Keluarga Mahasiswa Pascasarajana (KMP) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengadakan Musyawarah Besarperdana pada hari Kamis, 11 Oktober 2018. Kegiatan ini dibuka dengan Orasi Ilmiahbertema “Securing Future” Kaum Muda, Kepemimpinan dan Tantangan Global yang disampaikan oleh Prof. Noorhaidi MA, M.Phil Ph.D pada saat pembukaan.Dalam kesempatan tersebut beliau menyampaikan pentingnya peran pemuda dalam mengusung setiap perubahan. Misalnya, merujuk pada beberapa peristiwa besar yang dialami bangsa ini mulai dari Proklamasi dan penurunan rezim Orde Baru. Pemuda selalu berada di garda depan sebagai pengawal dan pelopor terjadinya perubahan. Selain itu beliau juga membahas karakter-karakter pemuda yang diistilahkan masih “gentayangan” dalam mencari jati diri. Pada keadaan sepeti itu sangat rawan bagi mereka jika terjerumus dalam kelompok-kelompok radikalisyang menyesatkan. Apalagipemuda saat ini dihadapkan dengan tantangan zaman yang ditandaimasifnya perkembangan tehnologi, Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) dan Era Industrialisasi. Jika sumber daya manusia yang dimiliki tidak mampu menjawab tantangan tersebut maka jelas akan mengalami kesulitan dalam berkompetisi dengan masyarakat global.
Beliau kemudian juga mengucapkan selamat kepada pengurus periode 2017-2018 yang telah menyelesaikan tugas kepengurusan selama satu tahun terakhir. Kegiatan-kegiatan KMP seperti Graduate Forum, Thesis Discussion Club, Bedah Buku dan Kuliah Umum merupakan program kerja unggulan yang akan menunjang kegiatan akademik mahasiswa Pascasarjana. Sehingga, perlu terus dikembangkan tentunya dengan inovasi-inovasi sesuai kebutuhan mahasiswa S2/S3 di Lingkungan Pascasarjana.
Dalam acara yang sama ketua umum KMP periode 2017-2018 Riska Dwi Agustin S.Hum., MA menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga atas dukungan dari semua pihak terutama kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang telah memberi dukungan penuh kepada KMP sehingga mampu menjadi organisasi yang produktif. Selama mengemban amanah sebagai ketua umum tentu banyak menemui tantangan baik dari internal maupun eksternal organisasi. Namun, dinamika dalam berorganisasi merupakan suatu hal yang wajar dan dapat dijadikan ladang pembelajaran untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan yang berkarakter. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada para pengurus dan anggota KMP yang telah menciptakan ruang tumbuh bersama melalui sebuah wadah organisasi yang berorientasi pada kegiatan-kegiatan akademik.
Musyawarah Besar ini dihadiri oleh Penasehat KMP Ketua Program Studi S2 Ro’fah BSW, Ph.D dan Dr. Nina Mariani Noor., MA. Selain itu dihadiri pula oleh Ketua Asmapada Universitas Ahmad Dahlan, Ketua HMP Universitas Gajah Mada dan KMP Universitas Negeri Yogyakarta. Musyawarah Besar yang teerdiri dari empat sidang Pleno ini diakhiri dengan pemilihan Ketua Umum. Pada forum tersebut telah terpilih Anis Fitriyah S.PdI Mahasiswa Konsentrasi Studi Disabilitas dan Pendidikan Inklusi sebagai Ketua KMP periode 2018-2019. Semoga kepengurusan KMP selanjutnya mampu mengemban amanah dan bersama-sama memajukan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (red.rsk)
Isma'il Fajri Alattas (kanan) dan Moderator Moch Nur Ichwan (Kiri)
Tanggal 15 Maret 2017, koran nasional Jawa Pos memuat berita peresmian tempat ziarah wali baru di Desa Jagalan, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Di tempat itu ditemukan kuburan kuno yang diidentifikasi sebagai makam Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar, seorang wali penyebar Islam yang sebelumnya tidak dikenal bahkan oleh masyarakat Jagalan sendiri.
