang disampaikan Mun’im Sirry di akhir presentasinya bahwa kita harus memastikan kalau kita “must have a strong commitment, passion, and compassion to produce new ideas/knowledge”. Tanpa itu semua, jangankan memproduksi ilmu pengetahuan, sekadar mempelajari pengetahuan yang sudah ada sekalipun, kita pasti akan menuai lebih banyak lagi kegagalan demi kegagalan.
Tidak dapat dimungkiri ulama memiliki peranan penting dalam membangun harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah persoalan bangsa yang kian kompleks, dibutuhkan kehadiran ulama yang progresif, berwawasan luas, dan menjunjung tinggi semangat kebinekaan. Demikian salah satu tujuan digelarnya Halaqah Nasional Ulama dan Cendekiawan dengan tema “Peran Ulama dalam Membangun Kehidupan Bangsa yang Harmoni,” di Millenium Sirih Hotel Jakarta, 16-19 November.
Halaqah yang diikuti sekitar 90 ulama dari berbagai daerah di Indonesia ini diselenggarakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity bekerjasama dengan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila. MAARIF Institute juga menggandeng Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan LAKPESDAM PBNU. Direktur MAARIF Institute, Muhd. Abdullah Darraz, menyampaikan, kegiatan ini dilakukan sebagai upaya memperkuat hubungan harmoni sosial-keagamaan dalam bingkai kebangsaan dan keindonesiaan.
Ketua Tim Pengarah, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, yang juga Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, menambahkan, forum ini akan melakukan kajian dan penelaahan secara mendalam terhadap berbagai topik dan tema keagamaan kontemporer yang berkembang di masyarakat, termasuk beberapa kebijakan pemerintah yang terkait dengan isu keagamaan, seperti UU Ormas yang baru disahkan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penghayat kepercayaan. Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Presiden RI, H. Jusuf Kalla pada Kamis (16/11) malam.
Sejumlah akademisi dan cendekiawan UIN Sunan Kalijaga dipercaya menjadi pembicara dan panelis dalam kegiatan tersebut. Di antaranya, Prof. Noorhadi Hasan, Prof. Abdul Munir Mulkhan, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Dr. Hamim Ilyas, Wawan Gunawan Lc., M.Ag., Dr. Muh. Nur Ichwan, Dr. Alimatul Qibthiyyah, dan Dr. Suhadi Cholil. Diharapkan kegiatan ini dapat menghasilkan rumusan pandangan keagamaan yang lebih toleran, non-diskriminatif, dan mendorong kehidupan sosial-keagamaan yang penuh harmoni di atas landasan kebinekaan.
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM – Banyak cara yang dilakukan kampus untuk masuk dalam kelas dunia, salah satunya menciptakan Pascasarjana. Jenjang tersebut merupakan gerbong terdepan untuk mencapai tujuan tersebut.
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi, menyatakan komitmen perguruan tinggi itu untuk menjadi "world class university" atau universitas kelas dunia. Berbagai program yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri ( UIN) Sunan Kalijaga yang berskala internasional patut diapresiasi.
Ia mengatakan untuk menjadi universitas kelas dunia, UIN Sunan Kalijaga juga membuka program internasional unggulan. Salah satunya adalah International Posdoctoral Program, yang telah memasuki tahun kedua.
"Program yang bertujuan meningkatkan publikasi internasional para dosen itu tidak hanya diikuti akademisi dari dalam negeri, tetapi juga diminati para sarjana dari luar negeri," kata Yudian, Senin (18/09/2017).
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi mengatakan pada tahun ajaran 2017/2018 Pascasarjana menerima 178 mahasiswa program magister (S-2) dan 72 mahasiswa program doktor (S-3).
Menurut dia, "studium generale" itu merupakan bagian dari kegiatan orientasi studi mahasiswa baru Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Kegiatan itu wajib diikuti seluruh mahasiswa baru sebelum dimulainya perkuliahan.
Kegiatan itu dikemas dalam bentuk konferensi internasional untuk mengenalkan iklim akademik global kepada mahasiswa baru sejalan dengan visi Pascasarjana menjadi "international research school".