Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali mangadakan diskusi rutin “Saturday Morning Lecturer” yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2016 bertempat di Gedung Pascasarjana Ruang 411 Pukul 09.00 WIB.
Kegiatan kali mendiskusikan buku “Pendidikan Intterreligious, untuk jenjang Perguruan Tinggi, SMA & Non Formal: Tantangan dan Peluang”. Tema buku ini sangat menarik minat mahasiswa pascasarjana dari berbagai kampus seperti CRCS UGM, UNY, UKDW & Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bedah buku ini rencananya akan menghadirkan 3 orang narasumber yaitu: Dr. Suhadi, M.A. (Dosen CRCS UGM & Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga); Listia (Fasilitator Pendidikan Non-Formal); dan Sartana (Guru SMA Bokpri I Yogyakarta). Namun karena halangan kesehatan, Sartana batal hadir dan digantikan oleh Purwono Nugroho Adhi). Diskusi Buku ini dipandu oleh Damanhuri (mahasiswa Program Doktor Kelas Internasional Pascasarjana UIN Suka). Berikut catatannya:
Indonesia penduduknya memiliki beragam budaya, etnis dan agama. Keragaman ini merupakan anugerah yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai pandangan hidup yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, di bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila cenderung melemah pasca reformasi politik tahun 1998. Ada banyak peristiwa peminggiran dan diskriminasi oleh kelompok yang kuat terhadap yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam menata kehidupan bersama yang memiliki banyak keragaman ini. Inilah salah satu alasan mendasar yang mendorong Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (IKMP) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Bedah Buku tentang “Pendidikan Intterreligious, untuk jenjang Perguruan Tinggi, SMA & Non Formal: Tantangan dan Peluang”. Harapanya kehadiran buku pendidikan Intereligius ini dapat memberi sumbangan dalam upaya mengatasi kemunduran tersebut.
Para narasumber memaparkan isi buku tersebut sebagai bentuk pengayaan bagi pendidikan agama konvensional. Pertama Dr Suhadi mempresentasikan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi. Dalam paparannya terlebih dahulu menguraikan apa perbedaan pendidikan agama konvensional di Perguruan Tinggi dengan pendidikan interreligius. Menurutnya materi-materi yang ada dalam pelajaran agama yang dikeluarkan oleh Pemerintah sesungguhnya sudah baik. Di dalamnya terdapat materi-materi yang up todate mengikuti kebutuhan generasi saat ini. Terdapat juga pembahasan tentang Hak Asasi Manusia dan Seni misalnya. Namun dalam prakteknya seperti hasil riset yang dilaksanakan di temukan di suatu Perguruan Tinggi terdapat praktek pendidikan agama yang di dalamnya ada materi tentang ke-NII-an, yang dalam konteks ini bertentangan dengan kebutuhan akan pendidikan agama yang memperkuat persatuan dan semangat kebangsaan. Pendidikan agama di tingkat Perguruan Tinggi dalam prakteknya sangat tergantung dosen yang mengampu.
Selanjutnya Dr. Suhadi menjelaskan perlu diwujudkan suatu model pendidikan kegamaan yang tumbuh atas dasar sikap optimis dalam melihat perubahan yang semakin cepat dan berkembang keragaman. Beliau juga memaparkan di jenjang Perguruan Tinggi, pendidikan interreligius dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih mematangkan kedewasaan mahasiswa dalam beragama, yang ditunjukkan dengan kesadaran moral dan perilaku yang tidak hanya berdasarkan penghayatan ajaran agama masing-masing, namun juga penuh pertimbangan dan kebijaksaan dalam menjaga kedamaian. Fungsi pendidikan interreligius sebagai pendidikan yang secara khusus diselenggarakan untuk membuka wawasan dan kesadaran tentang keragaman hidup, sehingga diharapkan mahasiswa dapat menjadikan keragamaan sebagai rahmat.