Sosok ini diyakini sebagai guru dari ulama besar Muhammad Soleh bin Umar As-Shamarani atau terkenal dengan nama Kiai Soleh Darat Semarang. Kiai Soleh Darat (1830-1903 M) adalah guru dari dua ulama besar pendiri Nahdatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asyari, dan pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
Uniknya, penemuan penting yang menambah khazanah sejarah perkembangan Islam di Indonesia ini bukan hasil penyelidikan sejarawan atau antropolog dari perguruan tinggi. Penemunya adalah Habib Muhammad Lutfi bin Yahya dari Pekalongan yang juga Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
Bermula pada November 2016 silam, Habib Lutfi berziarah ke makam K.H. Ahmad Badawi di Kaliwungu. Saat memasuki kompleks pemakaman umum Jagalan menuju makam K.H. Ahmad Badawi, tiba-tiba Habib Lutfi mendapatkan visi spiritual di salah satu makam tua. Usai berdoa cukup lama, Habib Lutfi bercerita bahwa itu adalah makam ulama besar, Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar. Habib lalu memerintahkan masyarakat membangun kubah di atasnya dan melembagakan tradisi haul di tempat itu.
Kisah ini terungkap dalam Studium Generale Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai rangkaian kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2018/2019, Selasa (25/9), di Gedung Convention Hall kampus setempat. Kuliah umum ini disampaikan Ismail Fajrie Alatas, Ph.D., asisten profesor di Universitas New York, Amerika Serikat.
Tema yang diangkat adalah “Mimpi Wali/ Wali Mimpi: Otoritas dan Praksis Sejarah Islam di Jawa.” Topik ini menyedot perhatian luar biasa para peserta. Ruang acara penuh sesak oleh lebih dari 300 peserta yang sebagian duduk lesehan karena tidak kebagian kursi. Sejumlah dosen juga turut mengikuti kuliah ini dengan antusias sampai selesai meskipun ruangan sempat gelap gulita karena mati lampu.
Mimpi sebagai Metode
Lebih lanjut, Ismail yang juga keturunan habib dari jalur Alatas ini mengemukakan, praktik Habib Lutfi mengidentifikasi makam-makam kuno sebagai makam wali melalui mimpi dan visi spiritualnya telah berjalan lama. “Beliau sudah banyak membangun kuburan kuno yang sebelumnya tidak dikenali dan mengidentifikasinya dengan identitas baru di berbagai tempat di Jawa, Kalimantan, Batam, dan daerah lainnya,” jelas habib yang lahir di Semarang ini.
Karena itu, dalam pandangan Ismail, Habib Lutfi telah melakukan proyek history making atau produksi sejarah dengan metode baru, yaitu melalui mimpi dan visi spiritual. Sejarah dalam konteks ini bukan sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Tapi sejarah yang dibuat, dipikirkan, dan dimaterialiasasi.
Dalam hal ini, mimpi atau visi spiritual menempati posisi sentral dalam proses identifikasi situs sejarah. Produksi sejarah melalui metode mimpi tentu berbeda dengan historiografi Islam mainstream yang bersumber pada isnad dan tradisi sejarah sekuler pasca-pencerahan yang beroperasi pada metode emspiris-positivistik.
Dalam kajian antropologi sejarah seperti dilakukan Amira Mittermaier, Charles Stewart, dan Anand Taneja, mimpi bukan sebagai proyeksi subyektif psikologis, tetapi sebagai pertemuan sosial-etis (socio-ethical encounters). Mimpi adalah ruang dialog dan pertukaran kreatif.
Bagi kaum Sufi, mimpi diyakini sebagai situs dialog dan pembelajaran antara dua aktor yang hidup di ruang waktu dan tataran ontologis yang berbeda. Mimpi sebagai jembatan kepada alam imaginal di mana ruh dapat saling bertemu. Mimpi dipercaya sebagai jembatan yang membuka ihwal semesta yang tersembunyi.
Sebagai seorang yang diyakini Wali, Habib Lutfi dianggap memiliki akses pada dunia spiritual, sehingga dapat bertemu dengan aktor-aktor historis melalui mimpi. Sang Wali yang meninggal dapat muncul dalam mimpi atau visi spiritual Habib Lutfi, sehingga memungkinkan ia bertanya tentang persoalan historis langsung dari aktornya. Dalam konteks ini, Habib Lutfi memiliki otoritas sebagai ahli sejarah bebasis pada otoritas spiritualnya sebagai ulama Sufi dan Wali.
