Masih ada yang berpandangan pendidikan pesantren ketinggalan jaman, mulai dari sistem, materi pelajaran, hingga lulusan yang dihasilkan. Di pesantren hampir tidak ada tradisi kritik, komentar atau koreksi terhadap apapun yang disampaikan kyai. Di pesantren tidak dibudayakan metode perbandingan antar madzhab. Santri hanya diajari melalui kitab-kitab yang berisi pemikiran atau ajaran satu madzhab (di bidang aqidah diajarkan aliran ahl-sunnah wa al-jama’ah khususnya Asy-ariyah, di bidang fikih diajarkan madzhab Syafi’i, dan di bidang tasawwuf diajarkan tasawwuf Imam al-Ghazali dan ulama yang sefaham). Santri diajarkan sikap andap asor (tawadlu’) dengan pegangan kitab Ta’lim m al-Muta’alim. Mereka menjadi pasif. Bahkan tidak jarang diantara mereka tidak berani membaca kitab-kitab yang belum pernah dipelajarinya, meskipun mereka mampu. Namun kenapa banyak santri yang bisa mengembangkan pemikiran dengan sangat pesat?  Fuqaha hasil didikan pesatren menghasilkan banyak pemikiran yang maju. Salah satu yang bisa dilihat adalah dalam bidang fiqih, dengan menghasilkan putusan-putusan hukum fiqih yang sesuai tuntutan jaman.

 

Untuk mengungkap hal tersebut, Muhamad Asvin Abdur Rohman melakukan riset tentang pendidikan kader fuqaha di Pondok Pesatren Sidogiri Pasuruan. Karya riset putra kelahiran Ponorogo mengangkat judul “Pendidikan Kader Fuqaha (Studi atas Proses dan Hasil Keputusan Lembaga Kajian Fiqih Pondok Pesantren Sidoguru Pasuruan) dipertahankan untuk meraih gelar Doktor Studi Keislaman pada Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga, 6/4/19. Karya disertasi Promovendus dipresentasikan di hadapan Tim Penguji; Dr. Moh. Soehadha, S. Sos., M. Hum., Dr. Ahmad Arifi, M. Ag., Dr. Hj. Marhumah, M. Pd., Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA., Prof. Dr. H. Nizar Ali, M. Ag. (Promotor merangkap Penguji), Dr. Phil. Sahiron, MA., (Promotor merangkap Penguji).

 

Dalam abstraksi Disertasinya Promovendus menjelaskan, melalui riset kuantitatif dengan metode observasi, wawancara mendalam,diskripsi data dan dokumentasi, pihaknya berhasil mengungkap bangunan pendidikan kader Fuqaha di pesantren. Diantaranya: Pertama, formulasi pendidikan yang dikembangkan di Pesantren Salaf adalah ushulli sunni madzhabi dialektik. Namun sebagain besar menggunakan fiqih Syfi’i, karena tiga alasan; 1. Fiqih as-Syafi’i dianggap madzhab fiqih yang paling komprehensif dan sebagai peletak dasar keilmuan fiqih secara menyeluruh. 2. Dari jalur penyampaian keilmuan para kyai dan guru-guru pesatren mendapat sanad keilmuan dari para guru mereka yang mayoritas adalah madzhab as-Syafi’i. 3. Secara kultur dan gaya berpikir madzhab syafi’i sangat sesuai dengan kultur Jawa.

 

 

 

Kedua, proses dan implementasi pendidikan kader Fuqaha dalam menjawab persioalan hukum secara komprehensif menggunakan formula naqlul fatwa ijtihadi jama’i. Artinya, Fuqaha (Santri) memutuskan keputusan hukum  dengan mengambil fatwa ulama. Mereka juga memutuskan jawaban dengan bersama-sama (kolektif). Ketiga, merujuk pada pola ijtihad santri menggunakan metode iqrar dan ilhaq, maka secara jelas model epistemology fiqih di Lembaga Kajian Fiqih Pondok Pesantren (LKFPPS) dominan dalam dimensi Epistemologi Bayani. Sehingga menurut Asvin, risetnya kali ini menguatkan pandangan al-jabiri bahwa fiqih merupakan salah satu bentuk  atau perwujudan epistemology Bayani. Namun demikian pada dasarnya LKFPPS tidak membatasi diri pada metode Taqrir dan Ilhaq, melainkan juga membuka diri terhadap metode istinbath atau metode manhajy. Namun belum banyak dilakukan.