Pak Purwono dalam pemaparannya mengelaborasi isi modul pendidikan interreligius untuk SMA. Beliau menguraikan bahwa penyelenggaraan pendidikan interreligius pada jenjang Sekolah Menengah Atas adalah mengupayakan penyadaran secara sistematis tentang nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam semua agama, yang dapat memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Metode-metode yang digunakan diharapkan dapat menjadi ruang bagi siswa untuk secara aktif menggali kebijaksaan yang memperkuat karakter dan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan generasi muda Indonesia lebih mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia Indonesia sehingga terselenggara kehidupan berbangsa adil dan damai, melalui penyerapan nilai-nilai kebaikan bersama. Pemaparan Ibu Listia dalam diskusi kali ini terfokus pada pentingnya pendidikan agama yang terbuka khususnya di ruang publik. Pendidikan intrreligius merupakan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk memperkaya praktek pendidika agama, termasuk dalam ranah non-formal. Pendidikan agama yang terbuka dibutuhkan untuk membuka wawasan dan kesadaran tentang keragaman hidup, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat umat beragama dapat mengelola perbedaan yang ada dengan saling hormat dan mampu bekerjasama untuk kepentingan kehidupan yang lebih luas.
Pada sesi dialog antar peserta dan pembicara, beberapa komentar yang diajukan peserta adalah terkait dasar pemikiran yang melandasi konstruksi gagasan tentang pendidikan interreligius, misalnya komentar tentang toleransi, tentang identitas keagamaan dalam bermasyarakat dan pertanyaan tentang seni dalam pendidikan agama. Muncul juga pertanyaan dari peserta terkait penerapan pendidikan interreligius di lembaga-lembaga pendidikan agama yang privat, seperti pesantren atau seminari.
Menanggapi komentar tentang identitas agama dan pertanyaan tentang toleransi yang diajukan oleh tiga peserta, Ibu Listia memberikan pernyataan yang berupaya memantik kesadaran untuk lebih jernih dalam memahami toleransi. Beberapa peserta memandang toleransi tidak dapat dilepaskan dari homophily (mengalah karena kesamaan). Menurut Ibu Listia, bila seseorang masih menggunakan cara berpikir menang-kalah dalam relasi dengan yang berbeda, maka sesungguhnya orang yanga bersangkutan belum siap bicara tentang toleransi. Dalam kata toleratia (Latin) mengandung makna ‘menahan’ enduring. Berkaitan dengan pertanyaan dari peserta tentang dasar toleransi menurut Nabi Muhammad, beliau merujuk pada Piagama Madinah yang memuat kesepakatan masyarakat majemuk tentang pengelolaan hidup bersama. Ketika kesepakatan telah dituliskan, sekretaris Nabi menuliskan ‘tertanda Muhammad Rasulullah/Muhamaad utusan Allah. Tetapi karena ada peserta non muslim yang kerabatan dengan penyebutan kata ‘rasulullah’, maka Nabi menyuruh sekretarisnya menggantikan dengan ‘Muhammad Bin Abdullah’. Ini contoh yang sangat kuat bagi muslim bagaimana orang Islam mengakomodir orang-orang yang berbeda. Hal ini pula yang tampaknya menjadi rujukan Sunan Kudus yang mengajak para pengikutnya untuk tidak menyembelih sapi, tetapi diganti dengan kerbau, guna untuk menhormati umat Hindu yang sangat menghormati sapi, meskipun tidak ada larangan memakan daging sapi dalam agama Islam. Sikap Nabi dalam peroses penandatangan Piagam Madinah juga menjadi acuan dalam memandang persoalan identitas. Tuhan tidak butuh agama, yang membutuhkan adalah manusia, mestinya agama dapat membawa keselamatan bagi semua orang. Mengapa harus mengagung-agungkan identitas bila hal itu menghalangi fungsi agama sebagai pembawa rahmat bagi kehidupan yang lebih luas.
Dr Suhadi memberi pengayaan tentang sejarah pemikiran keagamaan yang menghasilakan banyak hukum (fikh-ushul fikh), yang memberi implikasi menyembabkan umat bersikap kaku dalam beragama, yang dapat menimbulkan suasana batin tidak bahagia. Seni adalah hal penting dalam hidup yang dapat menumbuhkan kebahagiaan. Di Ambon musik menjadi salah satu sarana pemelihara perdamaian yang konkret dirasakan oleh masyarakat setelah konflik berdasah cukup lama di Maluku. Karena itu musik juga menjadi sarana yang baik dalam pendidikan agama.Terkait dengan pertanyaan tentang penerapan pendidikan interreligius di pesantren, DR Suhadi menyampaikan bahwa meski di pesantren terdapat kitab-kitab yang mengandung ajaran yang tidak toleran, tetapi terdapat alat bantu ilmu-ilmu lain yang menyebabkan ulama di pesantren menjadi toleran, misalnya ilmu tafsir yang beragam, mantiq, spiritulitas dalam sufime yang mengajarkan kecintaan. Kurikulum yang tidak tertulis adalah dari para Kyainya sendiri.