Narasi Sejarah Alternatif
Islam memiliki praksis sejarah yang berbeda dan tidak dapat direduksi menjadi satu macam. Tradisi sejarah pasca-pencerahan yang telah mempengaruhi pemahaman kita tentang waktu dan sejarah hanyalah satu dari banyak cara manusia memahami relasi dengan masa lalu.
Selama lebih dari 3 dekade, Habib Lutfi sibuk membenahi sejarah Islam di Nusantara khususnya sejarah kewalian yang tidak tertulis. Ia terus mencoba menghadirkan kembali narasi sejarah kewalian dengan membangun situs dan melembagakan ziarah.
Bagi Habib Lutfi, penyebaran ideologi Islam transnasional, seperti Salafisme, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan masyarakat Muslim Indonesia dalam membangun narasi sejarahnya. Sehingga Islam yang datang dari Timur Tengah dianggap lebih otentik dan sejarah Islam di Nusantara dianggap sinkretik, malah kurang Islami.
Namun, membangun kembali narasi sejarah Islam di Indonesia, khususnya sejarah kewalian tidak mudah dan penuh tantangan karena historiografi kolonial dan nasionalis dianggap sama-sama menutupi dan menyisihkan sejarah kewalian nusantara. Menghadapi ketiadaan sumber-sumber tertulis, maka Habib Lutfi terkadang harus menggunakan praksis sejarah alternatif, seperti mimpi guna mengakses masa lalu.
Kasus Habib Lutfi menawarkan contoh praksis sejarah, khususnya sejarah kewalian, yang sulit diverifikasi, namun konsekuensi sosiologisnya sangat nyata. Bahkan, praksis ini juga berimplikasi ekonomis. Setiap Habib Lutfi berhasil mengidentikasi kuburan kuno sebagai kuburan wali akan diikuti dengan pelembagaan tradisi ziarah dan haul di tempat itu. Secara otomatis, hal ini mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat sekitar. Bisnis-bisnis lokal untuk para peziarah juga akan lahir dan berkembang. (@f))
Memperluas Wawasan Keragaman Lewat Program VICISU 2018 di Austria
Oleh: Ahmad Muttaqin
Tanggal 29 Juli 2018, kami tiba di Wina (Vienna), ibukota Republik Austria untuk mengikuti program the 6th Vienna International Christian-Islamic University (VICISU) 2018. VICISU merupakan program interreligius dan interkultural bergengsi yang diadakan setiap dua tahun sekali oleh Universitas Wina dengan dukungan dari Kementerian Sains, Riset dan Ekonomi Austria (BMWFW) dan Kementerian Eropa, Integrasi dan Urusan Luar Negeri Austria (BMEIA).
Program ini dilaksanakan selama tiga minggu dari tanggal 30 Juli-18 Agustus 2018di dua kota yaitu, Altenburg dan Wina. Berkat dukungan dan kerjasama Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Universitas Wina, kami berdua (Rizka Dwi Agustin dan saya Ahmad Muttaqin) bisa lolos seleksi sebagai peserta perwakilan Indonesia. Riska adalah mahasiswi S2 konsentrasi Islam dan Kajian Gender (IKG) dan saya mengambil S3 konsentrasi Studi Al-Qur’an dan Hadis (SQH) di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Peserta VICISU 2018 dari berbagai negara dan benua
Sebanyak 28 peserta dari 13 negara perwakilan lima benua (Eropa, Asia, Australia, Amerika dan Afrika) ikut dalam program tahun ini. Mereka berasal dari Amerika, Australia, Republik Austria, Gana, Jerman, India, Indonesia, Lebanon, Maroko, Oman, Pakistan,Turki dan Uganda.
Suasana perkuliahan kelas di Altenburg Abbey
Selama program perkuliahan berlangsung, para peserta tinggal di Altenburg Abbey, sebuah monastery megah yang berjarak 90 km dari kota Wina. Selama program, kami mendapatkan beragam materi perkuliahan, seperti dialog antaraIslam dan Kristen, pluralisme agama, keragaman Islam, perempuan dan jihadisme, hukum internasional, kebebasan berekspresi, agama dan politik, persoalan hak-hak asasi manusia, censorship di Eropa, syariah Islam dan politik di Asia Tenggara.