 

Temuan penting dalam risetnya menurut Asvin, pengembangan pendidikan kader fuqaha  di pesantren perlu dirumuskan formulasi materi fiqih yang mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu. Dalam hal ini untuk menopang koneksi antara epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani yang harus terus dilanjutkan. Oleh tim penguji Promovendus dinyatakan lulus dengan predikat Cumloude. (Weni)

 

 

 

Bicara tentang khilafah, ingatan kita seakan dipaksa kembali pada peristiwa masa lalu era Khulafauurrasyidin sampai pada akhir masa kesultanan Utsmaniyah tahun 1922 M, yang mana khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam kala itu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah sistem khilafah masih dianggap cukup baik dan relevan untuk diterapkan hari ini? Atau dicukupkan sebagai peristiwa masa lalu yang tidak perlu diulang. Pertanyaan-pertanyaan demikian yang kerap kali menuai pro-kontra di kalangan publik tanpa terkecuali para akademisi. Kemunculan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai kelompok yang pro-khilafah dan cukup vocal dalam mengkampayekan khilafah di Indonesia, memicu reaksi publik yang beragam. Meskipun pada akhirnya kelompok tersebut harus dibubarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia berdasarkan Surat Keputusan Nomor AHU-30.AH.01.08 pada tahun 2017 karena disinyalir berpaham radikal dan dikhawatirkan dapat merusak ideologi bangsa. Tentu dengan dibubarkannya HTI tidak lantas selesai begitu saja, perdebatan tentang khilafah masih menjadi topik yang cukup menarik untuk ditelisik lebih dalam baik dalam tataran praktis maupun teoritis.

 

 

Hal ini yang kemudian menjadi alasan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga mengadakan acara Bedah Buku Islam Yes Khilafah No (20/3). Acara yang berlangsung di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mendapatkan antusias yang luar biasa. Hal itu tampak dari beberapa mahasiswa yang harus rela duduk di lantai karena terbatasnya kapasitas kursi yang ada demi mendengar langsung pemaparan dari  sang penulis, Prof. Nadirsyah Hosen, LLM, M.A, Ph.D atau kerap disapa Gus Nadir. Dengan pembanding Dr. Fathorrahman Gufron –dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, diskusi siang hari itu berlangsung cukup hangat.

 

Sebelum acara inti dimulai, Anwari Nuril Huda selaku ketua panitia, memaparkan reaksi netizen terhadap topik yang diperbincangkan pada siang hari itu. Beberapa akun sempat terpantu membagikan leaflet yang diunggah di akun media social KMP dengan komentar yang cukup unik. Sebagai pengguna media sosial juga, tentu hal itu bukan hal baru bagi Gus Nadir.  Maka dalam pemaparannya, ia menjelaskan bagaimana khilafah yang selama ini dipahami oleh masyarakat kita. Apakah betul khilafah saat ini menjadi problem solver terbaik untuk persoalan pemerintahan Indonesia saat ini. Maka melalui bukunya, Gus Nadir mengajak para peserta untuk lebih memahami persoalan khilafah secara utuh. Sehingga pemaknaannya pun menjadi jelas.