Pak Purwono memberi tambahan pembahasan tentang seni dengan ilustrasi adanya akar tradisi yang sama berkaitan dengan dzab, atau suara-suara yang diciptakan dengan frekuensi yang mengikuti frekuaensi suara alam. Beliau memberi contoh dalam film ‘Timbuktu’, yaitu tentang masyarakat awal yang memeluk Islam di Afrika. Menurut beliau banyak tradisi mendaraskan kitab suci dan juga adzan, yang bersesuaian dengan cara pikir tentang dzab ini. Di masa modern, konsepsi tentang dzab ini mempengaruhi lahirnya musik blues. Musik juga dapat menjadi sarana yang menyatukan.
Terkait pendidikan interreligius di lembaga pendidikan privat seperti seminari, beliau sebagai orang yang bekerja di Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang yang antar lain membawahi lembaga pendidikan Seminari Menengah, menyatakan, pendidikan dalam seminari tetap memberi ruang terbuka pada keragaman agama meski peserta didiknya semua Katolik, sesuai dengan kebijakan Gereja Katolik yang menghormati hak asasi manusia dan mengakui adanya kesucian dalam agama-agama lain.
Selanjutnya peserta dari UKDW Pdt Herlina memberikan komentar, respon beberapa teman-teman diawal diskusi yang mementingkan soal identitas agama membuat beliau seolah melihat sikap gereja yang dengan semangat pengkabaran Injil supaya memenangkan orang bagi kristus. Menurutnya, metode penafsiran terhadap ayat-ayat suci menjadi kunci di sini. Pemakanaan teks kitab suci yang lepas dari konteks, ditulis dan membawa kekeliruan penghayatan yang kemudian selalu menjadi rujukan dalam perilaku sehari-hari. Pendeta Herlina juga menyampaikan bahwa seruan keagamaan yang disampaikan dengan elegan dan menyentuh hati dengan sendirinya akan mengundang kehadiran banyak orang. Tetapi bila seruan keagamaan disampaikan dengan mengganggu suasana hati, tentu respons yang diterima akan tidak baik.
Ketiga buku pendidikan interreligius ini mencoba memberikan sumbangsih untuk mengelola kompleksitas pluralitas keagamaan melalui bidang pendidikan. Kegiatan bedah buku ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat bagi mahasiswa untuk lebih memperhatikan persoalan sosial-keagamaan konkret yang dihadapi masyarakat dan dapat memberikan kontribusi dalam membangun kehidupan bersama yang lebih baik, sesuai bidang ilmu yang digeluti.
Kontributor:
Efrida Yanti Rambe (mahasiswa Studi Agama dan Resolusi Konflik Pascasarjana UIN Suka)
Menghadiri acara conference international merupakan kesempatan yang baik bagi mahasiswa dan siapa saja, dalam hal menyampaikan hasil risetnya, di negara masing-masing, seperti yang dilakukan oleh sdr. Muhamad Abdul Aziz, Mahasiswa konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang ditemani oleh M. Faidul Akbar mahasiswa konsentrasi SQH sebagai Partisipant aktif. Sdr. Muhamad Abdul Aziz yang akrab dipanggil Mr. Ezi, mengatakan, bahwa dalam tulisan yang disampaikan, Ia menguraikan mengenai ekonomi dan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, saat ini menjadi salah satu trenmark dalam disiplin ilmu ekonomi, kajian Asia tenggara, dan kajian Islam. Terdapat hubungan secara timbal balik antara ekonomi dengan pendidikan Islam. Pada satu sisi ekonomi berfungsi sebagai basis dari pendidikan Islam. Pada sisi lain agenda ekonomi dikembangkan melalui pendidikan Islam. Sebagai suatu ilmu, ekonomi tentu saja memiliki konsep, teori maupun metodologi tersendiri sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu yang lain. Berdasarkan hal tersebut, Ia juga menawarkan sebuah paradigma keilmuan baru sebagaimana yang dikembangkan UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta yaitu paradigma integrasi-interkoneksi. Paradigma baru ini penting, selain untuk menghilangkan ketegangan konflik dan menyembuhkan luka-luka dikotomi, di sisi lain, paradigma ini memberikan penyadaran secara social, politik maupun humaniora memiliki signifikansinya sendiri-sendiri apabila masing-masing horizon tersebut dibaca dengan saling terkait, maka akan menghasilkan pembacaan holistik yang sangat berguna bagi kemajuan peradaban Islam.