Pada dua hari terakhir, kami belajar tentang manajemen konflik sebanyak delapan sesi pertemuan. Materi ini sangat penting untuk membantu dalam menganalisis motif dan solusi konflik agama, sosial dan politik yang terjadi di berbagai negara. Selama tiga minggu, kami sangat beruntung bisa mendapatkan pengalaman dan materi perkuliahan dari para professor dan ahli yang berasal dari berbagai negara, di antaranya Prof. Irmgard Malboe dari Austria sekaligus direktur VICISU, Prof. Volker Stumke dari Jerman, Prof. Ann Black dari Australia, Prof. Stephan Prochazka dari Austria, Prof. Nadine Bozkurt dari Turki, Dr. Salifu Mahama dari Gana, Prof. Grudrun Harrer dari Austria dan lain-lain.
Kunjungan ke Universitas Wina
Selain diskusi di kelas, hal menarik yang kami dapatkan selama tiga minggu adalah bisa berinteraksi dan saling tukar pengalaman antar para peserta dari berbagai negara. Latar belakang keilmuan mereka pun berbeda, di antaranya ada yang fokus padakajian hukum, hubungan internasional, sosial, politik, psikologi, kesehatan, filsafat, ekonomi, studi gender, teologi kristen dan sebagainya. Benar saja, diskusi menjadi menarik dan kaya ketika persoalan dilihat dari berbagai perspektif yang beragam.
Selain itu, kami juga mendiskusikan pengalaman terkait konflik dan problem keagamaan di negara masing-masing. Di sela-sela perkuliahan dan diskusi, kami tidak melewatkan untuk bertukar cerita tentang kultur masing-masing negara. Program ini mendorong untuk memperluas wawasan isu keagamaan dalam kerangka beragam agama, negara dan disiplin keilmuan.
Kunjungan peserta VICISU 2018 ke Melk Abbey
Banyak kegiatan menarik selain perkuliahan di kelas, seperti multicultural talent show dan multicultural dinner dari negara masing-masing. Selain gereja di Altenburg, kami juga mengunjungi salah satu geraja tua dan bersejarah di Austria, yaitu Melk Abbey. Satu lagi agenda penting yang lain yaitu kunjungan ke gedung markas PPB di Kota Wina. Kunjungan ini berkaitan dengan materi perkuliahan tentang United Nations (PBB) dan organisasi-organisasi internasional terkait human rights.
Kunjungan ke markas PPB di kota Wina
Pemandangan dan suasana indah kota Wina memberikan kesejukan dan kekaguman tersendiri bagi kami. Begitu banyak tempat wisata dan tempat bersejarah yang bisa dikunjungi di pusat kota Wina. Fasilitas transportasi memanjakan kami untuk bisa mengeksplor dengan mudah berbagai titik di kota Wina. Salah satu hal penting dari Wina adalah tersedianya banyak museum dengan fasilitas yang bagus. Lewat museum pemerintah mengedukasi para pengunjung dan sekaligus merawat ingatan sejarah peristiwa masa lalu mereka. Begitu banyaknya patung-patung replika para ilmuan dan pemusik terkenal yang berdiri kokoh di tengah-tengah taman kota Wina menjadi bukti apresiasi yang tinggi terhadap ilmu dan seni.
Depan Museum of Natural History di City Center Wina
Setelah tiga minggu menjalani perkuliahan dan serangkaian kegiatan di Altenburg dan Wina, kami berkunjung ke Universitas Wina dalam acara diploma penutupan dan penyerahan sertifikat peserta. Pada sesi terakhir kami mendapatkan undangan kehormatan bertemu dengan Walikota Wina di City Hall Wina.
Diploma Ceremony dan Penyerahan Sertifikat VICISU 2018 di Universitas Wina
Melalui program ini, kami mendapatkan pengalaman akademik dan kultur yang penting untuk memperdalam dan memperluas wawasan keragaman dalam beragama. Selain itu, program ini menyadarkan untuk melihat isu-isu keagamaan dalam kerangka yang lebih luas. Masih banyak persoalan isu-isu agama dan kaitannya dengan hukum negara, politik dan sosial yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Oleh karena kesempatan dan pengalaman berharga yang didapatkan dari program ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga atas dukungan yang diberikan untuk mengikuti program internasional ini. Begitu juga kepada Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D. selaku Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atas bimbingan dan komitmennya sehingga tercipta begitu banyak peluang-peluang bagi para mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk ikut terlibat dalam berbagai program berskala internasional seperti ini.
Salam...