 

Sebab menurutnya banyak dari kita khususnya umat Islam, yang tidak memahami secara utuh rekam jejak sistem pemerintahan khilafah dari masa Khulafa’urrasyidin sampai dengan Kesultanan Utsmaniyah. Miskinnya pembacaan literatur yang berkaitan dengan khilafah menjadikan beberapa oknum menganggap bahwa khilafah merupakam satu-satunya sistem pemerintahan yang tepat untuk diterapkan saat ini. Lebih lanjut, Gus Nadir mengatakan khilafah bukan bagian inti ajaran Islam. Ajaran khilafah tidak terdapat dalam rukun Islam dan rukun Iman, tetapi khilafah adalah bagian produk ijtihad masa lalu. Lantas, kalau menolak khilafah, apakah keislaman kita diragukan dan terguncang? Jelas tidak. Karena pada dasarnya khilafah bukan inti dari ajaran Islam. Tidak ada hukum secara jelas menegaskan kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan khilafah.

 

Dari uraian penjelasan di atas, bias dipahami bahwa khilafah merupakan hasil dari ijtihad warisan Islam masa lalu. Sebab setiap negara yang berdaulat memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Misalnya Indonesia. Dengan sistem persidensialnya, Inggris dengan sistem parlementernya, Perancis dengan sistem semi-presidensialnya, Korea Utara dengan sistem komunisnya dan masih banyak lagi. Maka jelas bias dikatakan, khilafah sudah tidak relevan untuk diterapkan kembali dalam system pemerintahan saat ini.  (Dev. Media KMP)

 

Salah satu problem mendasar negara-negara berpenduduk muslim adalah penerapan nilai-nilai demokrasi yang dinilai masih rendah. Hingga saat ini, hanya ada segelintir negara muslim yang telah menerapkan sistem demokrasi dengan relatif cukup baik. Di antaranya Indonesia, Malaysia, dan Tunisia.

Dalam rilis Indeks Demokrasi Tahunan yang dikeluarkan The Economist Intelligence Units (The EIU) tahun 2017, ketiga negara ini memiliki skor tertinggi dibandingkan negara-negara muslim lainnya. Meskipun masih jauh di bawah negara-negara demokratis di Amerika dan Eropa. Malaysia berada di urutan ke-59, Indonesia ke-68, dan Tuninia ke-69.

Indeks ini memuat hasil penilaian keberlangsungan demokrasi setiap negara dunia dengan menggunakan lima variabel. Yaitu, proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil. Skor maksimal dari tiap variabel adalah angka 10.00. Norwegia menjadi negara yang paling demokratis di dunia dengan nilai rata-rata 9.87.

Afghanistan merupakan salah satu negara muslim yang masih berjuang keras untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Indeks demokrasi Afghanistan berada di urutan ke-149. Nilai rata-ratanya 2.55. Nilai terendah adalah aspek keberfungsian pemerintahan yaitu 1.14. Hal ini karena konflik dan peperangan di beberapa wilayah masih mengancam  stabilitas negara.

Selain itu, proses elektoral dalam pemilihan presiden dan kepada daerah belum sepenuhnya berjalan demokratis. Ditambah dengan tingkat partisipasi politik warganya yang masih rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, aspek kebebasan sipil mulai membaik, meskipun masih jauh dari standar kehidupan demokratis.

Pertimbangan itulah yang mendasari para akademisi Afghanistan belajar dari negara-negara lain yang dianggap telah berhasil menjalankan demokrasi. Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia, menjadi salah satu tujuan utamanya. Indonesia yang memiliki kompleksitas keragaman baik dari sisi agama, suku, bahasa, dan budaya dinilai mampu mengelola demokrasi dengan baik.

Hal inilah yang mendorong sejumlah akademisi Afghanistan menggandeng Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk bekerjasama di bidang pendidikan, khususnya dalam rangka penguatan demokrasi. Kerjasama ini salah satunya dituangkan dalam konferensi internasional bertajuk “Constitutional Reform, Electoral Politics, and Democracy: A Comparison between Afghanistan and Indonesia yang digelar Senin, 29 Oktober 2018, di Aula Pascasarjana.