Gambaran ini cukup penting diketahui untuk melihat landasan bagi perkembangan ekonomi untuk membangun potret pendidikan Islam ideal di Indonesia dan relevansinya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tanggap dan siap dalam menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sebagai sebuah kesimpulan hasil dari penelitian nya ialah : Sebagai negara anggota ASEAN dengan penduduk terbesar, Indonesia berpotensi besar untuk mondominasi pasar ASEAN, salah satunya adalah melalui kebijakan pendidikan yang memiliki peran penting, dan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyiapkan manusia Indonesia yang kualified dan marketeble, sehingga tidak terpinggirkan dalam arus MEA. Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensip dan berwawasan keunggulan, keahlian, profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Dalam menghadapi MEA, pendidikan bisa menjalankan konsep integrasi-interkoneksi, yaitu mengkaitkan lulusan sekolah dengan kebutuhan kerja, sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seyogyanya tidak lagi terjadi. Program-program pelatihan bukan hanya dilaksanakan oleh dunia industri. Tetapi perlu juga diselenggarakan oleh setiap institusi pendidikan umum maupun Islam, tentunya yang relevan dengan kebutuhan MEA. Program pelatihan yang integrasi-interkoneksi ini dimungkinkan karena partisiapasi penuh dari dunia industri dalam pengembangan sumber daya manusia serta adaptasi program pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat. Di era MEA saat ini, Indonesia haruslah menyiapkan perangkat kompetitip pendidikan sedini mungkin, sehingga ke depan lembaga pendidikan Islam memiliki good governance system yang unggul sehingga mampu berkompetisi di level internasional tanpa kehilangan Islamic Morality Character sebagai dasar aplikasinya.
Acara Ingraw (International Graduate Workshop) acara riset bergengsi di Universiti Sains Malaysia (USM) yang diadakan setiap tahunnya denga tema : ISDEV (Center for Islamic Development management Studies) (20/10)
Kegiatan Conference International yang diikuti oleh 350 peserta dari berbagai negara, diantaranya Malaysia, Indonesia, dan juga para praktisi, dosen, pemuka agama, akademisi dengan pembicara. Dr. Raziah Md Tahir dan Dr. Mohd Shukri Hanapi. Para akademisi dan praktisi tersebut menyampaikan hasil kajian menreka mengenai ISDEV dalam berbagai perspektif, yaitu : Pengembangan Islam, Managemen Islam, Ekonomi Islam, Bank Islam, Bisnis dan marketing Islam, Politk ekonomi Islam, Metodologi riset Islam, pemikiran Islam, Falak dan lain-lain. Konferensi international ini juga memfasilitasi 4 buah diskusi Concurrent Session yaitu, dalam berbagai aspek diantaranya, Banking, Management, Quality and Consumerism, islamic Knowledge, waqf, Human Resource Management, Education, Economi Politics, services, Hallan Tayyiban, Zakat, Takaful, General Issue, Islamic development, Leadership, Finance, Falak & politics.
Presenter session ini adalah dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Asia seperti, Universiti Sains Malaysia (USM), Airlangga Universiti indonesia, Universitas sumatra Utara (UMSU) Indonesia, Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga Indonesia, UiTM Shah alam Malaysia, UKM Malaysia, UiTM Klantan Malaysia. Yang sangat unik dari acara ini adalah session presenter yang dipandu moderator sekaligus komentator dan menghasilkan beberapa hasil tindak lanjut yang harus diperbaiki oleh para presnter masing-masing di setiap ruangnya.