Jenjang studi pascasarjana (S2 & S3) adalah lanjutan dari program sarjana (S1) dengan pendidikan yang lebih advance, mata kuliah yang lebih spesifik, dan dosen yang lebih kompeten lagi di bidangnya. Mahasiswa Pascasarjana diarahkan untuk menjadi peneliti, calon akademisi dan intelektual.
Karena itu, cara belajar dan kuliah mahasiswa pascasarjana berbeda dengan jenjang S1. Kurikulum pascasarjana dirancang berbasis pada penelitian (research-oriented). Mahasiswa dihadapkan langsung dengan persoalan-persoalan akademis-ilmiah yang menjadi perhatian para sarjana di masing-masing bidang keilmuan yang ditekuni.
Berangkat dari latar pemikiran itulah maka perlu diadakan orientasi studi bagi mahasiswa yang akan memulai perkuliahan di pascasarjana. Demikian diungkapkan Direktur Pascasarjana, Prof. Noorhadi, saat membuka kegiatan “Orientasi Studi Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2017/2018 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.” Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini, 21-22 September 2018, merupakan proses penetapan arah studi mahasiswa baru sekaligus sosialisasi proses pendidikan dan pengajaran yang akan dijalaninya.
Kegiatan ini sangat penting dalam rangka mendukung kelancaran proses pendidikan yang akan mereka tempuh ke depan. Selain itu, kegiatan ini juga menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggung jawab akademik sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sebanyak 235 mahasiwa baru Pascasarjana, terdiri dari 160 mahasiswa Program S2 Interdisciplinary Islamic Studies dan 75 mahasiswa Program S3 Studi Islam, mengikuti kegiatan ini secara antusias. Para pimpinan, mulai dari Direktur, Ketua Prodi S2 dan S3, hingga dosen tetap Pascasarjana terlibat aktif memberikan materi dalam kegiatan ini.
Pada hari pertama, mahasiswa mendapatkan wawasan tentang perkembangan keilmuan global dalam studi Islam yang disampaikan langsung oleh Prof. Noorhaidi. Selanjutnya, mahasiswa mendapatkan materi paradigma keilmuan yang dikembangkan UIN Sunan Kalijaga langsung oleh arsitek utamanya, yaitu Prof. Amin Abdullah, perumus paradigam integrasi-interkoneksi keilmuan.
Sesi berikutnya, mahasiswa mendapatkan penjelasan tentang keunggulan dan kekhasan masing-masing konsentrasi studi baik yang ada di S2 maupun S3. Mahasiswa juga mendapatkan materi tentang panduan penulisan tesis atau disertasi. Materi ini disampaikan oleh Kaprodi S3, Ahmad Rafiq, M.A. Ph.D., dan Kaprodi S2, Ro’fah, M.A., Ph.D.
Di hari kedua, mahasiswa mendapatkan wawasan tentang budaya akademik Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang dipaparkan oleh Dr. Moch Nur Ikhwan, M.A., Wakil Direktur Pascasarjana. Dr. Ikhwan juga memaparkan kiat-kiat penulisan karya ilmiah hingga terpublikasi di jurnal, penjelasan tentang program unggulan seperti sandwich di luar negeri, konferensi internasional, dan berbagai peluang beasiswa.
Selain pengelola Pascasarjana, hadir sebagai narasumber pada sesi kedua, Dr. Shofwatul Uyun, S.T., M.Kom. (Ketua PTIPD) yang memberikan materi tentang Sistem Informasi Akademik (SIA) UIN Sunan Kalijaga, Dra. Labibah Zain, M.Lis. (Ketua UPT Perpustakaan) yang menjelaskan seluk beluk pedoman pencarian informasi di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, dan Suefrizal, S.Ag., M.S.I (Kabag. Akademik Universitas) yang memberikan materi “Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI).”
Mahasiswa juga mendapatkan sharing pengetahuan dari dosen-dosen Pascasarjana tentang isu-isu aktual kajian Islam kontemporer serta kiat sukses menempuh studi di Pascasarjana. Di antaranya, Suhadi, M.A., Ph.D. memberikan topik “Dialog Antar-iman dan Isu-isu Minoritas Sosial-Keagamaan: Konteks Indonesia,” Sunarwoto, M.A., Ph.D. mengangkat isu “Agama dan Ruang Publik”, Najib Kailani, M.A., Ph.D. berbagi tentang “Etika Riset Akademik dan Pengenalan Sumber-sumber,” dan Dr. Nina Mariani Noor, M.A. mengenalkan manajemen referensi berbasis “ZOTERO.”