 

Hadir sebagai narasumber dari UIN Sunan Kalijaga Prof. Ratno Lukito, M.A., DCL. dan Ahmad Norma-Permata, M.A., Ph.D. Sedangkan dari Afghanistan Dr. Shamshad Pasarlay dan Dr. Mohammad Bashir Mobasher. Konferensi ini berusaha membandingkan pengalaman menerapkan demokrasi antara Indonesia dan Pakistan baik dari sisi politik, hukum, dan pemerintahan.

Konferensi dihadiri peserta akademisi dari 3 perguruan tinggi terbesar di Afghanistan yaitu Universitas Kabul, Universitas Herat, Universitas Kandahar dan perwakilan dari Universitas Washington Amerika Serikat. Sejumlah dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta juga turut memadati acara ini. Konferensi terselenggara berkat dukungan dari Legal Education Support Program–Afghanistan (LESPA), Universitas Washington.

Dalam sambutannya, Direktur Pascasarjana, Prof. Noorhaidi memaparkan, Indonesia dan Afghanistan telah lama menjalin hubungan baik. Afghanistan adalah salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1949. Kedua negara secara resmi membuka hubungan diplomatik sejak tahun 1954.

Pada 10 November 2012, sebuah perjanjian persahabatan baru ditandatangani kedua negara untuk mempromosikan kerjasama dalam bidang politik, ekonomi dan perdagangan, akademik dan edukasi, serta kebudayaan. Indonesia berkomitmen untuk mendukung dan membantu pembangunan kembali Afghanistan pasca rezim Taliban.

Lebih khusus, Prof. Noorhaidi menyampaikan kerjasama dengan perguruan tinggi Afghanistan telah dirintis sejak ia masih menjabat Dekan Fakultas Syariah dan Hukum dan terus berlanjut hingga saat ini. Ke depan, Prof. Noorhaidi mengundang para pelajar dan mahasiswa Afghanistan untuk mengambil studi lanjut (magister dan doktor) di Indonesia, khususnya di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

 

Direktur LESPA, Prof. Lutforahman Saeed, yang juga Guru Besar Hukum Islam Universitas Kabul, dalam sambutannya merespons positif tawaran Prof. Noorhaidi. Sebaliknya, Prof. Saeed juga mengundang mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk melakukan penelitian di perguruan tinggi di Afghanistan. Ia memastikan bahwa kampus-kampus besar seperti Universitas Kabul, Universitas Herat, dan Universitas Kandahar adalah tempat yang aman untuk riset. (@f)

 

 

Kamis lalu (29/11) 2018, Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) UIN Sunan Kalijaga menggelar Graduate Forum. Ini adalah ruang pertemuan antar mahasiswa pascasarjana di Indonesia, baik tingkat master maupun doktoral. “Otoritas Keagamaan, Politik dan Budaya Masyarakat Islam” adalah tema utama yang diusung Graduate Forum kali ini. Sebagaimana Graduate Forum tahun sebelumnya, tahun inipun para mahasiswa undangan mesti mengirimkan makalah mereka untuk dipresentasikan.

 

42 makalah dipresentasikan dalam Graduate Forum kali ini. Para presenter dibagi kedalam empat ruangan, sesuai dengan fokus kajian penelitian mereka. Kemudian acaran ditutup dengan berdiskusi bersama di Convention Hall. Hadir sebagai pemantik diskusi Prof. Noorhadi Hasan, Prof. Magdy Bahig Behmen, Dr. Yanwar Pribadi, dan dimoderatori Dr. Nina Mariana Noor. Acara berlangsung semarak dengan dihadiri ratusan peserta.

 

 

Adapun tujuan atas penyelenggaraan acara ini adalah untuk meningkatkan kemampuan para mahasiswa pascasarjana dalam penelitian. Ro’fah, Ketua Jurusan Pascasarjana tingkat Master mengatakan, Graduate forum merupakan salah satu tradisi akademik yang coba dibangun di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di forum ini mahasiswa magister dan dokrotal berkesempatan untuk sharing penelitian yang dilakukannya, baik terkait dengan tugas akhir atau tidak. “Ini penting karena praktik yang ada, biasanya, mahasiswa lebih banyak menjadi pendengar, konsumen dari kegiatan akademik. Forum ini diharapkan menjadi ajang mahasiswa pascasarjana meningkatkan kemampuan sebagai peneliti dan akademisi menyampaikan ide, membangun argumen, mengaplikasikan metodologi, memahami teori dan yang jelas, menulis hasil,” tambahnya.