Penelitian Sejarah Islam masih banyak dilakukan dengan pendekatan normatif dan cenderung tekstual. Maka penerapan Teori Sosial dalam penelitian sejarah merupakan pendekatan yang sangat diperlukan dalam memperkaya kajian Sejarah Islam. Alasan inilah yang mendorong Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan “Workshop Teori Sosial dalam Penelitian Sejarah”. Kegiatan yang diikuti 35 peserta dari kalangan dosen, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana ini dilaksanakan pada Kamis 25 Agustus 2016, bertempat di ruang pertemuan lantai 2 Gedung Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Workshop ini menghadirkan Kevin Fogg, PhD sebagai narasumber. Dr. Kevin adalah peneliti dari Oxford Centre for Islamic Studies yang memiliki concern pada kajian sejarah Islam di Asia Tenggara.
Dalam paparannya, Dr. Kevin Fogg terlebih dahulu menjelaskan perbedaan Sosiologi dan Antropologi sebagai dua disiplin besar tempat bermuaranya teori-teori sosial. Menurut Dr. Kevin pada awalnya, Sosiologi dijalankan untuk studi tentang “kita atau di antara kita (dalam konteks masyarakat Barat)” sedangkan antropologi untuk meneliti orang luar terutama masyarakat yang dipandang tertinggal. Untuk mempertajam perbedaan, Dr. Kevin menyebut beberapa nama antropolog dan sosiolog.
Selanjutnya Dr. Kevin menjelaskan perbedaan dan keterkaitan antara sosiologi dan sejarah. Hubungan antara sosiologi dengan sejarah terbentuk ketika tahun 1960-70an sosiologi boleh memakai data-data sejarah. Kemudian, tahun 1983 ada tulisan Philip Abrams yang menggagas historical sociology yang semakin mendekatkan sosiologi dan sejarah.
Perbedaan sosiologi dan sejarah dapat terletak pada beberapa hal. Misalnya, a) perbedaan sumber, Sejarah menggunakan arsip, manuskrip, museum, wawancara, sedangkan Sosiologi lebih banyak melihat langsung fakta di lapangan, b) Perbedaan skala: sejarah bisa berskala mikro maupun makro. Mikro misalnya ketika melihat peran seorang tokoh saja. Sosiologi karena ingin melihat struktur, maka skalanya lebih makro, c) System vs Coincidence: sejarawan menghargai peristiwa kebetulan, sedangkan sosiolog selalu melihat sistem atau strukturnya, d) Sejarawan lebih menginginkan kualitatif sedangkan sosiologi memiliki tren mengkonversi data dalam angka.
Paparan yang sangat penting dalam workshop ini adalah penjelasan Dr. Kevin Fogg tentang beberapa teori sosial yang perlu dipelajari seorang sejarawan, yaitu yang terkait dengan isu-isu: 1) social stratification, 2) power and authority, 3) revolution, dan 4) religion. Untuk mendalami social stratification atau pembagian masyarakat dalam lapisan tertentu, penting untuk memahami pemikiran Karl Marx dengan class struggle dan dialectical materialism, kemudian Max Weber dengan Protestant ethic, serta Piere Bourdieu dengan cultural capital-nya. Sedangkan untuk memahami isu-isu tentang Power and Authority menurut Dr. Kevin akan sangat membantu jika sejarawan memahami Michele Foucoult dengan gagasannya tentang dicipline, knowledge, and language, serta Max Weber tentang charisma, traditional, dan legal/bureaucratic. Mengenai teori tentang Revolution, menurut Dr. Kevin, sejarawan perlu memahami teori-teori Karl Marx terutama dalam karyanya Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. Sangat baik juga untuk menelaah studi Theda Skoćpol “Social Revolution” yang meneliti tiga peristiwa revolusi yakni di Perancis, Rusia, dan Tiongkok. Sejarawan juga perlu memahami teori sosial tentang agama, terutama teori Emile Durkheim tentang mystic, totem, sacred, dan Weber tentang text dan context.