Kegiatan orientasi studi ini diharapkan dapat membuka luas wawasan dan horizon pengetahuan mahasiswa baru. Sebagaimana ditegaskan Direktur, mahasiswa pascasarjana adalah peneliti, bukan dai, kiai, atau pendeta yang berpijak pada kebenaran dogmatis. Sebagai peneliti, semua argumen harus berbasis pada kebenaran ilmiah yang dapat diuji secara empiris dan logis. Untuk itu, Direktur mengharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas keilmuannya selama menempuh studi di Pascasarhaba agar dapat berkompetisi tidak hanya di level nasional tetapi juga secara global internasional. (@f)
Penerjemahan Alquran di Indonesia telah melalui proses sejarah yang cukup panjang sebagai bentuk interaksi umat Islam dengan kitab sucinya. Seperti halnya tafsir Alquran yang penuh dengan corak ragam, penerjemahan Alquran pun sarat dengan dinamika hingga polemik. Mulai dari persoalan legitimasi penerjemah, hukum menerjemahkan, ideologi dan paham keagaaman penerjemah yang mempengaruhi terjemahan, penggunaan bahasa daerah dalam menerjemahkan Alquran, hingga kehadiran terjemahan para Orientalis di Indonesia.
Dinamika tersebut membuat diskursus penerjemahan Alquran di Indonesia menarik untuk diteliti dan dikaji secara mendalam. Inilah yang mendorong Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama dengan Departement of Islamic Studies, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman menggelar wokshop dan konferensi internasional dengan tajuk “The Translation of the Qur’an in Indonesia” yang berlangsung pada 30-31 Juli 2018 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Konferensi ini melibatkan para pakar, peneliti, dan akademisi yang konsen terhadap kajian penerjemahan Alquran dan teks-teks keagamaan klasik dari dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah Prof. Johanna Pink (Alberd-Ludwig--Universität Freiburg), Fadhli Lukman, M.A. (Kandidat Doktor dari di Alberd-Ludwig--Universität Freiburg), Dr. Faried F. Saenong (JD Stout Research Centre, Victoria University of Wellington), Prof. Al Makin (Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga), Dr. Moch. Nur Ichwan (Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga), Dr. Jajang A. Rohmana (UIN Sunan Gunung Djati Bandung), dan Wardatun Nadhiroh, M.Hum (UIN Antasari Banjarmasin).
Selain narasumber tersebut, panitia juga menyeleksi lebih dari 80 paper yang dikirimkan peserta. Puluhan paper itu berisi hasil penelitian tentang terjemahan Alquran dari berbagai wilayah di Indonesia baik dari segi tujuan penerjemahan, relevansi sosial politik, dimensi linguistik dalam pengalihan bahasa Arab ke bahasa-bahasa daerah, serta aspek konflik yang terkait terjemahan Alquran. Dari jumlah itu, panitia menetapkan 28 paper terbaik untuk dipresentasikan. Konferensi ini juga dihadiri ratusan partisipan, terdiri dari mahasiswa S1, S2, dan S3 dari berbagai perguruan tinggi.
Dalam sambutannya memakili Departement of Islamic Studies, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Prof. Johanna Pink mengungkapkan kekagumannya atas penerjemahan Alquran di Indonesia yang menurutnya unik. “Penerjemahan Alquran di Indonesia itu tidak mono-language, namun ada banyak bahasa lokal. Belum lagi produk terjemahan Alquran yang dipengaruhi oleh modernisme, penafsiran tertentu, kepentingan politik dan ideologi penerjemah,” ungkap profesor bidang studi Islam ini.
Sementara Direktur Pascasarjana, Prof. Noorhaidi Hasan, mengatakan, kajian-kajian tentang terjemah Alquran di Indonesia masih tergolong minim. Karena itu, konferensi ini diharapkan bisa memantik kajian-kajian terbaru seputar terjemah Alquran di Indonesia secara massif dan luas. Direktur juga menyampaikan, dari 28 paper terpilih akan disaring lagi untuk diterbitkan menjadi buku oleh penerbit di luar negeri. Sebagiannya akan diterbitkan di jurnal-jurnal terakreditasi di Indonesia.