 

 

Senada dengan itu, Aflahal Misbah mengatakan, Graduate Forum merupakan konferensi Mahasiswa Pascasarjana yang ditujukan untuk merespons perdebatan yang sudah dan masih ramai dibicarakan di dunia akademis. “Ini juga upaya untuk menyesuaikan visi dan misi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga menjadi salah satu centre of excellence pengkajian Islam.”

 

KMP UIN Sunan Kalijaga sebagai penyelenggara acara berharap, dengan adanya forum ini akan lahir para peneliti yang berkompeten. “Kita punya visi terwujudnya masyarakat akademis, inklusif dan berwawasan keislaman yang berorientasi pada produk tulis”, ujar Anis Fitriyah, Ketua KMP. Graduate Forum ini adalah agenda tahunan. Diharapkan dengan suksesnya acaranya ini, dapat memberikan motivasi bagi para hadirin untuk ikut bergabung di tahun berikutnya. (Eko Saputra).

 

 

Aktivitas penelitian merupakan salah satu tugas pokok yang harus dilakukan sivitas akademika kampus sebagaimana ditegaskan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karena itu, kemampuan melakukan penelitian mutlak dimiliki tidak saja oleh dosen tetapi juga mahasiswa, terlebih bagi yang menempuh jenjang magister dan doktoral.

 

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang telah berkomitmen menjadi research school university secara kontinyu terus melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan meneliti mahasiswa. Salah satunya melalui pelatihan metodologi penelitian yang dilaksanakan selama dua hari penuh, Jumat-Sabtu (12-13 Oktober 2018), di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Pelatihan ini dipandu oleh pakar dari New Zealand, Prof. Missy Morton. Ia adalah Guru Besar Kajian Disabilitas dan Pendidikan Inklusif Universitas Auckland, sebuah kampus bergengsi yang menduduki ranking ke-82 universitas terbaik di dunia. Pelatihan ini diikuti 10 orang dosen dan 30 mahasiswa Pascasarjana yang sebelumnya telah melalui seleksi. Peserta pelatihan ini sengaja dibatasi agar berjalan efektif dan kondusif.

Kegiatan pelatihan ini dibagi dalam 6 sesi. Setiap sesi diawali dengan pemaparan materi oleh Prof. Missy dilanjutkan dengan praktik  kelompok. Selama sesi pelatihan, peserta mendapat materi tentang seluk beluk penelitian kualitatif mulai dari penentuan topik, proses pengumpulan data, klasifikasi data, analisis data, hingga teknik penulisan laporan penelitian yang baik.

 

 

 

Direktur Pascasarjana, Prof. Noorhaidi memberikan apresiasi tinggi atas kegiatan ini. Dalam sambutannya Direktur mengungkapkan keprihatinannya tentang masih rendahnya kualitas dan kuantitas penelitian di Indonesia. Menurut laporan SCImago, kuantitas penelitian di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indonesia menempati posisi ke-64 dari 234 negara yang disurvei SCImago. Untuk itu, Pascasarjana bertekad mendorong dan meningkatkan kemampuan penelitian mahasiswa.

 

Selain mengadakan kegiatan pelatihan semacam ini, Pascasarjana  aktif melakukan penelitian kolaboratif dengan berbagai universitas maupun lembaga donor di dalam dan luar negeri. Mahasiswa Pascasarjana  baik program magister maupun doktor kerap diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan penelitian tersebut. Dengan upaya itu, Direktur optimis mahasiswa Pascasarjana terus terasah keterampilan menelitinya. (@f)