Setelah memaparkan beberapa teori aplikatif untuk penelitian sejarah, Dr. Kevin memberikan contoh karya tulis sejarah yang baik. Misalnya Braudel dengan “The Mediterranian” (1973). Braudel adalah seorang sejarawan Perancis yang menulis tentang laut mediterania selama 2000 tahun. Braudel melihat peristiwa sejarah dalam longue duree sehingga mampu melihat struktur, akhirnya karya ini mendapatkan apresiasi yang tinggi, termasuk di kalangan sosiolog. Contoh lain adalah sejarawan Chicago University, Kenneth Pomeranz, yang meneliti Tiongkok abad 14-16, di mana Cina berada pada era yang lebih maju daripada Eropa. Karya Pomeranz tersebut berjudul The Great Divergence, dipublikasikan sekitar tahun 2002. Sejarawan penting lain yang disebut Dr. Kevin adalah Victor Lieberman, sejarawan Amerika yang menulis tentang Birma pada masa kolonial, kemudian meluaskan studinya ke Thailand dan Kamboja, Vietnam dan sekitarnya. Hasilnya sebuah buku berjudul Strange Parallels (2006). Sedangkan sejawaran tanah air yang diapresiasi Dr. Kevin adalah Sartono Kartodirjo dengan karyanya Revolusi Petani di Banten (Peasants Revolt) di mana ia menuliskan panjang lebar tentang konteksnya, bukan sekedar peristiwa pemberontakannya. Peter Carey dengan kajiannya tentang Diponegoro, juga dianggap karya sejarah yang baik karena melihat konteks Perang Jawa secara lebih makro.
Terakhir, Dr. Kevin berbagi cerita tentang fokus risetnya di Indonesia, yaitu tentang sejarah Islam modern di Indonesia. Studi Dr. Kevin terutama tentang kelompok-kelompok Islam yang berbasis di luar Jawa, seperti Hidayatullah, DDI, Wahdah al Islamiyah, Perti, NW, Washliyah, Alkhairat. Fokus kevin terutama pada tiga yang terakhir, NW, Washliyah, Alkhairat, berdiri tahun 1930an. Ketiganya dipandang terbesar setelah Muhammadiyah dan NU, namun ketiganya mengalami perkembangan yang relatif sama. Kevin tertarik meneliti struktur apa yang mempengaruhi ketiga kelompok Islam tersebut.
Sebelum menutup pemaparannya, Dr. Kevin Fogg menegaskan bahwa dalam memilih teori sosial untuk penelitian sejarah, peneliti memiliki kebebasan penuh, yang penting teori yang dipilih sesuai dengan agenda penelitian yang sedang dikerjakan. Yaitu ditandai dengan kemampuan peneliti menjawab “so what”nya dari penelitian itu, artinya hasil penelitian sejarah bukan hanya untuk memajang data, namun bisa menjelaskan masalah secara analitik-sistematis sesuai landasan teori. Kalau sekedar mengumpul data, pustakawan lebih jago. Maka peran sejarawan lebih dari sekedar pengumpul data, dia harus punya analisis teoretis yang kuat. (Erham Budi Wiranto/Pascasarjana UIN Suka)
Zakat dalam perspektif Islam adalah diproyeksikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Langkahnya yaitu dengan cara mengumpulkansebagian harta orang kaya dan memberikannya kembali kepada orang-orang fakir dan miskin. Lantaran itu pengelolaan dana umat Islam iniharus di tangani secara profesional oleh amil zakat yang berkompetensi agar dalam pelaksanaannya sebagaimana disebutkan oleh perundang-undangan yaitu untuk kemaslahatan umat.
Dosen IAIN Raden Fatah Bengkulu Drs. Muhammad Djupri, M.Si menilai hal ini perlu dikaji secara mendalam padadisertasinya berjudul "Kompetensi Amil Dan Fungsionalisasinya Dalam Kelembagaan Zakat (Studi Terhadap Badan Amil Zakat Kota Bengkulu)". Karya ini dipresentasikan dalam ujian promosi doktor di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jum'at(26/8) kemarin.
Muhammad Djupri mengatakan, berdasarkanhasil pengamatan lapangan bahwa terjadinya kesenjangan perolehan BAZ di Propinsi Bengkulu belum mengelola personalia amil zakatnya dengan menggunakan sistem manajemen sumber daya manusia. " Mestinya amil harus punya kompetensi akademik terkait zakat agar bisa mengelola sumber dana zakat" kata Djupri.
Muhammad Djupri menambahkan menurutYusuf Qordhowi syarat seorang ditunjuk sebagai amil zakat adal lima yaitu beragama Islam, mukallaf, jujur, mengerti dan paham hukum zakat,punya kemampuan melaksanakan tugas serta amil zakat dalam menjalankan tugasnya harus sungguh-sungguh dan full time.
Terwujudnya pengelolaan zakat yang baik adalah tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus menugaskan amil zakat meliputi pengumpulan, pengorganisasian, dan pendayagunaannya. Dalam hal ini amil zakat haru mampu bekerja keras, profesional dan bertanggung jawab. Sehingga para amil zakatnya mampu melaksanakan fungsi kelembagaan pokoknya.
Dari hasil presentasi dalam ujian promosi doktor Muhammad Djupri mendapat apresiasi dari tim penguji dengan mendapat nilai Sangat Memuaskan dan berhak menyandang gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam. Muhammad Djuprimerupakan lulusan sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang mendapat gelar doktor ke 524.
Sumber: Humas UIN Suka
Jakarta (Pendis) - Sejumlah gelar akademik baik baik Sarjana S1, S2 dan S3 yang berlaku sejak tahun 2009 lalu secara resmi dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) RI nomor 33 Tahun 2016 Tentang Gelar Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan.
Sebagaimana diketahui, gelar akademik dahulu berlaku dengan mengacu pada PMA No. 36 Tahun 2009 Tentang Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama. Diantara gelar di dalam PMA tersebut misalnya untuk Starata Satu (S1); S.Ud (Sarjana Ushuluddin untuk Fakultas Ushuluddin), S.Sy (Sarjana Syariah), S.Kom.I (Sarjana Komunikasi Islam untuk Fakultas Dakwah, S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam untuk Fakultas Tarbiyah) dan SE.Sy (Sarjana Ekonomi Syariah untuk Fakultas Ekonomi).
Dengan berlakunya PMA Nomor 33 Tahun 2016, ini maka gelar akademik yang berhak disandang oleh mahasiswa setelah menyelesikan studi maka penulisannya wajib menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidahnya. Dan gelar akademik yang sekarang ini resmi diatur bersifat akomodatif terhadap perkembangan ilmu.
Sesuai dengan PMA yang baru tersebut diatas maka untuk Fakultas Ushuludin gelarnya S.Ag (Sarjana Agama) kecuali untuk jurusan Pemikiran Politik Islam yaitu S.Sos (Sarjana Sosial). Untuk Fakultas Syariah gelarnya SH (Sarjana Hukum). Fakultas Adab, S.Hum (Sarjana Humaniora). Fakultas Dakwah dan Komunikasi, S.Sos (Sarjana Sosial). Fakultas Tarbiyah, S.Pd (Sarjana Pendidikan). Fakultas Ekonomi dan Bisnis gelarnya SE (Sarjana Ekonomi) kecuali jurusan Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah, S.Tr.Akun (Sarjana Terapan Akuntansi) dan Jurusan Akuntansi Syariah, S.Akun (Sarjana Akuntansi). Fakultas Psikologi bergelar S.Psi (Sarjana Psikologi). Sedangkan untuk Studi Islam Interdisipliner dan Ma`had Aly yang baru saja diresmikan mempunyai gelar S.Ag (Sarjana Agama) bagi para alumninya. Untuk Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam bergelar SIP (Sarjana Ilmu Perpustakaan).
Sedangkan untuk strata dua (S2), gelarnya hanya mengganti "S" (Sarjana) menjadi "M" (Magsiter) dan selanjutnya sesuai dengan Fakutas/Jurusan. Dan untuk S3 (strata tiga) semua Fakultas/Jurusan/Bidang Keilmuan gelarnya "Dr" (Doktor).
PMA Nomor 33 Tahun 2016 ini telah ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 09 Agustus 2016 serta telah dicatat dalam Berita Negara RI Nomor 1170 Tahun 2016.
sumber: http://pendis.kemenag.go.id